Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.
Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.
Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Keponakan Dadakan
"Maaf, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Ratna sambil tersenyum ramah, meski matanya tetap siaga penuh curiga.
Sementara itu, Robin yang berdiri di pintu memberi kode halus kepada wanita cantik itu. Ia membuka matanya lebar-lebar, sedikit mengangkat dagu ke arah Ratna sambil memberi isyarat tangan yang tak jelas bentuknya, seperti orang main charades yang grogi.
Wanita cantik itu menelengkan kepala, bingung. Ia sempat melirik Robin, lalu kembali ke Ratna, lalu kembali lagi ke Robin. Keningnya berkerut, mencoba membaca maksud kode aneh itu.
Boss ngomong apa sih ... ubur-ubur? Ikan lele? Atau ubur-ubur ikan lele? Aiiih ... Entahlah. Pertama kali lihat big boss seperti itu, batinnya lagi.
Namun akhirnya, ia memutuskan untuk pasrah dan ikut bermain.
"Halo, Tante, selamat siang!" sapa Dona setengah berlari mendekati Ratna dan langsung menjabat tangannya dengan semangat seperti anak kecil bertemu dengan guru TK favoritnya.
Robin tampak mengusap belakang kepalanya, nyaris ingin menabrakkan kepala ke dinding karena rasa gugup yang luar biasa. Ia mengangguk-angguk ke Dona, memberi kode lanjutan yang kurang lebih berarti, “Ayo, teruskan saja!”
Ratna menyipitkan mata. "Iya, Mbak. Mau ketemu siapa ya?" tanyanya sambil melirik ke belakang, suaminya. "Soalnya dari tadi kamu tak henti memandang suamiku."
Dona tersenyum lebar, lalu mengangguk mantap. "Saya ini keponakan ... Om Ro-bin!" ucapnya sedikit mengeja.
Seketika Robin menghela napas panjang penuh rasa syukur.
'Terserah lah, kalau mau berimprovisasi seperti apa. Asal jangan mengaku kalau kamu itu karyawan saya,' batinnya.
"Keponakan suami saya?" ulang Ratna, kali ini suaranya lebih rendah dan alisnya perlahan naik. Ia memutar kepala kembali memperhatikan suaminya yang sepertu menepuk nyamuk.
"Iya, Tante. Aku ke sini karena ... Om Robin baru mengasih kabar, bahwa ia baru saja menikah. Sebagai keponakan, tentu saja aku bahagia. Akhirnya, Om kesayanganku menikah juga. Ternyata, istri Om Robin cantik banget. Pantes ya, Om sampai ngebet banget ...." Ia memeluk Ratna dan kembali menatap Robin.
Robin memberi kode jempol, dan Dona mengangguk dan tersenyum puas.
"Tante, aku sengaja membawakan kado buat Tante karena berhasil meruntuhkan prinsip membujang sepajang hayatnya. Terima ya, Tante ...." Dona langsung menyerahkan benda-benda yang langsung memenuhi kedua tangan Ratna.
Ratna gelagapan dengan rasa bingung tiba-tiba tangan yang tadinya masih memegang travel bag, berganti dengan benda-benda yang terlalu mewah untuk dimiliki. Ia menandai bahwa semua paperbag berisi barang yang harganya sangat tinggi.
"Tapi, ini apa ya? Kenapa banyak sekali?" Hanya itu yang bisa diucapkan Ratna dengan rasa bingung yang meledak-ledak.
"Ini semua hadiah buat Tante. Harus dipakai ya? Kalau tidak dipakai, aku bisa sedih loh?"
"Tapi—"
"Aku sengaja menabung lho, Tante. Aku berniat dengan tulus, jika prinsip Om Robin berhasil dipatahkan, aku akan menghabiskan semuanya untuk membeli hadiah buat istri hebatnya. Dan, kali ini benar-benar terlaksana. Berarti aku ya harus membayar janji pada diriku sendiri."
Dona melirik Robin kembali. Kali ini ia mendapat dua jempol dari Robin dan tepukan tangan tanpa bunyi.
'Yes, kayaknya bakalan dikasi bonus gede nih,' batin Dona sumringah.
Mau tak mau Ratna menganggukan kepala. "Ngomong-ngomong, nama kamu siapa, Cantik?" Ia mengusap kepala Dona dengan penuh kasih sayang.
Dona sedikit tersentak dan melirik Robin kembali. Robin hanya mengangguk dan mengayunkan jemari menyuruh Dona melakukan sendiri.
"Nama saya Dona, Tante ..."
"Oh ya, Dona ya? Sering-sering lah main ke sini ya? Atau kalau kamu suka ngopi, main ke warung Tante. Kamu boleh memilih apa pun menu yang kamu suka."
Dona melirik Robin. Robin memberikan kode menyilangkan kedua tangannya.
"Lain kali ya, Tante. Aku kan harus bekerja keras buat membahagiakan orang tua dan menabung lagi demi masa depan. Tapi, kalau ada kesempatan, saya akan mampir. Boleh kan, Om?" tanya Dona memastikan reaksi Robin.
"Ooh, tentu keponakanku sayang. Apa pun itu asal membuatmu senang, tentu Om juga ikut senang," sambut Robin dengan senyum selebarnya.
"Udah dulu ya Tante, Om ... Aku pergi dulu."
"Loh? Kok buru-buru sekali? Masuk dulu gih, duduk ngeteh dulu di dalam," ajak Ratna.
"Ah, aku harus lanjut bekerja, Tant, nanti kalau kelamaan izin, boss kantorku bisa marah. Boss di perusahaanku itu ganas minta ampun, Tante. Kalau tak suka, dia main pecat aja," ucapnya sembari melirik Robin.
Robin terbelalak melihat kelakuan karyawannya ini dan sedikit mendengkus melipat kedua tangannya. Kepalanya menggeleng dengan mata menajam.
"Ooh, jadi boss kamu galak ya? Duh, kasihan juga. Sebenarnya, Tante jadi nggak enak. Kamu udah susah payah ke sini sendiri membawakan ini semua. Tapi, masa langsung pergi, sih?"
Dona melirik jam tangannya. "Wah, lain kali ya Tante. Maaf ya, Tante. Aku sedikit buru-buru. Udah dulu ya, Tant. Sampai ketemu di lain waktu. Dah Om Robin," ucap Dona sembari menggoda sang Boss.
Robin berjalan mendekati Ratna dan merangkul pundaknya. Mereka berdua melambaikan tangan lalu hening saling berpandangan.
"Wah, kamu mendapat banyak hadiah? Kira-kira, ada buat aku nggak ya?" goda Robin. Ia menarik Ratna untuk masuk ke dalam rumah dan mengangkat travel bag yang dibawa istrinya tadi.
Akan tetapi, langkah Ratna kembali terhenti melihat motor yang sedang terparkir. "Bang, itu motor siapa ya? Kok parkirnya di sini?"
Kepala Ratna bergerak liar mencari sesuatu. "Motor Abang di mana? Tadi waktu aku pergi nggak lihat apa pun di sini. Tapi, pulang-pulang udah aja motor itu."
"Oooh, ituuu.. Aku tukeran motor sama rekan ojek online lainnya. Katanya dia suka sama motor aku, jadi dia mengajak tukeran gitu. Ya, udah. Kami tukeran."
Ratna mengerutkan keningnya. "Emang boleh begitu aja?"
"Boleh lah. Kan kita sama-sama setuju," ucap Robin tak berani menatap mata Ratna.
"Lalu siapa bapak-bapak pakai jas tadi?"
"Oh, mungkin di sales freelance. Maklum aja, zaman susah saat ini kita harus bersedia bekerja bagai kuda, biar menghasilkan uang demi memenuhi kebutuhan keluarga," ucapnya semakin ngaco.
"Terus, Abang kenapa gak—"
"Stop ... Stop ... Stop ... Giliran aku yang bertanya dong? Aku kan udah melarang kamu bergerak, tapi kenapa tetep aja kabur?" sela Robin mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kan masak? Terus, aku gak punya baju? Jadinya, ya ... aku pergi sebentar. Aku baru inget, tadi hapeku aja ketinggalan," ucapnya lagi.
"Tadi, ada nama Amora menelpon," ucap Robin.
Ratna langsung menatap Robin memasang wajah penasaran. "Apa yang dia katakan?"
"Katanya, nanti jangan sampai terlambat," ucap Robin memasang wajah serius. "Kenapa kamu tidak mengatakan padaku, bahwa kita berdua diundang ke pesta?"
"Iya, maaf. Sebenarnya, tadi aku udah cerita. Hanya saja, kamu menjawabku dengan dengkuran."
Robin duduk mendekat. "Jadi, bagaimana menurutmu? Kita akan pergi, atau tidak?"
"Ya, pergi. Soalnya mertua Amora sudah mengundang kita. Nggak enak kalau kita nggak datang. Apa kamu mau menemaniku ke acara itu?"
"Tentu saja, kamu pergi, aku akan ikut bersamamu."
.
.
Ratna akhirnya berangkat dengan mengenakan salah satu gaun yang tadi dibawakan Dona. Gaun itu sederhana namun elegan, dan saat Ratna mengenakannya ditambah sedikit pulasan make up, membuat wajahnya tampak bersinar, seperti bintang di langit malam. Netra Robin tak henti menatap istrinya dengan kekaguman diam-diam.
Sementara itu, Robin memilih mengenakan kemeja lengan pendek yang paling biasa di antara koleksi bajunya. Sesuai kesepakatan mereka sebelumnya, pasangan itu akan membelikan sepasang jam tangan untuk mertua Amora.
Tapi ada yang kontras mencolok dari penampilan mereka: motor butut baru milik Robin. Dandanan Ratna yang anggun dan penampilan Robin yang rapi membuat mereka jadi pusat perhatian di sepanjang jalan. Robin menanggapinya dengan santai, sesekali malah tersenyum geli melihat orang-orang melirik. Berbeda dengan Ratna yang merasa risih dan buru-buru menutup kaca helm sepenuhnya, menahan malu.
Mereka berhenti di sebuah toko jam terkenal di pusat kota. Toko itu tampak mewah dari luar, dengan lampu-lampu terang dan etalase kaca berkilauan. Robin turun lebih dulu dan menggandeng tangan Ratna dengan langkah ringan dan penuh percaya diri.
Ratna, di sisi lain, melangkah ragu. Jantungnya berdebar tak nyaman. Ia tahu isi dompet mereka tak akan cukup untuk membeli barang di tempat semewah ini. Namun, genggaman tangan Robin memberi sedikit rasa tenang, walau pikirannya masih sibuk dihantui kekhawatiran soal harga jam yang akan mereka beli.
Begitu mereka melangkah masuk ke toko jam yang mewah itu, udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambut. Lantai mengilap, dinding kaca bening, dan rak-rak penuh jam mahal yang tertata rapi membuat langkah Ratna semakin kecil. Ia merasa asing di tempat seperti merasa seperti sehelai kain lusuh yang tersesat di etalase butik.
Sorot mata penjaga toko yang berdiri di dekat pintu menelusuri penampilan mereka dari kepala sampai kaki. Wajahnya tersenyum, tapi bukan senyum ramah, melainkan senyum penuh penilaian.
Dalam hati, si karyawan sudah berkomentar,
“Ah, lagi-lagi yang coba-coba tampil keren. Pakaian boleh lah, bisa pinjam atau beli versi kawe. Tapi, kalau dari gerak-gerik sih, aura pas-pasan nggak bisa bohong.”
"Se... selamat siang," sapa Ratna dengan suara nyaris tenggelam oleh suara pendingin ruangan.
Penjaga toko melirik mereka sekilas, lalu menjawab dengan nada setengah bercanda namun terdengar menusuk, “Selamat siang, Bu. Maaf, tapi... toko ini khusus menjual jam-jam original. Kalau sedang cari jam murah, mungkin bisa coba di kios pasar sebelah.”
Ratna tertegun. Ucapan itu seperti tamparan di siang bolong. Ia menunduk, merasa malu, sementara Robin menoleh ke arah penjaga toko itu dengan sorot mata tajam.
*versi panjang ya, mohon bagi sawer vote nya ya kakak/abang yang baca cerita manusia-manusia tuir ini ya. Terima kasih 🙏😇*