Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.
Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.
Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.
“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Hamil
Terkadang hidup suka bercanda.
Ketika seseorang merasa semuanya sudah terencana, takdir datang dengan kejutan yang bahkan tidak pernah terpikirkan.
Untuk Selena, kejutan itu datang dari mulut seorang anak kecil dan dari dua garis merah pada selembar tes.
---
Arunika duduk di meja kelas sambil memakan bekal roti isi yang sudah Selena siapkan. Di depannya, Liora—teman sekelas yang terkenal cerewet dan penuh semangat—baru saja duduk dengan wajah berbinar.
“Aru! Aku punya adik baru!” ujar Liora penuh kebanggaan.
Arunika berhenti mengunyah, menatap penasaran.
“Adik? Kamu punya adik baru?”
Liora mengangguk heboh sampai kepang rambutnya ikut bergoyang.
“Iya! Namanya Leo. Dia lucu banget. Masih merah, tapi pipinya kayak mochi!” ucapnya sambil membayangkan adiknya.
Tanpa diminta, Liora terus bercerita—kali ini lebih heboh.
“Terus setelah adikku lahir, Mama sama Papa beliin aku iPad baru! Katanya supaya aku nggak rebutan mainan sama Leo kalau dia udah gede nanti.”
Mata Arunika membulat.
“Wah… kamu punya adik, dibeliin iPad juga.”
Liora lalu mencondongkan tubuh, bertanya dengan polos.
“Kamu punya adik nggak, Aru?”
Arunika menggeleng pelan, ekspresinya langsung lesu.
“Nggak. Aku nggak punya adik.”
“Hah? Kasihan banget!” seru Liora spontan. “Minta aja sama Mama kamu. Tinggal bilang aja: ‘Ma, Aru mau adik!’”
Arunika mengerjap, tampak mulai berpikir serius.
“Emang bisa cuma bilang gitu?”
Liora mengangguk mantap.
“Iya! Mama bilang kalau mau sesuatu harus ngomong. Kalau diam aja, nanti Mama nggak tahu.”
Semangat mulai muncul di mata Arunika.
“Tapi… punya adik itu nggak seru, kan?” tanya Arunika ragu.
Liora langsung menolak dengan cepat.
“Kata siapa? Seru banget! Aku jadi punya temen main di rumah. Terus jadi Kakak! Kakak itu keren, tau.”
Arunika terdiam sejenak. Liora terlihat semakin bangga.
“Pokoknya kamu harus punya adik, Aru. Seru!”
Arunika mengangguk kecil, memegang kotak bekalnya dengan tekad bulat.
Nanti kalau Mama jemput Aru… Aru bakal minta adik.
---
“Mama… Aru mau adik.”
Arunika menarik-narik lengan Selena sambil merengek, suara manja dan memaksa.
Selena menoleh, terkejut.
“Sayang, Mama kan sudah bilang. Aru belum punya adik.”
Arunika mengerucutkan bibirnya, lalu mengangkat kepala dengan ide besar yang menurutnya sangat logis.
“Kalau gitu ayo kita beli adik aja… biar Aru punya adik.”
Daren yang baru duduk di sofa hampir tersedak minumannya.
“Beli… adik?” ulangnya pelan, tak yakin dengan apa yang didengarnya.
Selena mengusap pelan rambut Arunika sambil menahan tawa.
“Sayang, adik itu nggak bisa dibeli.”
Arunika makin manyun, pipinya menggembung seperti roti.
“Tapi Liora punya adik. Katanya kalau mau adik tinggal bilang sama Mama. Terus Liora dibeliin iPad juga.”
Selena menatap Daren tajam—seperti meminta penjelasan instan.
Daren mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
“Aku nggak tahu apa-apa, sumpah. Aru pulang-pulang langsung teriak mau adik. Aku nggak pernah bilang apa pun.”
Arunika menatap kedua orang tuanya bergantian, lalu makin memeluk boneka kelincinya.
“Aru juga mau jadi kakak… kayak Liora.” suaranya kecil, mulai terdengar kecewa.
Selena dan Daren saling berpandangan—kaget, bingung, dan sedikit tertawa dalam hati.
Selena menghela napas pelan lalu menggendong Arunika, membawanya ke sofa.
Daren ikut duduk di samping mereka, bersandar sedikit ke depan, siap menghadapi “rapat keluarga dadakan”.
“Sayang,” Selena memulai dengan lembut, “punya adik itu nggak kayak beli es krim di minimarket. Adik itu… datangnya pelan-pelan.”
Arunika mengerjap bingung.
“Pelan-pelan gimana? Ada aplikasinya nggak?”
Daren hampir tertawa, menutup mulutnya dengan tangan.
“Nggak ada aplikasinya, Aru. Kalau ada, mungkin Papa sudah install dari dulu.”
Selena menatap Daren sinis, seolah berkata “kamu jangan bikin tambah bingung”.
Daren mendekat, suara lebih serius.
“Aru, dengar ya. Kalau nanti Aru punya adik, itu artinya Aru harus berbagi. Mainan Aru, waktu sama Mama, waktu sama Ayah. Adik nanti masih kecil banget dan butuh banyak perhatian.”
Arunika terdiam. Alisnya bertaut seperti sedang menghitung.
“Terus… nanti Mama nggak peluk Aru lagi?” suaranya kecil, takut.
Selena langsung memeluknya erat.
“Mama bakal selalu peluk Aru. Nggak akan berubah. Adik atau nggak, Aru tetap anak Mama.”
“Ayah juga,” sambung Daren sambil mengusap punggung Arunika, lembut.
“Ayah tetap sayang Aru nomor satu di dunia.”
Arunika mengangkat kepala pelan.
“Nomor dua-nya siapa?”
“Nggak ada. Semua slot penuh buat Aru,” jawab Daren cepat.
Selena menatap Daren sambil tersenyum kecil—begitu mudah pria itu mencairkan hati siapa pun.
Tapi Arunika belum selesai.
“Kalau begitu… kalau nanti Aru punya adik…”
Ia menatap mereka bergantian, penuh harap.
“Aru boleh pilih namanya?”
Selena dan Daren saling memandang.
“Dan kalau Aru mau adik,” Arunika mengangkat telunjuknya ke udara seperti guru TK, “adik harus lucu, pipinya mochi, dan Aru tetap boleh tidur di tengah Mama dan Ayah.”
Selena terbahak kecil.
“Permintaannya banyak banget.”
Daren mengusap kepala Arunika.
“Kita pikirin pelan-pelan ya, sayang. Yang penting sekarang Aru sehat dan bahagia dulu.”
Arunika akhirnya mengangguk—meski jelas masih menyimpan misi punya adik.
“Baiklah…” katanya dengan nada mengalah.
“Tapi nanti kalau Aru udah punya adik, Ayah sama Mama jangan lupa peluk Aru duluan.”
Selena dan Daren serempak menjawab:
“Janji.”
Arunika tersenyum puas, lalu menyender di dada Daren.
Dan untuk pertama kalinya, Selena tidak merasa tertekan seperti dulu.
Ada rasa hangat mengalir pelan di dadanya.
Mungkin…
memiliki adik untuk Arunika suatu hari nanti bukanlah hal yang menakutkan.
---
“Sekarang ayo Aru tidur sama Ayah,” ucap Daren sambil mengangkat Arunika ke gendongannya.
“Ayah punya dongeng baru, loh. Aru mau dengar nggak?”
Mata Arunika langsung berbinar, seolah rasa ngantuknya hilang begitu saja. “Mau! Dongeng yang ada putri sama kuda terbang itu lagi ya?”
“Bukan,” jawab Daren dengan gaya misterius. “Dongeng ini lebih seru. Judulnya... Petualangan Pangeran Beruang dan Kopi Ajaib.”
Selena yang sedang merapikan gelas di meja makan berhenti mendadak. “Kopi Ajaib? Ayahnya siapa yang diceritain itu?”
Daren menoleh sambil menaikkan alis. “Seorang ayah tampan dan pekerja keras yang suka kopi.”
Selena pura-pura mengangguk. “Hmm… kedengerannya kayak seseorang yang kecanduan cappuccino setiap pagi.”
“Itu bagian penting dari plot,” balas Daren cepat.
Arunika terkekeh, melihat kedua orang tuanya seperti sedang memainkan drama mini. “Ayah sama Mama lucu.”
Daren membawa Arunika ke kamar, membaringkannya dengan hati-hati di kasur. Selena menyusul dan duduk di sisi lainnya. Lampu kamar diredupkan, hanya menyisakan cahaya lembut dari lampu tidur berbentuk bulan.
“Siap?” tanya Daren sambil duduk di tepi tempat tidur.
Arunika menarik selimut sampai ke dagu. “Siap.”
Daren meng clearing throat dramatis. “Jadi, pada suatu hari di kerajaan Kopilandia, hiduplah seorang pangeran tampan bernama—”
“Pangeran Darenzo?” sela Arunika cepat.
Daren tersenyum. “Bener. Pangeran Darenzo. Dia tinggal di istana bersama Putri Arunika yang cantik dan Mama Selena si Ratu Cantik.”
Selena mengangkat alis. “Aku ratu? Bagus. Minimal pangkatnya naik.”
Daren melanjutkan dengan suara mendalam, seperti pendongeng profesional.
“Suatu pagi, Pangeran Darenzo kehabisan kopi ajaib yang membuatnya kuat dan bisa bekerja tanpa mengantuk. Tanpa kopi itu... ia bisa ketiduran di atas laptop saat rapat.”
Arunika menahan tawa kecil. “Ayah pernah gitu!”
“Shh… ini dongeng, bukan dokumenter,” Daren mencubit hidung Arunika pelan.
“Untuk mendapatkan kopi ajaib itu, Pangeran harus melewati tiga rintangan.”
“Rintangan pertama apa?” tanya Arunika dengan mata berbinar.
“Dia harus bangun pagi tanpa alarm."
Selena menahan tawa, tangan menutupi mulut. “Impossible.”
“Betul,” Daren mengangguk dramatis. “Tapi Pangeran Darenzo berhasil... setelah si Putri Arunika naik ke atas badannya dan bilang ‘Ayah bangun! Aru lapar!’”
Arunika terbahak tanpa suara, tubuhnya terguncang kecil.
“Rintangan kedua,” lanjut Daren, “dia harus menghadapi—monster rambut kusut.”
Selena spontan mengeluh pelan. “Monster itu tinggal di kamar mandi kita tiap pagi.”
Arunika menyentuh rambutnya sendiri. “Itu Aru juga monster rambut kusut.”
“Monster rambut kusut paling imut,” ucap Daren sambil mencium pucuk kepalanya.
“Dan rintangan terakhir…” suara Daren melambat penuh efek dramatis.
“Pangeran harus melakukan yang paling menakutkan… lebih menakutkan dari naga…”
Arunika mengecilkan mata. “Apa?”
“Minum… air putih… sebanyak satu gelas.”
Arunika dan Selena langsung teriak bersamaan, “Nooo!”
Daren tertawa pelan melihat ekspresi mereka. “Tapi Putri Arunika memberi semangat. Dia bilang, ‘Ayah pasti bisa!’ Dan akhirnya… Pangeran berhasil dapat kopi ajaibnya.”
“Terus endingnya apa?” tanya Arunika, mulai mengantuk.
“Endingnya,” Daren menatapnya lembut, menyelimutinya sampai rapat,
“Pangeran Darenzo sadar… kopi ajaib bukan yang membuatnya kuat. Tapi cinta Putri Arunika dan Ratu Selena.”
Arunika menatap ayahnya dengan mata setengah tertutup. “Ayahnya lebay…”
Daren menyentuh kening putrinya, mengecupnya pelan. “Ayah cinta Aru.”
Arunika memejamkan mata, bibirnya tersenyum samar. “Aru juga cinta Ayah…”
Selena mendekat, menyelipkan rambut Arunika ke belakang telinga. “Selamat tidur, sayang.”
Dan dalam beberapa menit, Arunika tertidur di antara kedua orang tuanya—hangat, aman, dan dicintai.
Daren menatap wajah itu lama, lalu membisik,
“Aku akan selalu ada buat kamu. Selamanya.”
---
Selena menghela napas pelan dan meletakkan pensil sketsanya di atas meja studio kecil di sudut rumah. Beberapa hari terakhir tubuhnya terasa mudah lelah, mood-nya tidak stabil, dan ia sering merasa pusing meski tidak melakukan apa-apa. Ia mengira hanya kelelahan karena pekerjaan.
Namun hari ini… ada satu hal yang terlintas di pikirannya.
Tidak mungkin… aku kan sudah KB.
Ia memegangi pelipisnya. Pikiran itu membuat dadanya sesak.
Ini pasti cuma kecapean. Atau efek KB… kan bisa bikin hormon naik-turun.
Meski begitu, ketidakpastian membuat pikirannya gelisah. Ia menatap kalender di dinding—tanggal menstruasinya lewat hampir dua minggu.
Selena menelan ludah.
“Aku nggak bisa terus nebak-nebak seperti ini.”
Akhirnya, ia mengambil tasnya dan berdiri. Ia tahu ke mana harus pergi—tempat yang sama saat dulu ia mengetahui kehamilan Arunika. Klinik kecil dengan dokter yang ramah dan ruang tunggu yang penuh stiker hewan.
Selena memberi alasan singkat pada Daren bahwa ia harus keluar sebentar untuk membeli bahan ilustrasi. Daren percaya saja, karena Selena memang sedang mengerjakan proyek besar.
---
Aroma antiseptik menyambutnya saat ia masuk. Ruangan itu masih sama seperti dulu. Sofa abu-abu, boneka beruang di pojok, dan poster-poster imunisasi anak menempel di dinding.
Selena duduk, lalu meremas jarinya sendiri. Ia tidak sadar bahwa lututnya bergetar.
Nama Selin—tapi Selena sekarang—dipanggil.
Ia masuk ke ruang pemeriksaan. Dokter menyapanya dengan senyum lembut.
“Selena? Sudah lama nggak ke sini. Ada yang bisa saya bantu?”
Selena menarik napas. “Dok… saya mau cek… kemungkinan hamil.”
Dokter mengangguk tanpa terkejut. “Tes urin dulu ya, seperti biasa.”
Selena mengikuti perawat ke ruangan kecil. Beberapa menit kemudian, ia kembali duduk di hadapan dokter. Perawat menyerahkan alat tes dengan hasil yang masih tertutup kertas, lalu pergi.
Detik-detik itu terasa panjang.
“Selena, boleh saya buka?” tanya dokter.
Selena hanya mengangguk.
Dokter membuka hasilnya perlahan.
Diam.
Selena menggigit bibirnya, jantungnya berdetak sangat cepat.
Dokter menatapnya dengan lembut. “Hasilnya… positif.”
Dunia Selena seperti berhenti.
“Tapi… saya kan sudah pasang KB… bagaimana bisa?”
“KB memang menurunkan kemungkinan hamil,” jawab dokter pelan, “tapi tidak seratus persen. Dan terkadang, tubuh wanita lebih kuat dari alat kontrasepsinya.”
Selena menunduk, mencengkeram rok gamisnya kuat-kuat.
“Ada kemungkinan ini baru usia 4–5 minggu. Kita jadwalkan USG transvaginal minggu depan untuk lihat perkembangan kantung kehamilannya.”
Selena tak bisa berkata apa-apa. Jantungnya campur aduk.
Hamil? Dengan Daren? Di saat Arunika baru saja meminta adik?
“Bagaimana perasaanmu?” tanya dokter pelan.
Selena menggigit bibirnya, suara keluar sangat lirih.
“Aku… belum tahu.”
---
Di parkiran, Selena duduk di belakang kemudi tanpa menyalakan mobil. Tangannya gemetar memegang hasil tes yang dimasukkan ke amplop putih.
Ia memejamkan mata, berusaha mengatur napas.
Daren akan terkejut. Bagaimana kalau dia belum siap? Bagaimana kalau Arunika merasa makna keluarganya berubah?
Air mata Selena jatuh begitu saja.
Ia menatap amplop itu.
“Hey, kamu…” bisiknya lirih sambil menyentuh perutnya dengan ragu. “Kamu benar-benar ada, ya?”
Tiba-tiba ponselnya berbunyi—Call from Daren.
Selena menatap layar itu lama sebelum akhirnya mengangkat.
Daren:
“Sel, kamu di mana? Arunika nanyain Mama nya terus.”
Selena mengusap pipinya cepat-cepat.
“Aku… lagi di jalan pulang.”
Daren:
“Kamu kedengeran capek. Nanti kalau sudah sampai, istirahat dulu ya.”
Selena memejamkan mata, menahan suara bergetar.
“Iya, Kak… aku pulang.”
Sebelum menutup telepon, Daren menambahkan,
“Aku sayang kamu.”
Kalimat itu menghantam Selena tepat di dada.
Air matanya kembali jatuh.
“Aku juga sayang kamu,” jawab Selena pelan.
Ia menyalakan mesin mobil dan mulai mengemudi, dengan sebuah rahasia baru di kursi penumpang—terbungkus dalam amplop putih, tapi mengubah seluruh hidupnya.