NovelToon NovelToon
HAMIL ANAK CEO : OBSESI IBU TIRI

HAMIL ANAK CEO : OBSESI IBU TIRI

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Ibu Tiri / Pelakor jahat / Nikahmuda / Selingkuh
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: EkaYan

Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bukan Karena Cinta

"Bangsat…” desis Pramudya. “Ini… ini bukan sekadar percobaan pembunuhan. Ini kebencian pribadi.”

Rahang Pram mengatup keras membaca isi kartu itu. Napasnya tertahan, dan matanya menatap kata “anak harammu” dengan amarah yang mendidih.

Roy menatapnya dengan tegang. “Tulisan tangannya bisa kita periksa. Mungkin ada jejak forensik meski kartu ini agak basah.”

“Bawa ke lab. Kita butuh analisa sidik jari dan tulisan tangan,” perintah Pramudya. Ia berjalan mondar-mandir, pikirannya mulai menyusun ulang potongan-potongan puzzle. “Kalau dia menulis seperti ini… berarti dia mengenal Nika. Bahkan cukup dekat untuk tahu tentang kehamilannya. Ini bukan kerjaan orang asing.”

Roy mengangguk. “Gue langsung kirim ke ahli forensik langganan gue. Tapi butuh waktu.”

Saat itu, ponsel Pramudya berdering. Sebuah nomor dari rumah sakit.

“Pak Pramudya, ini perawat Lila dari ruang perawatan Ibu Nika. Kami ingin menginformasikan bahwa dokter menyatakan kondisi Ibu Nika sudah stabil. Beliau boleh pulang hari ini, asalkan tetap melakukan bed rest total di rumah. Kami sudah siapkan semua surat dan obat.”

Pramudya menghela napas lega. “Terima kasih, suster. Saya akan segera ke sana.”

Ia menutup telepon dan menatap Roy. “Nika sudah boleh pulang. Tapi harus bed rest total. Gue mau bawa dia pulang hari ini juga.”

Roy menepuk bahunya. “Bagus. Jaga dia baik-baik. Sementara gue urus hasil forensik kartu ini.”

Dokter masuk ke kamar rawat Nika sambil memegang clipboard. Pramudya yang duduk di sisi ranjang langsung berdiri.

“Dok, bagaimana keadaan Nika?”

Dokter tersenyum tipis. “Secara medis, kondisi Nika sudah stabil. Detak jantung janin juga menunjukkan perkembangan yang positif. Tapi… kami tetap menyarankan agar Nika menjalani bed rest penuh. Tidak boleh stres, tidak boleh banyak bergerak. Mentalnya juga harus dijaga.”

“Artinya dia boleh pulang?” tanya Nika pelan, penuh harap.

“Boleh. Tapi harus ada yang mengawasi 24 jam, dan lingkungan tempat tinggal harus tenang, bersih, dan nyaman. Kalau tidak memungkinkan, sebaiknya tetap rawat inap.”

Pramudya segera menyahut, “Dia bisa pulang. Saya akan menjaganya di apartemen. Saya pastikan Nika  nggak akan stres, .”

Dokter memandang Pramudya sejenak lalu mengangguk. “Baik, saya akan proses administrasinya. Jangan lupa kontrol seminggu sekali, dan kalau ada gejala aneh, langsung bawa ke UGD.”

Sore harinya – Apartemen Nika

Pramudya membuka pintu apartemen Nika sambil menggendong koper dan menuntun Nika yang masih terlihat lemah. “Pelan-pelan ya…”

Nika memaksakan senyum. “Aku bisa jalan sendiri, Pram…”

“ aku ada disini bukan buat kamu tapi buat bayiku” sahut Pram dengan nada dingin.

Nika menoleh cepat, menatapnya tajam. Tapi ia terlalu lelah untuk beradu mulut. “Sialan,” gumamnya pelan.

Mereka masuk ke dalam apartemen yang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Roy sudah memastikan semua barang mencurigakan disingkirkan. Di dapur, semua peralatan makan dibersihkan dan diganti dengan yang baru. Pram menuntun Nika  ke kamar, lalu mengambil bantal tambahan dan meletakkannya di belakang punggung Nika.

Nika tersenyum tipis, namun matanya masih menyiratkan trauma. Mereka masuk ke dalam apartemen yang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Roy sudah memastikan semua barang mencurigakan disingkirkan. Di dapur, semua peralatan makan dibersihkan dan diganti dengan yang baru.

“Aku bakal tinggal di sini selama kamu bed rest,” kata Pramudya sambil membawakan air putih untuk Nika.

Nika menatapnya lama. “Kamu nggak harus ngelakuin ini semua, Pram…”

"Setelah kejadian ini kau pikir aku bisa tenang tinggal di rumahku? Aku harus memastikan sendiri keadaan bayiku"

Nika terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Malam ini aku akan tidur di ruang tamu. Dan soal kartu itu…” lanjut Pram dengan suara pelan.  "Aku akan cari siapa yang ngelakuin ini ke kamu dan bayiku"

Nika tak bisa menahan air matanya lagi. Ia menunduk, bahunya bergetar.

Pram merasa iba melihat Nika, ia ingin memeluknya akan tetapi egonya tetap bertahan. Entah siapa orang yang tega melakukan ini, menaruh obat peluruh kandungan kedalam makanan. Membuat Nika dan bayinya berada diantara hidup dan mati.

Pram berdiri di ambang pintu kamar, memandangi Nika yang terisak pelan di balik selimut. Ia mengepalkan tangan, menahan dorongan untuk mendekat, memeluk, dan meminta maaf—hal yang belum pernah ia lakukan seumur hidupnya. Emosinya campur aduk, antara marah, takut, dan… bingung.

“Aku nggak butuh dikasihani,” ucap Nika pelan, suaranya serak, namun terdengar tegas.

Pram menoleh sedikit. “Bagus. Karena aku juga nggak sedang mengasihani kamu.”

Nika membalas tatapannya dengan getir. “Aku cuma… ingin kamu berhenti memperlakukan aku seperti kesalahan.”

Hening.

Untuk sesaat, hanya suara detik jam dan napas berat mereka yang terdengar.

“Aku nggak nyesel hamil, Pram. Tapi aku nyesel karena bapaknya adalah kamu,” kata Nika akhirnya, lirih namun menghantam keras ke dada Pramudya.

Pram menatapnya dalam, rahangnya mengeras lagi. Tapi tak ada bantahan. Ia hanya berkata pelan, datar, tapi penuh tekanan, “Dan aku nyesel karena nggak lebih hati-hati malam itu.”

Ucapan itu seperti pisau terakhir yang menusuk dada Nika. Ia memalingkan wajah, menggigit bibir menahan isak.

Pram melangkah keluar kamar tanpa berkata apa-apa lagi.

Pukul 2 dini hari.

Nika terbangun karena ingin ke kamar mandi. Saat membuka pintu kamar, ia melihat Pram tertidur di sofa, masih dengan kemeja yang kusut dan laptop terbuka di meja kopi. Di samping laptop, ada foto hasil USG dan catatan kecil bertuliskan: “Jadwal kontrol, 15 Juni, jam 10 pagi.”

Nika menggigit bibir. Air matanya kembali menggenang.

Ia tahu, Pram bukan pria baik. Ia keras kepala, tidak peka, bahkan mungkin tidak pernah percaya pada cinta. Tapi malam itu, melihat Pram tertidur sambil menjaga semua detail kecil soal kehamilannya… ada bagian di hati Nika yang tidak bisa menyangkal: pria ini sedang berusaha. Caranya kacau, dingin, dan menyebalkan—tapi tetap saja, ia berusaha.

Pagi harinya

Pram duduk di meja makan, menatap layar ponsel dengan serius saat Nika keluar dari kamar, memakai kaus longgar dan cardigan.

“Kamu nggak harus ngurus aku kayak gini terus,” katanya pelan. “Aku bisa minta perawat dari rumah sakit.”

Pram tidak menoleh. “Aku nggak percaya orang lain sekarang.”

Nika menghela napas. “Jadi kamu akan terus tinggal di sini?”

“Selama kamu masih bawa anakku di perutmu, iya,” sahut Pram singkat.

“Tapi bukan karena kamu peduli padaku.”

Pram akhirnya menatapnya, tajam. “ Jangan pernah berharap yang lebih nika.”

Nika mengangguk, meski ada luka di matanya. “Aku tahu.”

Hening kembali mengisi ruangan. Tapi kini, ada semacam kesepakatan tak terucap antara mereka: tidak ada cinta, tidak ada harapan manis—hanya tanggung jawab, dan mungkin… kesempatan.

Kesempatan untuk saling belajar menjadi orang tua dari anak yang tidak direncanakan, dari hubungan yang tidak ideal, dan dari hati yang belum selesai menyembuhkan luka.

Dan di balik semua itu, bayang-bayang ancaman belum sepenuhnya pergi. Pelaku yang mencoba membunuh bayinya masih berkeliaran.

Pram menatap Nika sekali lagi sebelum berdiri. “Hari ini kita mulai cari siapa yang coba bunuh anak gue.”

Nika menatapnya, dan untuk pertama kalinya—meski hanya sejenak—ada sedikit rasa aman di balik tatapan dingin pria itu. Pram menghubungi seseorang.

“Roy, kita harus mulai dari nol. Kita perlu tahu siapa saja orang yang punya dendam personal sama Nika atau sama gue. Mantan, teman lama, siapa pun. Kita harus gali semuanya.”

“Siap, Pram. Besok gue mulai dari daftar nama di kantor lamanya, terus ke universitasnya. Siapa tahu ada yang menyimpan kebencian dari masa lalu.”

Pram mengangguk, walau Roy tak bisa melihat. “Dan satu lagi… pelaku ini mungkin akan mencoba lagi. Kita nggak boleh lengah.”

Tiga hari sudah Pram menemani Nika di apartemen, menjalani rutinitas yang sama: memastikan makanan tepat waktu, mencatat jadwal minum vitamin, mengatur alarm kontrol kandungan, dan menjaga apartemen tetap hening, bersih, dan steril. Meski masih dingin dan bicara seperlunya, Pram tak pernah absen dari tanggung jawabnya. Ia menolak disebut perhatian—baginya ini sekadar bentuk tanggung jawab sebagai ayah dari bayi yang dikandung Nika.

Di hari keempat, pagi datang dengan awan kelabu. Nika kembali terbangun karena morning sickness yang menyiksa. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan matanya lelah. Ia sempat mencoba teh hangat dan jahe parut, tapi semuanya tetap kembali lagi ke wastafel.

Dengan langkah gontai, ia menuju ruang tamu. Sofa masih acak-acakan, sisa selimut Pram belum dilipat. Di sana, tergantung di salah satu sisi sandaran sofa, kaus hitam Pram yang sudah dipakai semalam.

Nika memandangnya lama. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada dorongan aneh dalam tubuhnya. Setengah frustasi, setengah penasaran, ia meraih kaus itu… dan mendekatkannya ke hidungnya.

Sekejap setelah mencium aroma khas tubuh Pram yang bercampur sabun, parfum maskulin, dan sedikit keringat—mual di perutnya mendadak mereda. Perutnya yang tadi bergejolak seperti direm angin sejuk.

Nika membeku.

“Gila… kok bisa…” gumamnya, bingung sendiri. Ia memejamkan mata, menghirupnya lagi. Hasilnya sama. Tak ada mual. Tak ada dorongan ingin muntah.

Saat sadar akan kelakuannya, wajah Nika langsung merah padam. “Aku gila! Aku hamil dan sekarang… jadi pecandu bau cowok ini?!”

Ia buru-buru menyembunyikan kaus itu ke balik bantal sofa saat mendengar suara pintu kamar terbuka. Pram keluar, masih mengucek mata. “Kamu udah makan?”

Nika gelagapan. “Bel-belum. Masih mual.”

Pram berjalan ke dapur tanpa berkata apa-apa. Ia menyiapkan roti bakar dan teh jahe seperti biasa.

Nika hanya bisa duduk di sofa, mencoba terlihat wajar, sambil hatinya mencelos takut Pram akan tahu.

Sore harinya, bel apartemen berbunyi. Roy datang bersama istrinya, Shila, dan putri kecil mereka, Mey bayi dua bulan itu tampak tertidur di gendongan Shila.

“Hei, Nikaaa…” Shila langsung memeluk Nika dengan hati-hati. “Aduh kamu pucat banget, sayang. Tapi masih cantik ya.”

Shila menyimpan tas bawaannya di meja makan, lalu menoleh ke arah Pram. “Elo butuh bantuan apa selama jagain Nika?”

Pram mengangguk sekali. “Gue butuh cariin asisten rumah tangga. Harus bersih, nggak banyak omong, dan bisa masak makanan ibu hamil. Gaji bukan masalah.”

Shila mengangguk serius. “gue punya satu nama. Tetangga sepupuku, pernah kerja di rumah orang tua temanku. Namanya Bu Narti. Umurnya sekitar 45-an, janda, sabar banget orangnya. Bisa masak, bisa nyetrika, dan yang paling penting, tahu batas. ”

“Boleh. Tapi suruh datang langsung ke sini, biar gue dan Nika bisa ngobrol dulu,” kata Pram.

Shila tersenyum. “Oke, nanti gue hubungi orangnya."

“Thanks.”

Roy masuk sambil menenteng tas kecil berisi makanan. “Gue bawa sop buntut. Katanya bisa bantu kalau mual-mual.”

Nika tersenyum, meski tidak begitu yakin.

Setelah mereka pulang malamnya, Pram mulai membereskan sisa makanan dan piring. Saat ia mengambil bantal sofa untuk dibenahi, matanya menyipit melihat sesuatu—kausnya sendiri, tergulung rapat di balik bantal.

Ia mengambilnya dan mengernyit. “Kenapa bajuku di sini?”

Namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, suara muntah terdengar lagi dari kamar mandi.

Nika…

Pram buru-buru berlari ke sana.

Sementara itu, Nika mengguyur wajahnya dengan air dingin, menatap wajahnya di cermin. “Tolong… jangan sampai dia tahu aku mencium bajunya tiap kali mual…”

Pagi berikutnya

Saat Pram mandi, Nika mengendap-endap ke keranjang cucian. Ia mengendus pelan salah satu kemeja Pram yang baru saja dipakai tadi pagi. Aroma itu langsung meredakan rasa ingin muntah yang menyerangnya sejak sore.

Ia terduduk di lantai kamar, memeluk kemeja itu sambil memejamkan mata.

“Nggak normal ini…,” bisiknya pada diri sendiri, antara malu, takut ketahuan, dan… sedikit tenang.

Ia tahu, ia sedang menyimpan rahasia paling aneh yang pernah ia miliki—tapi ini satu-satunya yang bisa menyelamatkan dirinya dari muntah berjam-jam.

1
partini
wah temen lucknat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!