NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.8k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24. Ancaman

Pariyem kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Pintu ditutup pelan. Tubuhnya merosot duduk di tepi dipan.

Jantung masih berdetak kencang. Teriakan Soedarsono masih bergema di kepala. Juga ancaman sang ibu mertua yang tidak kalah mengerikan.

Pariyem menatap kosong ke lantai kayu yang mengkilap. Pikirannya berputar cepat, mengolah semua informasi yang baru saja didapat.

Lalu perlahan, sebuah ide mulai terbentuk di kepalanya. Ide yang berbahaya, tapi mungkin satu-satunya cara untuk bertahan hidup.

Jika posisinya sebagai istri terancam, dia harus melakukan apapun untuk mempertahankan apa yang dimilikinya. Yang dengan susah payah dia dapatkan.

Rumah ini. Kehidupan ini. Akses pada Soedarsono. Dan yang paling penting; akses pada Pramudya, meski hanya dari jauh.

Masalah terbesar dalam hidupnya adalah sang mertua. Kanjeng Raden Ayu Kusumawati. Perempuan itu yang memisahkan dirinya dengan sang putra, dan kini menganggap Pariyem sebagai ancaman.

‘Baik. Kalau begitu, aku juga akan menganggap sundel itu sebagai ancaman. Dan ancaman harus disingkirkan.’

Apalagi sudah jelas, sang mertua mengancam akan menyingkirkan Pariyem. Dan Pariyem tahu betul, perempuan itu tidak pernah main-main dengan kata-katanya.

Kalau dia berkata akan melakukan sesuatu, dia pasti akan melakukannya. Apapun caranya.

Tapi Pariyem punya senjata. Senjata yang sangat kuat.

Informasi tentang kejahatan perempuan itu. Dosa-dosa yang ditutup-tutupi. Uang rakyat yang digelapkan.

Dan mungkin, ada yang lebih besar lagi. Sesuatu tentang kematian Bupati Soenarto yang mencurigakan.

Dan dia punya koneksi dengan Marius Vecht. Asisten Residen. Pejabat Belanda yang punya kuasa besar.

Siapa lagi yang ditakuti kalangan ningrat kalau bukan pemerintah kolonial?

Karena merekalah yang menggaji bupati. Yang punya kewenangan mengganti dan menentukan siapa yang akan menjabat. Yang bisa mengangkat seseorang menjadi bupati atau menjatuhkannya dalam sekejap.

‘Habis kau, Kusumawati.’

Pariyem tersenyum tipis, senyum yang getir tapi kini dibalut semangat baru, semangat untuk bertahan hidup.

Dia memang perempuan yang tidak punya apa-apa. Rakyat jelata. Anak abdi dalem yang tidak punya gelar, tidak punya tanah, tidak punya harta.

Tapi dia punya anak dan hidup yang layak diperjuangkan. Dia tidak mau terus tertindas. Tidak mau terus dianggap seperti sampah yang bisa dibuang kapan saja.

Dia akan mengadukan semua pada Marius. Kalau perlu, desas-desus yang sudah lama dia dengar, apapun itu tentang kejahatan Kusumawati, harus dia sampaikan pada pria bermata hijau itu.

Pariyem bangkit dari dipan, berjalan ke kursi berukir di dekat jendela. Dia menutup mata, mencoba mengingat-ingat semua yang pernah terjadi dan dia dengar selama ini.

Bisikan-bisikan para pelayan tentang perempuan ningrat yang tiba-tiba celaka setelah berseteru dengan Sang Raden Ayu.

Dan yang paling penting, pengakuan Soedarsono tadi. Saya menutupi dosa-dosa Ibu.

Dosa-dosa, artinya ada banyak. Tapi dosa apa saja?

Pariyem mencatat semuanya dalam kepala karena tak bisa menulis. Satu per satu. Detail demi detail. Harus diingat dengan sempurna untuk disampaikan pada Marius.

Tepat saat dia sedang mengingat-ingat dengan serius. Suara langkah kaki terdengar. Cepat. Tergesa.

Pintu kamar dibuka dengan kasar. Soedarsono masuk dengan wajah tegang.

"Yem!" panggilnya dengan suara keras. "Bereskan barang-barangmu. Sekarang!"

Pariyem tersentak. Bangkit dari kursi dengan jantung berdebar kencang.

"Ndoro …," suaranya gemetar. "Ndoro akan ... menceraikan saya?"

Air mata langsung mengalir tanpa bisa ditahan. Ini yang dia takutkan.

"Tentu saja tidak!" Soedarsono melangkah cepat mendekat, merengkuh wajah Pariyem dengan kedua tangan. Mengecup dahinya dengan lembut tapi tergesa. "Tidak akan, Yem. Tapi kau harus pindah. Ke tempat yang aman."

Tangannya bergetar saat mengusap air mata di pipi Pariyem. "Di sini tidak aman lagi untukmu. Ibu bisa datang kapan saja. Ibu ...."

Dia tidak meneruskan kata-katanya. Tapi tatapannya cukup berbicara. Dan dia yakin, teriakan tadi tentu sudah didengar Pariyem, tak perlu dijelaskan lagi. Perempuan ini pasti tahu betapa marahnya sang ibu.

Soedarsono menatap Pariyem dengan tatapan sedih. "Yem, Ibu itu … keras,” ia berhenti sejenak, seperti sedang memilih kata. “Dia selalu ingin mendapatkan apa yang dia mau. Dan akan menyingkirkan apapun yang dianggap penghalang."

Suaranya turun menjadi bisikan yang hampir tidak terdengar. "Dia bisa melakukan apa saja. Sesuatu yang mungkin ... di luar bayangan orang tentang perempuan ningrat."

Mata Pariyem berkaca-kaca. Tidak lagi karena sedih, tapi karena takut.

"Tapi saya harus ke mana, Ndoro? Hubungan saya dan Simbok tidak baik."

Soedarsono mengangguk, dia paham itu. "Di rumah Wasiyem juga tidak akan aman. Ibu tahu di mana rumahnya. Kau harus ke tempat yang di luar jangkauan kekuasaan ningrat."

Pariyem mengerutkan dahi, bingung. "Di mana itu, Ndoro? Ke mana saya harus pergi? Saya tidak mau ke luar pulau."

Soedarsono menarik napas dalam. "Aku sudah memikirkannya. Kau harus kuungsikan sementara ke tempat Tuan van der Spoel."

Pariyem membeku. Namanya seperti cambuk di telinga.

Van der Spoel. Keluarga Belanda yang kaya raya. Pemilik perkebunan tebu terbesar di wilayah ini.

Dan yang paling mengerikan, keluarga yang sekarang menjadi mertua Sumi. Istri pertama Soedarsono yang dulu diceraikan.

"Ndoro ....," suara Pariyem keluar parau. "Tapi saya tidak kenal mereka. Sa—"

"Mereka orang baik," potong Soedarsono dengan tegas. "Hubunganku dengan mereka semakin baik akhir-akhir ini. Kami sudah saling memaafkan. Kami bekerjasama dalam beberapa proyek irigasi untuk perkebunan. Tuan van der Spoel sangat menghargai kerjaku. Mereka pasti mau melindungimu."

Tapi sebelum dia bisa berkata lagi, mengungkapkan ketidakenakan hatinya, Soedarsono sudah mundur ke pintu.

"Berkemas, Yem. Cepat. Ambil pakaian yang penting saja. Perhiasan juga bawa. Sementara itu aku akan menemui Tuan van der Spoel. Meminta izin, mengatur semuanya."

Dia menatap Pariyem dengan tatapan yang sangat serius. "Malam nanti kau sudah harus pergi. Tidak ada waktu lagi."

Lalu dia berbalik, berlari keluar dengan langkah yang sangat tergesa, hampir tersandung di ambang pintu.

Pariyem belum pernah melihat pria itu seperti itu. Soedarsono yang selalu tenang, selalu berwibawa, selalu berjalan dengan langkah yang terukur, sekarang berlari dengan panik seperti orang yang dikejar anjing galak.

Dia sendiri berdebar. Kalau Soedarsono sampai panik seperti itu, berarti situasinya jauh lebih berbahaya dari yang dia kira.

Dia tidak tahu seberapa jauh Kusumawati bisa berbuat tega. Tapi tentunya Soedarsono yang lebih tahu, pria itu sudah puluhan tahun hidup dengan ibunya. Tahu betul apa yang bisa dilakukan perempuan itu ketika dia merasa terancam.

Dengan tangan gemetar, Pariyem mulai bergerak, membuka lemari kayu besar di sudut kamar, mengeluarkan tas kulit tua.

Rasanya berat harus pergi. Tapi di sisi lain ... ini kesempatan. Kesempatan untuk bertahan hidup.

Dia harus pergi malam ini. Ke rumah keluarga van der Spoel. Tapi … bagaimana dia akan menghadapi tatapan Sumi nanti?

1
SENJA
yok semangat yem! perempuan tua tukang atur itu harus dilawan!
SENJA
itu dipikir nanti aja yem.... sekarang yang penting aman dulu dari sundel 😑
SENJA
diracun aja kanjeng ayu gimana? ayo yem diracun aja nduk.. biar kamu bisa sama pram terus 🤗😑
Binbin
tuker aja teh nya yem
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
SENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
SENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
SENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
SENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
SENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
SENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
SENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
Eniik
❤❤❤
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!