"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat (2)
Malam itu sunyi.
Bani berbaring di samping Rania, tubuh istrinya menghadap ke arahnya. Rania sudah terlelap, napasnya teratur, satu tangannya masih bertumpu di perutnya yang membesar.
Namun Bani tidak bisa tidur.
Kata-kata Rania malam tadi berputar-putar di kepalanya.
Tentang Laras. Tentang luka yang terlalu banyak untuk satu kehidupan. Tentang ketegaran yang dipaksakan demi seorang anak.
“Mas… Laras itu bukan perempuan lemah. Dia wanita kuat.
Bani memejamkan mata.
"Kenapa kamu menceritakan semua itu padaku, Ran?
Kenapa dengan cara seolah-olah kamu sedang menitipkan sesuatu?"
Ia mengenal istrinya. Rania bukan perempuan yang berbicara tanpa maksud. Setiap kata yang keluar darinya selalu membawa niat—dan kali ini, niat itu terasa terlalu berat.
"Ran… kamu seolah sedang bersiap pergi."
Dadanya terasa sesak.
Ia menoleh, memperhatikan wajah Rania dalam tidur. Garis lelah samar di bawah mata itu membuat hatinya mencelos.
Sejak kapan kamu menyimpan beban sendirian?
Sejak kapan kamu memikirkan hidup orang lain setelah kamu tiada—padahal kamu masih di sini?
Bani menggenggam tangan Rania pelan.
“Aku di sini,” bisiknya lirih. “Jangan tinggalkan aku.”
Namun Rania tetap terlelap, seolah tidak mendengar doa kecil itu.
Bani akhirnya terpejam—bukan karena tenang, melainkan karena tubuhnya kalah oleh lelah.
Entah pukul berapa.
Bani terbangun mendadak.
Dadanya naik turun cepat, napasnya memburu. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Jantungnya berdetak tak beraturan—seolah baru saja lari dari sesuatu yang tidak terlihat.
“Ran…” panggilnya pelan.
Ia meraba sisi tempat tidur. Rania masih ada di sana.
Namun rasa takut itu tidak pergi. Bani duduk, menekan dadanya sendiri.
"Kenapa rasanya seperti akan kehilangan sesuatu?
Kenapa seolah ada tangan tak kasatmata yang sedang menarik hidupku pelan-pelan?"
Ia menoleh ke arah jendela. Angin malam menggerakkan tirai perlahan. Sunyi terlalu dalam.
"Kalau ini hanya firasat… tolong jangan benar."
Bani menunduk, menutup wajah dengan kedua tangan.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia takut bukan karena dunia—melainkan karena kehilangan perempuan yang menjadi rumahnya.
Ia kembali berbaring, merapatkan tubuhnya ke Rania, memeluknya erat—terlalu erat untuk sekadar tidur.
Seolah ingin mengunci waktu. Seolah tahu, bahwa malam ini adalah salah satu malam terakhir di mana semuanya masih utuh.
***
Keesokan harinya...
Pagi itu udara pesantren terasa lebih sejuk dari biasanya.
Bani memarkir mobil di halaman. Rania turun pelan, satu tangannya refleks mengusap perutnya yang membulat. Bani menuntunnya hingga ke teras.
“Aku tunggu disini ya, sayang. Aku juga mau ketemu sama Zaki."
Rania tersenyum. “Iya, Mas.”
Di serambi pesantren, Nafisah sudah menunggu. Wajahnya cerah saat melihat Rania, namun seketika meredup ketika melihat mata sahabatnya yang tampak menyimpan sesuatu.
“Kamu kenapa, Ran?” tanya Nafisah begitu mereka duduk berdua.
Rania menggeleng. “Aku mau cerita… tapi jangan bilang siapa-siapa dulu.”
Nafisah mengangguk. “Cerita.”
Rania menarik napas panjang. “Mbak... Aku sering ngerasa… kayak waktuku gak panjang.”
Nafisah terdiam. “Jangan ngomong gitu.”
“Aku gak takut mati,” lanjut Rania pelan. “Aku takut ninggalin orang-orang yang aku sayang tanpa persiapan.”
Tangannya meremas ujung gamis. “Kalau suatu hari aku gak ada,” katanya lirih, “aku mau anakku tetap punya ibu.”
Nafisah menegang. “Rania—”
“Dengerin dulu,” potong Rania halus. “Aku tau ini terdengar gila. Tapi aku ngerasa… mbak Laras itu orang yang tepat.”
Nafisah terkejut. “Laras?”
“Iya. Dia pernah kehilangan segalanya, mbak. Tapi dia tetap utuh. Tetap lembut. Tetap jadi ibu yang hangat untuk Ameera meski hidupnya hancur.”
Air mata Rania jatuh. “Aku gak bisa ninggalin calon anakku ke sembarang orang. Kalau aku gak ada, aku mau dia tumbuh dengan pelukan yang tulus. Dan aku percaya, mbak Laras bisa ngelakuin itu.”
Nafisah menggenggam tangan Rania erat. “Kamu gak akan ke mana-mana, Ran.”
Rania tersenyum kecil. “Kalau Allah berkehendak lain?”
Nafisah tercekat.
“Aku juga mau minta satu hal lagi,” suara Rania makin lirih. “Kalau suatu hari terjadi sesuatu padaku… pastikan Bani memilih anakku. Bayi itu harus hidup.”
“Rania!” Nafisah nyaris berdiri. “Ini bukan permintaan biasa.”
“Aku tau,” jawab Rania tenang. “Makanya aku bilang ke kamu. Karena kamu gak cuma sahabatku—kamu penjaga amanahku, mbak Fisah."
Nafisah menggeleng sambil menangis. “Kamu bikin aku takut.”
“Aku cuma ingin tenang,” kata Rania sambil menggenggam perutnya. “Anakku harus tumbuh dengan cinta. Dengan ibu yang mau melindungi dia… bukan cuma mengasihani.”
Ia menatap Nafisah penuh harap. “Kalau aku gak ada, Mbak… tolong pastikan anakku gak kekurangan kasih sayang seorang ibu.”
Nafisah memeluk Rania erat. “Jangan ngomong soal pergi lagi,” bisiknya gemetar. “Tapi… kalau Allah benar-benar menuliskan itu, aku janji… anakmu gak akan sendiri.”
Rania menutup mata. Untuk pertama kalinya hari itu, dadanya terasa sedikit lebih ringan.
"Mbak.... Kalau nanti Gus Atheef belum menemukan jodohnya, aku harap, anakku nanti berjodoh dengan anakmu mbak. Tapi jika Gus Atheef sudah menyukai wanita lain, gapapa."
"Banyak sekali permintaan kamu, Ran."
Rania terkekeh, ya sekalian mbak. Aku ingin anakku tetap dikelilingi orang baik seperti kalian."
Nafisah mengerti, ini bukan permintaan biasa, ini seperti firasat-seseorang yang akan pergi.
Di luar, Bani duduk di halaman pesantren bersama Zaki, tanpa tau bahwa di balik tembok pesantren itu, istrinya sedang menitipkan amanah terbesarnya—dengan firasat seorang perempuan yang diam-diam sedang berpamitan pada dunia.
***
Bani duduk di bangku kayu di bawah pohon sawo, menatap kosong ke arah santri yang lalu-lalang. Zaki datang membawa dua gelas teh hangat.
“Ini,” kata Zaki sambil menyerahkan satu gelas. “Minum dulu.”
Bani menerimanya, tapi tidak langsung diminum.
“Kamu kelihatan gak tenang,” ujar Zaki pelan.
Bani tersenyum tipis. “Apa kelihatan banget?”
“Kalau orang lain mungkin gak,” jawab Zaki. “Tapi aku tahu kamu, Ban."
Bani menarik napas panjang. “Aku gelisah, Ki. Tanpa alasan yang jelas.”
Zaki menoleh, menunggu.
“Rania akhir-akhir ini aneh,” lanjut Bani. “Bukan dalam arti buruk. Dia… seperti orang yang sedang membereskan hidupnya.”
Zaki mengernyit. “Maksudmu?”
“Dia sering bicara soal ‘kalau suatu hari aku nggak ada’. Tentang anak. Tentang Laras.”
Bani menunduk. “Aku takut.”
Zaki terdiam sesaat. “Kamu takut kehilangan?” tanyanya.
Bani mengangguk. “Aku takut mimpi burukku jadi nyata. Semalam aku terbangun tiba-tiba. Jantungku berdebar, keringat dingin. Rasanya seperti ada sesuatu yang akan direnggut dariku.”
Zaki menyeruput tehnya perlahan. “Kadang, Allah menitipkan rasa takut bukan untuk menakut-nakuti.”
“Lalu untuk apa?” Bani menatapnya.
“Untuk mempersiapkan,” jawab Zaki mantap. “Supaya hati kita tidak kaget ketika diuji.”
Bani menghela napas. “Tapi aku nggak siap kalau harus kehilangan Rania.”
“Tidak ada laki-laki yang siap kehilangan istrinya,” kata Zaki lembut. “Tapi sebagai suami, tugasmu bukan mengendalikan takdir. Tugasmu menjaga, mencintai, dan berserah.”
Bani terdiam lama. “Bagaimana dengan Laras?” tanyanya akhirnya. “Rania seperti… mendorong sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan.”
Zaki menatap jauh ke depan. “Aku mengenal Laras dari cerita Rania. Dia perempuan kuat. Tapi ingat, Ki—”
Zaki menatap Bani serius. “Tidak ada perempuan yang bisa menggantikan Rania. Kalau pun suatu hari Laras hadir dalam hidupmu, itu bukan sebagai pengganti, tapi sebagai takdir baru.”
Bani memejamkan mata. “Apa aku egois kalau aku hanya ingin Rania?” suaranya serak.
“Tidak,” jawab Zaki. “Itu cinta. Tapi jangan sampai cintamu menutup pintu takdir Allah.”
Bani terdiam. Kata-kata itu menghantam tepat di dadanya.
“Lakukan satu hal,” lanjut Zaki. “Perbanyak doa. Jangan lawan firasat Rania dengan penolakan, tapi hadapi dengan kesiapan. Kalau Allah ingin mengambil sesuatu, Dia selalu sudah menyiapkan gantinya—meski sering kali kita belum siap menerimanya.”
Bani menatap gelas tehnya yang sudah dingin. “Aku takut,” ulangnya pelan.
Zaki menepuk bahu sepupunya. “Takut itu tanda kamu masih manusia. Tapi jangan biarkan takut membuatmu lupa bersandar pada Allah.”
Angin pagi berhembus pelan.
Bani menunduk, berbisik lirih—entah kepada Zaki, atau kepada dirinya sendir, “Ya Allah… jangan ambil Rania.”
Namun jauh di dalam hatinya, untuk pertama kalinya, Bani menyadari satu hal yang menakutkan—bahwa doa itu mungkin tidak akan dikabulkan seperti yang ia harapkan.
***
Malam sudah larut di pesantren itu.
Santri-santri telah terlelap, hanya suara jangkrik dan angin yang menyapu dedaunan menemani Nafisah duduk di tepi ranjang. Matanya menatap kosong ke arah jendela, pikirannya masih tertinggal pada kata-kata Rania sore tadi.
Zaki masuk pelan, menutup pintu dengan hati-hati.
“Kamu belum tidur?” tanyanya lirih.
Nafisah menggeleng. “Belum bisa.”
Zaki duduk di samping istrinya. “Bani cerita ke aku,” katanya pelan. “Tentang kegelisahannya.”
Nafisah menunduk. “Berarti firasat itu bukan cuma ada di Rania.”
Zaki menarik napas panjang. “Kamu percaya firasat?”
Nafisah terdiam lama sebelum menjawab. “Aku percaya Allah sering menitipkan pesan lewat perasaan. Tapi aku juga takut mempercayainya terlalu dalam.”
Zaki menatap wajah istrinya. “Rania datang ke kamu bukan sebagai perempuan yang takut mati. Tapi sebagai ibu yang takut anaknya tidak punya pelukan.”
Air mata Nafisah jatuh. “Dia minta aku memastikan anaknya nanti dicintai,” ucap Nafisah dengan suara bergetar. “Mas… itu bukan permintaan orang yang sedang baik-baik saja.”
Zaki mengangguk pelan. “Itu permintaan orang yang sedang menyiapkan kepergiannya.”
Nafisah menutup wajahnya. “Aku sudah bilang ke dia, jangan bicara seperti itu. Tapi caranya bicara… tenang. Terlalu tenang.”
“Kadang,” ujar Zaki lirih, “ketenangan itu bukan karena ikhlas sepenuhnya. Tapi karena sudah berdamai.”
Nafisah menoleh cepat. “Mas jangan bilang begitu.”
Zaki menggenggam tangan istrinya. “Aku tidak mengatakan itu akan terjadi. Aku hanya bilang… kita harus bersiap kalau Allah punya rencana lain.”
Nafisah mengangguk sambil terisak. “Kalau sesuatu terjadi pada Rania,” katanya pelan, “Laras akan menanggung amanah yang sangat berat.”
Zaki terdiam sejenak. “Dan Bani akan hidup dengan kehilangan yang tidak pernah ia pilih.”
“Mereka semua tidak siap,” bisik Nafisah.
“Kita juga tidak,” jawab Zaki. “Tapi tugas kita bukan menolak takdir, melainkan menguatkan mereka jika takdir itu datang.”
Nafisah menyeka air matanya. “Mas… kalau itu benar-benar terjadi, aku tidak mau Laras berjalan sendirian.”
“Dia tidak akan,” kata Zaki mantap. “Selama kita hidup, kita akan berdiri di sekeliling mereka.”
Nafisah menarik napas dalam. “Aku hanya berharap… ini cuma ketakutan seorang ibu hamil.”
Zaki mengangguk. “Dan aku berharap Allah menjadikan firasat itu hanya ujian rasa.”
Mereka terdiam. Dalam diam itu, doa mengalir tanpa suara.
Doa agar firasat itu salah. Doa agar Rania tetap pulang ke rumahnya. Doa agar tidak ada anak yang lahir bersamaan dengan kehilangan.
Namun jauh di lubuk hati mereka berdua, ada ketakutan yang sama—bahwa Rania sedang menulis akhir hidupnya dengan sangat rapi.