Fahira Azalwa, seorang gadis cantik yang harus menelan pahitnya kehidupan. Ia berstatus yatim piatu dan tumbuh besar di sebuah pesantren milik sahabat ayahnya.
Selama lima tahun menikah, Fahira belum juga dikaruniai keturunan. Sementara itu, ibu mertua dan adik iparnya yang terkenal bermulut pedas terus menekan dan menyindirnya soal keturunan.
Suaminya, yang sangat mencintainya, tak pernah menuruti keinginan Fahira untuk berpoligami. Namun, tekanan dan hinaan yang terus ia terima membuat Fahira merasa tersiksa batin di rumah mertuanya.
Bagaimana akhir kisah rumah tangga Fahira?
Akankah suaminya menuruti keinginannya untuk berpoligami?
Yuk, simak kisah selengkapnya di novel Rela Di Madu
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 24
Beberapa hari berlalu---
Hari ini, Zidan akan memboyong kedua istrinya ke rumah baru yang baru saja selesai dibangun. Letaknya cukup dekat dengan kantornya, namun sedikit jauh dari rumah lama yang kini ditempati oleh ibunya.
Fahira tersenyum sepanjang hari saat membereskan pakaian dan barang-barang di kamarnya. Ia sangat bahagia bisa terpisah dari ibu mertuanya yang selalu saja menyalahkan dirinya dalam situasi apa pun.
Sementara itu, Ibu Zubaidah terus mendengkus kesal karena dua menantunya akan pindah ke rumah baru yang Zidan bangun selama tiga bulan terakhir.
"Apa kau yakin akan benar-benar pindah, Nak? Apa kau tidak ingin menemani Ibu di sini?" tanya Ibu Zubaidah yang duduk di ruang keluarga dengan nada sedih.
"Bu, sebenarnya Zidan ingin sekali berada di sini bersama Ibu. Tapi Ibu sendiri tidak menyukai dua istriku. Kalian selalu saja salah paham dan berdebat setiap waktu. Bagaimana Zidan bisa bekerja dengan tenang jika situasinya seperti itu setiap hari?" jawab Zidan lembut, berusaha memberi pengertian.
"Tapi kalau Eva pergi kuliah, Ibu akan sendirian di rumah. Ibu takut tinggal di rumah sebesar ini sendirian, Zidan."
"Ibu tenang saja, aku sudah menghubungi pihak yayasan. Zidan sudah meminta satu asisten rumah tangga untuk membantu dan menemani Ibu di sini."
Bu Zubaidah hanya bisa pasrah. Ia tak bisa lagi memaksa putranya untuk tetap tinggal. Karena tak tega mengusir ibunya, Zidan akhirnya memilih membeli tanah baru dan membangun rumah sesuai keinginannya sendiri.
~~
Dua Jam Kemudian
Zidan kini tengah dalam perjalanan menuju rumah barunya bersama Fahira dan Viola. Ia juga menyewa jasa angkutan untuk membawa semua barang mereka.
Tak lama, mobil mereka tiba di halaman rumah yang megah. Fahira dan Viola tertegun, mata mereka berbinar kagum melihat kemewahan rumah itu.
"Masyaallah, Bang-- rumahnya bagus sekali!" seru Fahira bahagia.
"Alhamdulillah kalau kau suka. Kita akan tinggal di sini bersama anak kita nanti," sahut Zidan tersenyum.
Viola yang duduk di belakang hanya terdiam, hatinya sedikit panas mendengar kata-kata Zidan dan Fahira. Zidan yang paham hanya meliriknya lewat pantulan kaca spion.
Mereka bertiga turun dari mobil. Di halaman, sudah ada satu asisten rumah tangga, seorang tukang kebun, dan dua satpam yang berjaga secara bergantian di gerbang.
"Selamat siang, Tuan, Nyonya," ucap si asisten menunduk hormat.
"Selamat siang, Bi," sahut Zidan ramah.
Fahira dan Viola pun ikut tersenyum.
"Abang sudah memanggil asisten sejak kapan?" bisik Fahira.
"Sejak rumah ini selesai dibangun, seminggu yang lalu," jawab Zidan sambil menyeret koper. Ia menoleh ke belakang. "Ayo, Vio. Kita masuk. Kamar kita semua ada di lantai atas."
Mereka menaiki tangga perlahan sambil menoleh ke sana kemari, mengagumi setiap sudut rumah. Sementara itu, para pekerja membantu menurunkan barang dari mobil angkutan.
"Nah, ini kamar kita, Sayang. Dan ini kamar kamu, Viola." ujar Zidan sambil menunjuk pintu kamar masing-masing.
"Kamar ini bagus sekali, Bang. Aira suka!" ucap Fahira antusias. "Vio, boleh aku lihat kamar kamu?"
"Boleh, silakan, Mbak," jawab Viola ramah.
Viola melirik Zidan sekilas, lalu masuk ke dalam kamar. Sejak kejadian semalam, hubungan mereka terasa canggung. Ia hanya berbicara seperlunya bila Zidan menegurnya.
"Wah, kamar kamu bagus, Viola. Pemandangan kolam renangnya kelihatan dari sini," puji Fahira.
Viola hanya menanggapinya singkat. Hatinya terasa tidak tenang, masih terbebani oleh perasaan yang tak bisa ia jelaskan.
~~
Malam Hari
Saat makan malam, suasana rumah terasa hangat. Viola yang tadinya murung kini kembali ceria dan banyak bicara seperti biasanya.
"Viola, apa kegiatanmu setelah pindah di rumah ini?" tanya Zidan memecah keheningan.
"Aku? Hmm-- mungkin berenang di pagi hari. Kedengarannya menyenangkan," jawabnya ringan.
"Kau bisa berenang?" tanya Fahira
"Bisa, kenapa? Mbak Aira tidak bisa berenang?"
"Tidak. Aku tidak suka berenang, dan aku juga tidak bisa," jawab Fahira sambil terkekeh.
Percakapan ringan itu membuat suasana semakin hangat. Setelah makan, mereka duduk di ruang keluarga, menonton televisi sambil menikmati minuman dan camilan yang dibawakan Bi Inah.
"Tuan, Nyonya, ini minuman dan camilannya," ucap Bi Inah sambil menaruh nampan.
"Terima kasih, Bi. Eh, mau ke mana Bi?" tanya Fahira.
"Saya mau kembali ke dapur, Nyonya. Ada lagi yang diperlukan?"
"Kalau tidak ada pekerjaan, duduklah di sini bersama kami," ajak Fahira tulus. Ia memang tidak suka membeda-bedakan orang, bahkan kepada asisten rumah tangganya.
"Ah, tidak usah, Nyonya. Permisi," jawab Bi Inah sopan lalu berlalu.
Mereka kembali bersantai, berbincang ringan sambil menonton televisi.
~~
Satu Jam Kemudian
Viola pamit lebih dulu ke kamar karena matanya sudah berat.
"Aku tidur duluan ya, Mbak. Mas, aku istirahat dulu," ucapnya.
"Iya, Vio. Selamat malam," sahut Fahira.
"Selamat malam, Vio," timpal Zidan.
Setelah Viola pergi, Fahira bergeser mendekat, duduk di samping suaminya.
"Bang, boleh kita bicara?" bisiknya pelan.
"Boleh. Ada apa?" jawab Zidan sambil tetap menatap layar laptopnya.
"Tutup dulu laptopnya."
Zidan menurut, menutup laptop dan menatap istrinya dengan lembut.
"Ada apa, Sayang?"
"Bang, boleh Aira minta sesuatu?" tanya Fahira lirih.
"Boleh dong. Apa sih yang nggak buat istri yang paling Abang cintai ini?" ucapnya sambil mencubit pipi istrinya gemas.
"Bang, Aku ingin-- em-- Aira mau Abang malam ini tidur dengan Viola. Aira sudah mengizinkan Abang untuk--- menyentuhnya."
Deg.
Jantung Zidan berdegup cepat. Wajahnya seketika berubah. Ia tidak menyangka Fahira akan mengatakan hal itu. Namun, ia juga merasa bimbang. Bagaimana bisa melakukannya di rumah yang sama dengan Fahira?
Ia takut jika Fahira mendengar apa pun dari kamar Viola nanti. Tapi di sisi lain, keinginan untuk segera memiliki anak membuat pikirannya tak menentu. Antara iya dan tidak, Zidan terjebak dalam dilema yang berat malam itu.
...----------------...
Bersambung....
ko jadi gini y,,hm
jalan yg salah wahai Zidan,emang harus y ketika kalut malah pergi k tempat yg gak semestinya d datangi,Iyu mah sama aja malah nyari masalah..
dasar laki laki
drama perjodohan lagi