Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa
Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam
Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya
Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Perpindahan Jiwa
🦋
"Cukup, Lora!" suara Gavriel meledak, suaranya serak tapi tajam seperti pisau. "Berhenti menuduh ibuku! Dia bahkan tidak ada di rumah sakit saat kau melahirkan!"
Selama ini Gavriel memilih diam, menganggap kemarahan Valora hanyalah luapan emosi. Tapi kali ini, kata-kata itu seperti racun yang menyusup ke dadanya. Dia tidak akan membiarkan ibunya dirobek-robek fitnah.
Valora melirik Jevano, menunggu isyarat. Satu anggukan kecil, kode yang sudah mereka rancang dan Valora langsung melepaskan peluru terakhirnya.
"Ibumu memang tak ada di rumah sakit saat aku melahirkan," suaranya serak, pecah di ujung kata. "Tapi dia pergi ke dukun keluarga Wardana. Dukun Santoso. Dia... dia mengorbankan Zayn, bayiku, untuk makhluk itu!"
Kalimatnya jatuh seperti palu godam. Nafas Valora bergetar, matanya berair. Bayi yang seharusnya tumbuh, dipeluk, dicium… dibunuh dengan dingin.
Dia tak berhenti di situ. "Radit, kakakmu nyaris menghancurkan rumah tangga Mas Lucas dan Mbak Yenna. Dia juga yang membuat Ginela, putri Mbak Viora, sekarat. Keluargamu... memang pantas mendapat penghargaan keluarga hina."
Urat di pelipis Gavriel menegang. Wajahnya memerah bukan karena malu, tapi marah yang membakar.
"Berhenti menghina keluargaku, sialan!" Gavriel melangkah cepat, dorongan kuat menghantam tubuh Valora.
Udara seperti membeku.
Valora melemas, membiarkan gravitasi menariknya. Jevano terbelalak, matanya membesar, jantungnya melompat ke tenggorokan saat melihat tubuh itu melayang di udara.
"Lora!" teriaknya, berlari ke tepi rooftop.
KRAK!
Tubuh Valora menghantam landasan karet buatan Leo dan Zeno. Ia mengacungkan jempol, memberi sinyal: Aku aman.
Leo menariknya bangun, Edwin segera menyambar tubuh Valora untuk dibawa turun. Anira, kakak Jevano, sudah siap dengan perannya, menyiram darah buatan di tubuh Valora, membengkokkan kaki agar terlihat patah. Lyra, dari sudut lain, menirukan suara tulang patah dengan sempurna.
Di rooftop, Gavriel membeku. Telinganya berdengung. Suara retakan tulang itu terus memantul di kepalanya. Dia melangkah goyah ke tepi, tangannya gemetar.
Lalu...
BUK! Jevano menghantam wajahnya.
"Bangsat kau, Gavriel! Kau bunuh kekasihku!" pukulan bertubi-tubi mendarat, membuat wajah Gavriel terhuyung.
Leo harus menarik tubuh Jevano dengan tenaga penuh. "Cukup, Jevan!"
"Lepas! Dia harus mati di tanganku!" Jevano meronta seperti hewan yang terluka.
Sementara itu, Gavriel hanya terduduk di pojok, memeluk lutut. Matanya kosong. "Bukan aku... bukan aku yang membunuhnya..." suaranya pecah, nyaris seperti anak kecil yang ketakutan.
Dua polisi naik ke rooftop. Leo dan Zeno hanya menunjuk Gavriel yang tak lagi melawan, seolah jiwanya sudah runtuh.
Di bawah, drama puncak dimulai.
Tubuh Valora yang dibalut bergaun peach, basah oleh darah tergeletak di pelukan Jevano. Tulang-tulang yang tampak keluar dari kulitnya menambah kesan mengerikan.
"Lora... bangun, sayang..." suara Jevano bergetar. "Kita masih punya banyak tempat untuk dikunjungi. Kita masih harus menikah, ingat? Kita janji sehidup semati..."
Air hujan buatan Theo mulai turun, membasahi mereka. Rintik bercampur darah mengalir di sela jari Jevano yang menggenggam tubuh itu.
"Bangun... kalau bukan denganmu, aku tidak akan mencintai siapapun!" teriaknya, suaranya melawan badai yang hanya ia dengar sendiri.
Darnel, ayahnya, menepuk bahu dengan pelan. "Nak... ikhlaskan. Dia sudah tenang di alamnya."
"Tidak, Yah!" Jevano menatap dengan mata merah. "Dia hanya tidur... kan, sayang? Ayo buka matamu..."
Saat petugas memisahkan mereka, Jevano berteriak, memohon, meronta. Tapi akhirnya, tubuh itu dibawa pergi untuk otopsi.
Dan semua ini, drama, tangis, hujan adalah panggung yang sudah dirancang. Sayangnya, skenario ini meninggalkan konsekuensi yang tidak mereka duga… Valora koma selama tiga bulan.
Flashback off
Jevano termenung di ranjang. Matanya menatap kosong ke arah jendela, tapi pikirannya masih terperangkap pada hari itu, hari ketika rencana mereka sukses… tapi juga nyaris merenggut nyawa Valora.
"Melamunkan apa?"
Suaranya lembut, tapi cukup untuk memutus arus pikiran.
Jevano menoleh, dan di sanalah Kiran keluar dari walk-in closet dengan rambut basah yang memantulkan cahaya matahari. Dress navy selututnya mengembang ringan setiap kali ia bergerak, membuatnya tampak seperti tokoh dari mimpi yang terlalu indah untuk disentuh.
Jevano hanya diam, matanya mengikuti setiap langkah gadis itu.
"Ada yang salah dengan penampilanku?" Kiran mengerutkan dahi, merasa aneh dengan tatapan itu.
Jevano menarik napas pelan. "Cantik..."
"Cantik, sayang," Edwin menyambar dari sofa, membuat suasana seketika berubah.
"Dasar jelangkung," gumam Jevano sinis, langsung menghilang masuk kembali ke walk-in closet.
Kiran menghela napas, lalu mengetuk pintu. "Jevan?"
Tak ada jawaban.
"Ayo Ki, sarapan. Auliandra sudah menunggu," Edwin berdiri, menepuk tangannya ringan.
"Tidak. Aku tunggu di sini. Ada yang ingin kubicarakan dengannya."
Edwin menatapnya lekat-lekat. Biasanya, Kiranlah yang menghindari Jevano. Kenapa sekarang malah bertahan?
Tapi dia tak memaksa. "Baik. Tapi aku tetap di sini."
***
Di dapur, Auliandra sibuk menata piring dibantu Nira. Sejak pagi ia sudah datang, setelah menerima pesan dari Edwin bahwa Kiran ditinggal berdua dengan Jevano.
"Nona, duduklah dulu. Anda belum istirahat sejak tadi," ucap Nira sambil menarik kursi.
Auliandra menurut. Ia menatap meja, lalu berucap pelan, "Nira, kau ingin tahu kisah tubuh ini?" jemarinya menyentuh dadanya.
Nira mengangguk. Sebelumnya, ia memang sudah mendengar sebagian dari identitas asli tubuh yang kini ditempati Auliandra.
"Begini ceritanya..."
Flashback On
Rumah sakit malam itu penuh ketegangan. Monitor detak jantung di ruang ICU berbunyi cepat, lalu melambat. Valora terbaring lemah, kulitnya pucat.
"Detak jantungnya turun drastis!" seru dokter.
Jevano berusaha masuk, tapi ditahan. Dia hanya bisa menatap dari kaca, melihat perempuan yang ia cintai berjuang di antara hidup dan mati.
"Kedua jiwa Valora bertarung memperebutkan tubuhnya," suara Edwin terdengar tegas saat masuk bersama Lyra dan Theo.
Maura, yang berdiri di sudut ruangan, mengernyit. "Tapi selama ini mereka tidak pernah berebut posisi."
"Itu sebelum dia melahirkan Zayn," jelas Lyra. "Kelahiran itu menguras kekuatan salah satu jiwa. Dan sekarang, dia hamil kembar. Tubuh ini tidak cukup kuat menampung keduanya."
"Lalu apa yang harus dilakukan?" tanya Maura cemas.
"Temukan tubuh baru untuk salah satu jiwa," jawab Edwin dingin.
Ponsel Maura bergetar. Nama yang muncul di layar membuatnya tertegun 'Ayla Calderon', sahabat masa kecilnya.
"Ada apa, Ayla?" tanyanya begitu sambungan terhubung.
Tangis di seberang sana membuat dada Maura mengencang. "Putriku... Maura, putriku kecelakaan... dan dia..."
"Dan apa!?" suara Maura meninggi.
"Dia tidak selamat..."
Maura terdiam, tak mampu bicara. Rion, suaminya, merebut ponsel itu. "Bawa putrimu ke rumah sakit. Aku kirim alamatnya. Aku pastikan nyawanya kembali."
Ketika sambungan terputus, Maura menatap Rion dengan tatapan penuh tanya. "Apa maksudmu?"
Rion menatapnya serius. "Tubuh Liana bisa menjadi wadah. Jiwa putri kita butuh tubuh baru. Liana sudah kehilangan jiwanya."
Dan benar saja, tiga puluh menit kemudian Ayla datang. Alex, suaminya, menggendong Liana, gadis 20 tahun dengan tubuh yang sudah dingin dan pucat. Darah masih menodai bajunya.
"Aku akan memindahkan jiwa putriku ke tubuh putrimu," kata Rion tanpa basa-basi.
Ayla, dengan mata bengkak karena tangis, mengangguk. "Lakukan."
***
Ruang VVIP rumah sakit itu sudah diubah total. Tirai jendela ditutup rapat, hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyala redup, menciptakan cahaya kekuningan yang temaram. Bau antiseptik bercampur samar aroma dupa dari mangkuk tembaga yang diletakkan di meja kecil di sudut.
Di tengah ruangan, dua ranjang rumah sakit disusun sejajar.
Di sebelah kiri Valora, terbaring lemah dengan wajah pucat pasi, napasnya nyaris tak terdengar.
Di sebelah kanan Liana, tubuhnya kaku dan dingin, kulitnya pucat keabu-abuan seperti marmer yang tak lagi bernyawa.
Ayla berdiri di sisi Liana, menggenggam tangan putrinya yang dingin. Tangisnya nyaris tak bersuara, hanya getar bibir yang menyayat hati. Alex berdiri di belakangnya, rahangnya mengeras menahan emosi.
Maura memegang tangan Valora, jemarinya gemetar. "Rion, pastikan ini berhasil..." suaranya serak, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena taruhannya terlalu besar.
Rion berdiri di antara kedua ranjang, membuka kotak kayu tua berukir simbol kuno. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah botol kaca kecil berisi cairan keemasan yang memantulkan cahaya lampu.
"Lyra, Theo. Bantu aku menjaga energi ruangan tetap stabil. Edwin, kau fokus mengendalikan jiwa."
Lyra menutup matanya, membisikkan mantra pelan, membuat udara di ruangan terasa berat, seolah dinding menyerap setiap suara. Theo mengangkat kedua tangannya, menciptakan pusaran tipis cahaya kebiruan di atas ranjang Liana.
Edwin maju, meletakkan telapak tangannya di dada Valora. "Dengarkan aku, Valora... lepaskan setengah dirimu. Biarkan satu jiwa itu keluar. Aku akan memastikan ia mendapatkan tubuh barunya."
Detik berikutnya, dada Valora naik-turun dengan cepat. Matanya terbuka, dua iris berbeda warna bergantian muncul, satu hitam kelam, satu keemasan menyala. Bibirnya bergetar, seperti sedang bicara pada seseorang yang tak terlihat.
Lalu… dari tubuhnya, samar-samar muncul kabut tipis berwarna keemasan, bergerak pelan seperti tarikan napas yang dihembuskan ke udara dingin.
Kabut itu melayang menuju tubuh Liana.
Tapi prosesnya tidak mulus. Tubuh Valora menegang, punggungnya melengkung tajam. Detak jantung di monitor melonjak, alarm berbunyi nyaring.
"Dia melawan!" seru Lyra, membuka mata.
"Pegang dia!" perintah Edwin. Maura dan Alex spontan menahan tubuh Valora yang bergetar hebat.
Rion menuangkan setetes cairan emas dari botol ke bibir Valora. Gadis itu terhuyung, napasnya tersendat, dan kabut keemasan itu tiba-tiba terdorong lebih cepat mendarat tepat di dada Liana.
Tubuh Liana bergetar. Jemarinya yang kaku perlahan menggeliat. Bibirnya yang pucat bergerak, mengeluarkan tarikan napas pertama, pelan tapi nyata.
Ayla memekik, menutup mulutnya, air mata jatuh tanpa bisa dihentikan.
"Liana..."
Namun saat matanya terbuka, yang menatap balik bukanlah Liana sepenuhnya. Ada sorot asing di sana, sorot yang tajam, penuh kesadaran berbeda.
Edwin menarik napas panjang.
"Selesai."
Theo menurunkan tangannya, pusaran cahaya menghilang. Lyra membuka mata sepenuhnya, wajahnya pucat.
"Kita berhasil… tapi ini belum selesai."
Rion memandang semua orang di ruangan itu. "Mulai sekarang, tubuh ini bukan lagi milik Liana. Tapi kita akan membuat dunia percaya bahwa dia adalah Liana yang sama."
Maura menunduk, menggenggam tangan Liana erat. "Selamat datang kembali, sayang..."
Flashback off
🦋To be continued...