NovelToon NovelToon
Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa pedesaan / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.

Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.

Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.

Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?

Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…

Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?

Baca selengkapnya hanya di NovelToon.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Sebelum Kyai Huda selesai bicara, Fathur buru-buru menggeleng.

“Mohon maaf pak yai, saya tidak bermaksud menikah dengan Ning Azwa.”

Kyai Huda terdiam. “Lho… bukannya…?”

“Tidak, pak yai. Sungguh,” Fathur menjelaskan pelan. “Sejak dulu saya tidak pernah menyampaikan sesuatu kepada Neng Azwa. Saya tidak pernah memberikan tanda. Saya menganggap Neng Azwa seperti adik saya sendiri.”

Kyai Huda terdiam lama. Mengusap jenggotnya, merenungi kata-kata yang keluar dari Ustadz Fathur.

Ia tahu…

Ia paham betul bahwa Ning Azwa yang tak lain putri satu-satunya menyukai Ustadz Fathur diam-diam. Bukan cinta yang dikatakan, namun jelas terlihat dari cara Azwa sering menanyakan kabar, menyuruh Kyai Huda menjaga Fathur, dan selalu tersenyum malu ketika nama pemuda itu disebut.

Namun Azwa masih muda. Masih menimba ilmu, masih jauh dari tahap siap menikah.

Dan yang lebih penting: Ustadz Fathur tidak pernah diberi tahu apa pun tentang perasaan itu.

“Begitu, ya…” ucap Kyai Huda perlahan. Ada sedikit helaan napas panjang, bukan marah, bukan kecewa... lebih seperti menerima kenyataan yang sejak awal memang tidak ingin ia paksakan.

“Lalu… kamu mau menikah dengan siapa?” tanya Kyai Huda lembut.

Ustadz Fathur menunduk lebih dalam, kedua tangannya meremas bajunya. “Dengan… Aira, pak yai. Warga baru di RT sebelah.”

Kyai Huda mengerutkan dahi. “Aira? Yang orang kota itu?”

“Iya, pak yai.”

Kyai Huda kembali terdiam. Tatapannya lembut namun tajam, seolah ingin membaca hati muridnya.

“Kenapa buru-buru, Fathur? Kamu ini anak baik. Tidak perlu tergesa.”

Fathur menelan ludah. “Saya… saya takut salah langkah, pak yai. Di kampung ini ada peraturan soal pergaulan. Aira orang yang baru belajar. Saya ingin membimbingnya langsung tanpa menyalahi aturan. Dan… saya sudah istikharah sejak lama, pak yai. Tentang jodoh, tentang masa depan saya.”

Ia menunduk lebih dalam. “Niat saya ingin menjaga, bukan karena nafsu atau memanfaatkan keadaan.”

Kyai Huda semakin lama semakin lembut memandang muridnya. “Saya tahu kamu anak yang sangat takut menyakiti.”

Ustadz Fathur terdiam.

Kyai Huda lalu berkata pelan, penuh makna: “Kalau begitu, saya restui. Selama kamu yakin bahwa keputusanmu bukan untuk lari dari sesuatu… tapi untuk menuju kebaikan.”

Fathur mengangguk kuat. “InsyaAllah, pak yai.”

Kyai tersenyum, meski ada sedikit berat di matanya... seorang ayah yang harus melepaskan kemungkinan yang selama ini dipendam putrinya.

“Baiklah, Fathur… besok setelah ashar, kita bicarakan administrasinya. Kamu boleh menikah.”

Ustadz Fathur menunduk, hatinya lega sekaligus bergetar. “Terima kasih pak yai… terima kasih banyak.”

Saat ia pamit keluar, Kyai Huda menatap punggung murid kesayangannya itu — dengan doa yang dalam, dan sedikit rasa getir yang tidak pernah ia ucapkan.

***

Di ruang keluarga kediaman Kyai Huda malam ini terasa lebih sepi dari biasanya. Lampu temaram memantulkan bayangan lembut pada dinding, dan suara jangkrik di luar jendela terdengar jelas. Kyai Huda duduk di sofa panjang sambil memandangi lantai, pikirannya jauh melayang pada percakapan barusan dengan Ustadz Fathur.

Ia menghela napas pelan.

Ada rasa lega… tapi juga ada rasa berat.

Sebagai guru, ia senang Fathur sudah menemukan tujuan dan keberanian. Namun sebagai ayah… ia tahu kabar ini bisa menghantam hati seseorang.

“Ummi…” suara Kyai Huda terdengar lirih.

Ummi Maysaroh yang sedari tadi sedang melipat mukena menoleh. “Ya, Abi?”

“Sini…” Kyai Huda menepuk sofa di sampingnya, meminta istrinya duduk.

Ummi Maysaroh mendekat, duduk tenang dan penuh wibawa seperti biasanya. Senyumnya lembut, tapi ia peka. Ia tahu sesuatu sedang memberatkan pikiran suaminya.

“Ada apa, Abi?”

Kyai Huda menarik napas panjang sebelum bicara. “Fathur mau menikah.”

Ummi Maysaroh sedikit terkejut, matanya membesar. “Alhamdulillah… tapi menikah dengan siapa?”

“Katanya dengan seorang gadis kota yang baru pindah ke kampung sana. Abi juga belum tahu sama siapa.”

Ummi Maysaroh terdiam. Lalu pelan-pelan, wajahnya berubah sendu. Muncullah nama yang selama ini ia jaga perasaannya…

“Lalu Azwa bagaimana, Bi?”

Pertanyaan itu menggantung, berat dan lembut sekaligus.

Kyai Huda menunduk, tangannya menggenggam jari istrinya.

“Itulah yang membuat Abi bingung,” jawabnya jujur. “Azwa memang menyimpan rasa… tapi kita tidak pernah menjanjikan apa-apa kepada Fathur. Tidak pernah mengikatnya.”

Ummi Maysaroh menatap suaminya, hatinya ikut berat. Ia tahu putrinya, ia tahu cara Azwa menahan hati, cara ia diam ketika teman-temannya membahas jodoh.

“Azwa sayang betul sama Fathur, Bi…” suara Ummi Maysaroh melembut hingga hampir pecah. “Dia selalu bilang ‘jaga Ustadz Fathur, Mi’ setiap pulang liburan. Dia selalu tanya kabar Fathur… tapi memang tidak pernah bicara langsung.”

Kyai Huda mengangguk, matanya redup. “Justru itu, Mi… Abi tidak bisa memaksa Fathur menikah karena perasaan yang tidak pernah ia tahu. Jodoh itu bukan perkara siapa mencintai siapa… tapi siapa yang ditakdirkan Allah untuk bersama.”

Ummi Maysaroh menunduk. Air matanya menggenang. Sebagai ibu, hatinya pedih memikirkan putrinya yang harus menelan kenyataan pahit tanpa pernah berkesempatan mengungkapkan apa-apa.

“Lalu… kita harus bilang apa pada Azwa?” tanya Ummi Maysaroh lirih.

Kyai Huda kembali menghela napas panjang.

Ia menatap langit-langit, seolah mencari hikmah yang terletak lebih tinggi dari pemahamannya.

“Kita bilang yang sebenarnya, Mi,” ucapnya mantap tetapi lembut. “Bahwa Fathur telah meminta izin menikah. Bahwa jodoh itu bukan bisa kita atur. Bahwa mencintai dalam diam pun pahala… tapi tidak selalu berakhir dengan memiliki.”

Ummi Maysaroh menutup mulutnya, menahan isak kecil. “Ummi kasihan sama anak kita, Bi…”

Kyai Huda meraih tangan istrinya, menggenggamnya erat. “Abi juga kasihan… tapi kita tidak boleh menghalangi kebaikan orang lain hanya demi hati yang terluka. Nanti ketika waktunya tiba, Allah pasti kirimkan seseorang yang lebih baik untuk Azwa.”

Sunyi melingkupi ruangan itu.

Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.

Ummi Maysaroh mengangguk pelan, meski wajahnya masih redup.

“Semoga Azwa kuat menerima ini…”

Kyai Huda memejamkan mata sejenak.

“InsyaAllah, Mi. Kita akan bicara padanya besok. Dengan hati-hati. Dengan lembut. Tidak perlu terburu-buru.”

Malam ini, dua orang tua yang bijak membiarkan keheningan menjadi saksi kegelisahan yang harus mereka hadapi… demi putri tunggal yang mereka sayangi

***

Sementara di lain tempat.

Ustadz Fathur baru saja tiba di rumah setelah perjalanan dari pondok. Langkahnya pelan, pikirannya masih diselimuti wajah Aira dan segala kemungkinan masa depannya. Namun saat pintu kayu itu dibuka, aroma rumah yang sudah lama menemaninya menyambut dengan sunyi yang berbeda.

Rumah kecil itu berdiri di tanah wakaf, tepat di belakang masjid kampung. Tempat para jamaah sering lalu-lalang setiap jelang azan. Rumah sederhana yang selama ini cukup baginya seorang diri.

Ia meletakkan tasnya di ruang depan. Kursi tamu sederhana dan meja kayu mulai berdebu. Ia menghela napas, kemudian menggulung lengan bajunya, langsung mengambil sapu.

Suara gesekan sapu menyapu lantai terdengar beberapa saat. Ustadz Fathur berpindah ke ruang tengah... ruang yang menjadi tempat ia mengaji sendiri tiap malam. Lemari jadul masih berdiri di sana, juga tikar yang warnanya sudah mulai pudar.

“MasyaAllah… udah seperti rumah belum ditinggali setahun,” gumamnya kecil.

Ia lanjut ke kamarnya. Kasur lusuh yang selama ini tidak pernah ia keluhkan terasa sangat sederhana untuk ditempati dua orang nantinya. Lemari pakaiannya kecil sekali... bahkan untuk menampung baju sendiri saja pas-pasan.

Pikirannya langsung melayang.

Kamar untuk istri nanti… cukup nggak? Apa aku harus beli yang baru?

Ia berjalan ke kamar satunya. Kosong. Berdebu. Hanya ruangan kosong dengan tembok putih yang mulai kusam.

Ia menghela napas panjang. Rasanya bagai ada batu besar menekan dadanya.

Lalu ia menuju dapur. Kompor satu tungku, lemari piring kecil, meja yang sedikit goyang jika disentuh. Kamar mandi pun sederhana sekali, lantainya masih model lama.

“Bismillah…”

Tapi saat kembali ke ruang tengah, kenyataan yang lebih besar menghantam pikirannya.

Rumah ini milik wakaf. Rumah ini bukan miliknya. Rumah ini ada aturan. Rumah ini dipakai ustadz atau pengurus masjid yang belum berkeluarga.

Ia terdiam. Jantungnya berdegup tidak karuan.

“Ya Allah… kok aku nggak kepikiran ke situ sih?” ucapnya lirih, menjatuhkan diri ke tikar.

Bersambung

1
Rian Moontero
lanjuuuttt😍
Ijah Khadijah: Siap kak. Ditunggu kelanjutannya
total 1 replies
Ilfa Yarni
ya udah nanti ustadz tinggal drmh Aira aja toh Aira ank tunggal pasti orang tuanya senang deh
Ilfa Yarni
wallpapernya oke banget rhor
Ijah Khadijah: Iya kak. Ini diganti langsung sama Platformnya.
total 1 replies
Ilfa Yarni
bukan sama itu kyai sama Aira ank yg baru dtg dr kota
Ilfa Yarni
ya udah Terima aja napa sih ra
Ilfa Yarni
cieeee Aira mau nikah nih yee
Ilfa Yarni
cieee Aira dilamar ustadz Terima doooong
Ilfa Yarni
wah itu pasti laporan sijulid yg negor Aira td tuh
Ilfa Yarni
bagus Aira sebelum mengkoreksi orang koreksi diri dulu
Ilfa Yarni
klo dikmpg begitu ra kekeluargaannya tinggi
Ijah Khadijah: Betul itu. maklum dia belum pernah ke kampung kak
total 1 replies
Rina Nurvitasari
ceritanya bagus, lucu, keren dan menghibur TOP👍👍👍 SEMANGAT
Ijah Khadijah: Terima kasih kakak
total 1 replies
Ilfa Yarni
km lucu banget aura baik dan tulus lg sampe2 ustadz Fatur mengkhawatirkan km
Ilfa Yarni
aura jadi bahan ledekan dan olk2an mulu kasian jg eeeustadz Fatur nunduk2 suka ya sama neng aira
Ilfa Yarni
woi para santri Aira ga genit kok memang ustadz Fatur yg minjemin motornya
Ilfa Yarni
aduh Aira hati2 tar km jatuh lg
Ilfa Yarni
cieee begitu yg tadz okelah klo gitu nikah dulu dgn neng aira
Ilfa Yarni
Aira harus percaya diri dong km cantik lho warga kmpg aja mengakuinya aplg ustdz Fatur heheh
Ilfa Yarni
aaah ustadz Fatur sering amat nongki nongki dgn orangtua Aira suka ya sama neng aira
Ilfa Yarni
hahahahaha ke sawah pake baju kondangan aira2 km ya bikin ngakak aja
Ijah Khadijah: Salah kostum🤭🤭
total 1 replies
Ilfa Yarni
gitu aja ngambek Aira namanya jg ank ank
Ijah Khadijah: Iya kak.🤭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!