*Important*
novel ini ekslusif ada hanya di NovelToon,bila ada di platform lain, bearti plagiat
tolong bantu report
"Ketika dunia mengandalkan pedang dan sihir, aku membawa napalm dan artileri. Oh, dan saldoku? Error Tak Terbatas." Rian, seorang buruh pabrik yang mati karena kelelahan, mengira hidupnya berakhir. Namun, dia membuka mata sebagai Zephyrion IV, Kaisar boneka di dunia Terra Vasta—sebuah planet yang 1.000 kali lebih luas dari Bumi. Nasibnya buruk: Negaranya di ambang kebangkrutan, dikelilingi musuh, dan nyawanya diincar oleh menterinya sendiri. Tapi, Rian tidak datang dengan tangan kosong. Dia membawa "Omni-Store System"—sebuah toko antardimensi yang mengalami ERROR fatal. Saldo Poin: UNLIMITED (∞).
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8: Fisika Melawan Mistis
Medan perang di Lembah Celah Angin telah berubah menjadi neraka duniawi.
Udara yang tadinya segar kini tebal oleh asap putih belerang yang menyesakkan dada. Suara KLIK-KLAK-BLAR yang ritmis dari 500 senapan Lee-Enfield menciptakan simfoni kematian yang konstan.
Di depan parit, tumpukan mayat manusia dan kuda telah menciptakan barikade daging setinggi satu meter. Kavaleri Vexia yang bangga, yang mengira akan menyapu bersih para petani, kini terhenti total. Mereka yang selamat dari rentetan pertama berbalik arah dengan panik, menabrak rekan mereka sendiri di belakang.
"TERUS TEMBAK! JANGAN BIARKAN MEREKA BERNAPAS!" teriak Jenderal Gareth, suaranya serak mengatasi kebisingan pertempuran. Wajah tuanya dipenuhi jelaga mesiu, tapi matanya menyala dengan semangat yang sudah puluhan tahun hilang.
Di atas bunker komando, Zephyr tidak ikut bersorak. Matanya, dibantu oleh teropong, terfokus pada satu titik kecil di kejauhan, 800 meter di belakang garis depan musuh.
Di sana, dikelilingi oleh pengawal elit, seorang pria tua berjubah ungu sedang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi.
Energi ungu berputar-putar liar di atas tongkat itu. Udara di sekitarnya terdistorsi karena panas. Itu adalah bola api—sangat besar, mungkin berdiameter lima meter. Jika benda itu diluncurkan dan mendarat di dalam parit yang sempit, seratus prajurit Zephyr akan terpanggang hidup-hidup dalam sekejap.
"Jenderal! Di arah jam 12! Penyihir!" teriak Gareth yang akhirnya menyadari ancaman itu. "Perintahkan Kompi 3 untuk memusatkan tembakan ke sana!"
Zephyr menggeleng pelan. "Percuma. Jaraknya 800 meter. Dengan asap tebal dan kepanikan ini, anak buahmu tidak akan bisa mengenainya. Mereka hanya akan membuang peluru."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?! Kita harus mundur ke bunker!"
"Tidak," Zephyr menjatuhkan teropongnya. Wajahnya sedingin es. "Kalian terus habisi kavaleri. Penyihir itu urusanku."
Zephyr berbaring tengkurap di atap bunker yang terbuat dari kayu gelondongan. Dia membuka antarmuka [OMNI-STORE] di retinanya dengan kecepatan pikiran.
Lee-Enfield standar tidak cukup akurat untuk tembakan bedah sejauh ini. Dia butuh alat spesialis.
[KATEGORI: SENJATA PRESISI (SNIPER)]
[PILIHAN: Springfield M1903A4 (USA, WW2)]
Optik: Weaver 330C 2.5x Scope (Upgrade ke Unertl 8x Scope).
Amunisi: .30-06 Springfield Match Grade.
WUSH.
Senapan panjang ramping dengan laras berat dan teleskop panjang yang aneh muncul di tangan Zephyr. Dia menopang senapan itu di atas karung pasir.
Dia menempelkan matanya ke lensa teleskop. Dunia yang jauh tiba-tiba menjadi dekat.
Di dalam lensa bundar itu, Zephyr melihat wajah si penyihir. Pria tua itu sedang komat-kamit, keringat bercucuran di dahinya saat dia berjuang mengendalikan mana yang sangat besar itu. Dia tersenyum sombong, membayangkan jeritan musuh yang akan segera terbakar.
Zephyr menarik napas dalam-dalam. Dia mengabaikan suara ledakan di sekitarnya. Dia masuk ke dalam "zona"-nya.
Di kehidupan sebelumnya, Rian adalah penggemar berat game FPS dan video militer. Dia tahu teori menembak jarak jauh, meski belum pernah mempraktikkannya di dunia nyata. Untungnya, tubuh baru yang sehat dan bantuan visual dari Sistem (yang sedikit mempertajam fokusnya) membantunya.
Jarak: 800 meter.
Angin: 5 mph dari kiri ke kanan.
Kelembapan: Tinggi.
Target: Statis, tapi berbahaya.
"Penyihir itu..." gumam Zephyr pelan sambil mengatur turret (pemutar) di teleskopnya, mengompensasi jatuhnya peluru (bullet drop). "...dia berpikir dia sedang memanggil kekuatan alam."
Zephyr menggeser bidikannya sedikit ke kanan target untuk melawan arah angin. Napasnya ditahan setengah paru-paru. Detak jantungnya melambat.
Crosshair (tanda silang) di teleskop terkunci tepat di antara kedua mata penyihir yang sedang menyeringai itu.
"Sayang sekali," bisik Zephyr. "Hukum Fisika tidak peduli pada mantramu."
Jari telunjuk Zephyr menekan pelatuk dengan gerakan halus dan mantap.
BLAR!
Suara letusan Springfield M1903A4 lebih tajam dan nyaring daripada Lee-Enfield.
Zephyr tidak langsung melihat hasilnya. Peluru kaliber .30-06 melesat dengan kecepatan supersonik, membutuhkan waktu sekitar satu detik penuh untuk menempuh jarak 800 meter.
Satu detik yang terasa seperti selamanya.
Di kejauhan, sang penyihir baru saja akan mengayunkan tongkatnya ke depan untuk melepaskan bola api kiamat itu.
Tiba-tiba, kepalanya tersentak ke belakang dengan kekerasan yang luar biasa. Helm kulitnya pecah. Kabut merah menyembur dari belakang tengkoraknya.
Dia mati seketika, bahkan sebelum suara tembakan Zephyr mencapai telinganya.
Tapi horor yang sebenarnya baru dimulai.
Penyihir itu mati saat sedang memegang kendali penuh atas bola api raksasa. Tanpa pikiran sadar yang mengendalikannya, energi sihir yang tidak stabil itu kehilangan wadahnya.
Bola api di atas tongkat itu tidak meluncur ke depan. Bola api itu runtuh ke dalam, lalu meledak keluar tepat di posisi penyihir itu berdiri.
BOOOOMM!
Ledakan magis berwarna ungu terang menerangi lembah. Itu jauh lebih besar daripada ledakan granat biasa.
Zephyr melihat melalui teleskopnya bagaimana tubuh penyihir itu menguap. Pengawal elit di sekitarnya terlempar seperti boneka kain yang terbakar. Kuda Jenderal Vexia yang berada di dekatnya meringkik panik dan melempar tuannya ke tanah sebelum ikut terbakar.
Di garis depan, sisa-sisa kavaleri Vexia yang masih mencoba maju melihat ke belakang. Mereka melihat "senjata pamungkas" mereka meledak sendiri, membunuh pemimpin mereka.
Itu adalah paku terakhir di peti mati moral mereka.
"MEREKA PUNYA PENYIHIR YANG LEBIH KUAT!" teriak salah satu ksatria Vexia, melempar pedangnya dan memutar kudanya untuk kabur. "INI JEBAKAN! LARI!"
Kepanikan menular seperti wabah. Ribuan infanteri Vexia di belakang, yang belum sempat bertempur, melihat kavaleri elit mereka dibantai dan markas komando mereka meledak, langsung berbalik arah dan lari tunggang langgang.
Pertempuran di Lembah Celah Angin berakhir bukan dengan duel terhormat, tapi dengan pembantaian dan kekacauan total.
Zephyr menurunkan senapan snipernya. Dia menghembuskan napas yang ditahannya. Bahunya terasa sakit akibat hentakan senjata kuat itu, tapi rasa puas yang dingin menjalar di dadanya.
Dia menatap Jenderal Gareth yang melongo melihat ledakan ungu di kejauhan.
"Jenderal," panggil Zephyr tenang. "Tiuplah terompet kemenangan. Dan suruh orang-orangmu berhenti menembak. Peluru itu mahal."
Jadinya seperti pertarungan Fantasy sihir dengan teknologi modern/militer keren banget
Semoga semakin ramai pembacanya ya kakak author tetap semangat berkarya
Tetap semangat thor 💪
tetap semangat thor 💪
sudah di riview
Keren thor lanjutkan 💪💪