sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Niat Oma Rosmawati
Oma Rosmawati berdiri di depan jendela kamar rumah sakit itu cukup lama.
Lampu kota di luar terlihat redup, sebagian terpantul di kaca seperti bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat Bio duduk di sisi ranjang Bintang, kepalanya sedikit tertunduk, tangan mereka masih saling menggenggam. Pemandangan itu seharusnya menghangatkan hati siapa pun.
Tapi tidak untuk Rosmawati.
Ia menarik napas pelan. Bukan karena benci. Bukan pula karena ingin menyakiti. Justru karena ia terlalu mencintai cucunya—dan cinta semacam itu sering kali melahirkan keputusan yang keras.
“Bio,” panggilnya akhirnya.
Bio mendongak. Ada sedikit tegang di wajahnya, seperti anak kecil yang tahu ia sedang dinilai.
“Oma?” jawabnya sopan.
“Temani Bintang sebentar. Oma mau bicara dengan Rama.”
Bio mengangguk. Ia mengeratkan genggaman tangan Bintang sebentar sebelum berdiri. “Aku di luar kalau Oma butuh apa-apa.”
Begitu pintu tertutup, Rosmawati berjalan mendekat ke ranjang. Ia menatap wajah Bintang yang tertidur—rapuh, terlalu kurus, dan jauh dari kesan perempuan kuat yang selama ini ia banggakan.
Hatinya mencelos.
Ini akibat cinta yang terlalu berat, pikirnya.
Beberapa menit kemudian, di lorong yang lebih sepi, Rama berdiri menyandarkan punggungnya ke dinding. Begitu melihat Oma mendekat, ia langsung menegakkan badan.
“Oma manggil saya?” tanyanya hati-hati.
Rosmawati mengangguk. “Kamu lihat sendiri kondisi Bintang.”
Rama menghela napas. “Iya, Oma. Tapi ini bukan sepenuhnya salah Bio.”
“Bukan sepenuhnya,” ulang Oma. “Tapi tetap saja, dia bagian dari luka itu.”
Rama terdiam. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini akan menuju.
“Oma tidak bisa terus membiarkan Bintang hidup dengan ketidakpastian,” lanjut Rosmawati. “Cinta yang membuatnya jatuh sakit seperti ini bukan cinta yang sehat.”
Rama mengerutkan dahi. “Oma mau menjauhkan mereka?”
“Oma mempertimbangkan masa depan Bintang tanpa Bio.”
Kalimat itu jatuh pelan, tapi berat.
Rama mengangkat wajah. “Oma yakin?”
“Oma yakin pada satu hal,” jawab Rosmawati tenang. “Bintang terlalu banyak berkorban. Dan orang yang benar-benar tepat untuknya seharusnya melindungi, bukan membuatnya hancur sampai pingsan.”
Rama menelan ludah. Ia teringat wajah Bio yang penuh rasa bersalah, tangan gemetarnya saat mendengar Bintang dirawat.
“Tapi Bio mencintai Bintang,” ucap Rama akhirnya.
Rosmawati tersenyum tipis. “Banyak orang mencintai. Tidak semua sanggup bertahan.”
Ia melangkah beberapa langkah, lalu berhenti. “Satya datang hari ini bukan tanpa alasan.”
Rama terkejut. “Oma sengaja?”
“Satya stabil. Pendidikannya jelas. Lingkarannya sehat. Ia tahu posisi Bintang dan tidak merasa terancam olehnya,” jawab Rosmawati datar. “Dan yang paling penting—dia tidak membawa masa lalu yang kelam.”
Rama terdiam lama.
“Bio punya luka sendiri,” lanjut Oma. “Luka yang bahkan belum ia pahami sepenuhnya. Dan luka itu akan menyeret Bintang cepat atau lambat.”
Di dalam kamar, Bintang bergerak kecil. Matanya terbuka setengah. Ia menatap pintu yang tertutup, perasaan tidak tenang menyelinap tanpa alasan jelas.
Sementara itu, di lorong, Rama memberanikan diri bicara.
“Oma,” katanya pelan. “Kalau Bintang tahu niat Oma… dia akan melawan.”
Rosmawati menatapnya tajam. “Oma tahu.”
“Dan kalau Oma memaksakan ini?”
“Oma tidak akan memaksa,” jawabnya cepat. “Oma hanya akan… mengarahkan.”
Rama menghela napas berat. Ia tahu betul apa arti kata mengarahkan dari Rosmawati.
“Cinta pertama sering kali tidak bertahan,” lanjut Oma. “Dan Bintang masih muda. Ia akan mengerti nanti.”
Rama menunduk. Untuk pertama kalinya, ia tidak sepenuhnya setuju dengan Oma.
Di ujung lorong, Bio berdiri tanpa suara. Ia baru kembali dari membeli kopi, dan tanpa sengaja mendengar potongan kalimat terakhir itu.
Masa depan Bintang tanpa Bio.
Kata-kata itu bergaung di kepalanya.
Tangannya mengepal di balik jaket, dadanya terasa sesak. Ia tidak masuk. Tidak menyela. Ia hanya berdiri, mendengarkan, dan untuk pertama kalinya—benar-benar takut kehilangan.
Di dalam kamar, Bintang menunggu.
Tanpa tahu bahwa di luar sana, masa depannya sedang dipertimbangkan… tanpa dirinya.
...****************...