Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Tangis Bahagia dan Keteguhan Hati
Lorong pengadilan tampak ramai dengan wartawan dan petugas keamanan. Kamera, mikrofon, dan sorotan tajam media mengarah ke dua sosok wanita yang tengah berjalan cepat diapit polisi, Reva dan Bu Widya, ibu tiri Radit.
Wajah Reva pucat pasi, sementara Bu Widya berusaha tetap tegar, meski sorot matanya panik. Mereka mengenakan pakaian formal seadanya, rambut disisir rapi, tapi ekspresi tak bisa berbohong—kekalahan mulai terasa.
Salah satu wartawan bertanya, "Bu Widya, benarkah Anda bukan ibu kandung dari CEO Radit Wijaya?"
"Reva, bagaimana perasaan Anda setelah tahu Rumi tak bersalah?"
Petugas mendorong mereka masuk ke ruang sidang, menghindari kerumunan media. Di dalam, suasana lebih tenang. Namun, ketegangan tak berkurang.
Hakim belum memasuki ruangan. Reva duduk sambil menunduk, jemarinya menggenggam tas kecilnya erat. Di sampingnya, Bu Widya melirik tajam.
"Ini semua salah kamu. Kalau bukan karena rencana bodohmu itu, kita nggak akan sampai di sini."
Reva tersentak, menahan marah. "Aku? Aku cuma menawarkan rencana. Tapi Tante yang melabrak Rumi di sekolah! Tante yang menyebarkan informasi medis! Tante yang membuat semuanya menjadi berantakan!"
"Kamu menyalahkan saya? Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa uang bisa membeli harga diri seseorang? Lihat saja. Setelah ini selesai, akan saya pastikan kamu akan kehilangan harga untuk dirimu sendiri. Kamu akan hancur, Reva. Kamu hanya sendirian di dunia ini. Tak ada sanak keluarga. Siapa yang akan menolongmu nanti, hm?"
Reva memalingkan wajah, menahan air mata. Ia sadar, Bu Widya jahat melebihi seekor ular berbisa.
Pintu sidang dibuka.
Hakim dan jaksa memasuki ruangan. Semua berdiri. Kamera media mulai merekam kembali. Nama Radit sempat disebut sebagai pelapor utama. Sorotan publik makin besar karena latar belakang Radit yang terkenal dermawan dan tak pernah terseret skandal sebelumnya.
Jaksa mulai membacakan dakwaan atas kasus pencemaran nama baik, fitnah, dan pelecehan terhadap Rumi. Beberapa bukti ditampilkan di layar. Rekaman suara, CCTV, dan dokumen hasil visum serta rekaman laporan Novi yang berupa sahabatnya sekaligus saksi mata.
Reva terlihat gemetar. Bu Widya berusaha tetap dingin, tapi wajahnya pucat.
Jaksa berkata, "Terlebih lagi, informasi medis yang berupa foto dan narasi yang menyebutkan bahwa korban sempat menggugurkan kandungan, terbukti tidak memiliki dasar. Berdasarkan hasil rekam medis, data tersebut adalah milik pasien lain yang diduplikasi. Terdakwa juga terbukti menyuap salah satu staf rumah sakit."
"Ya Tuhan ...." Reva menutup wajah, menyembunyikan air mata yang siap tumpah kapan saja.
Sorotan kamera mengabadikan detik-detik kehancuran citra dua wanita ini. Di luar ruang sidang, berita terus menyebar. Keadilan untuk Rumi, kini diperjuangkan.
Setelah beberapa jam pemeriksaan saksi dan pemutaran bukti, suasana ruang sidang mulai tenang. Semua mata tertuju ke kursi hakim, bersiap membacakan keputusan.
"Setelah mempertimbangkan seluruh bukti, mendengarkan keterangan saksi, serta berdasarkan Undang-undang yang berlaku, maka pengadilan memutuskan. Terdakwa Reva Putri, dinyatakan bersalah atas tindakan pencemaran nama baik, fitnah, serta penyebaran informasi palsu yang menyebabkan korban mengalami trauma berat. Terdakwa Widya Wijaya, dinyatakan bersalah atas upaya rekayasa data medis dan penghasutan, serta persekongkolan untuk menjatuhkan martabat korban."
"Dengan ini, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman, kepada terdakwa Reva Putri, hukuman penjara 2 tahun dan kewajiban membayar ganti rugi sebesar 500 juta rupiah. Kepada terdakwa Widya Wijaya, hukuman penjara 3 tahun 6 bulan, dan pencabutan hak sebagai pengurus yayasan sosial yang sebelumnya dinaungi."
Hakim menutup kertas dan mengetukkan palu.
"Sidang selesai. Demi keadilan bagi korban yang telah difitnah dan disakiti, keputusan ini bersifat mengikat."
Ruang sidang awalnya senyap, kini menjadi ribut seketika. Wartawan sibuk memberitakan. Kamera mengambil wajah Reva yang langsung menangis histeris, dan Bu Widya yang masih berusaha menjaga wibawa namun jelas terpukul.
Petugas menggiring mereka keluar.
Di luar gedung pengadilan, ratusan netizen mulai berkumpul, bukan untuk menyudutkan, tapi untuk memberi dukungan moral pada Rumi, walau Rumi sendiri tak pernah muncul.
...****************...
Video tangisan Rumi saat dilabrak viral ulang. Tapi kali ini, netizen justru membanjiri kolom komentar dengan dukungan dan simpati.
"Rumi wanita kuat."
"Dia nggak balas satu kata pun. Salutt!!"
"Radit dan Rumi pantas bahagia."
"Lawan kekerasan keluarga!"
Selain itu, media juga memuat artikel panjang soal perjuangan Rumi sebagai pengajar muda, istri dari CEO sukses, dan latar masa kecilnya yang berat.
Rumi membuka ponsel. Ratusan notifikasi masuk. Dia membuka salah satunya—sebuah video konferensi pers Radit.
Wajahnya perlahan berubah. Tangannya gemetar. Air matanya menggenang.
"Mas Radit ngelindungin aku sejauh ini?"
Rumi menutup mulutnya. Tangisnya pecah. Tapi bukan karena sedih, melainkan karena haru. "Mas Radit benar-benar anugerah Tuhan yang dititipkan buat aku."
Tanpa membuang waktu, Rumi langsung turun sambil membawa ponsel. Radit sedang duduk di sofa, memandangi laptop yang menyala. Dia menoleh dan langsung berdiri saat melihat air mata di wajah Rumi.
"Sayang? Kenapa?"
Rumi langsung memeluk Radit erat. Tangannya mencengkeram baju suaminya dengan kuat.
"Aku liat semuanya, Mas. Aku tahu sekarang," isak Rumi di dada Radit.
Radit menghela napas, mengelus punggung Rumi agar lebih tenang. "Aku nggak mau kamu lihat itu dulu, tapi ..."
Rumi memotong dengan suara parau. "Kenapa Mas nggak bilang? Kenapa Mas nggak ngeluh? Padahal Mas juga pasti sakit."
Radit mengecup puncak kepala Rumi. Dengan lembut, ia berkata, "Kamu cukup bertahan. Aku yang jaga. Aku yang urus sisanya."
Kemudian, Radit memutar laptop agar mengarah ke arah Rumi. Menampilkan berita eksklusif tentang keputusan hakim beserta hukuman yang Bu Widya dan Reva dapatkan.
"Sudah selesai, Rumi. Semua udah selesai."
Tangis mereka menyatu. Bukan karena luka, tapi karena ikatan. Yang semakin kuat, setelah badai mereka lewati.
...****************...
Pagi itu, cahaya matahari lembut menembus jendela kamar. Rumi duduk termenung, sesekali mengusap perutnya yang mulai terasa berbeda. Beberapa hari terakhir, rasa mual dan lelah datang bergantian, tapi ia masih ragu, takut berharap terlalu banyak.
Dengan tangan sedikit gemetar, Rumi mengambil testpack dari laci kamar mandi. Napasnya tertahan saat dia mulai menunggu hasilnya. Detik-detik berlalu lambat, hatinya berdebar tidak menentu.