NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:230
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24: KEKACAUAN SEBAGAI SENJATA

Rasa sakit itu adalah segalanya.

Saat amulet obsidian itu gagal, rasanya seperti sebuah bendungan sonik pecah di dalam tengkoraknya. Rania roboh ke lantai yang licin, bukan karena didorong, tapi karena *beban* data yang tiba-tiba menghantamnya.

Itu adalah lolongan.

Lolongan kolektif dari setiap "Sensitif" yang rusak di kota, desingan "Koreksi" yang sedang berlangsung lima kilometer jauhnya, dan jeritan statis dari ribuan "Ikan Gema" yang panik berenang di dalam dinding di sekelilingnya. Itu adalah simfoni kegilaan.

Rasa sakit itu begitu murni, begitu absolut, hingga melumpuhkan. Dia sekarang mengerti.

"Si Tuli..." desisnya, air mata mengalir deras dari matanya karena siksaan sensorik. Ini adalah dunia yang ditinggali "Si Tuli" setiap hari. Bukan "suara", tapi *terlalu banyak data*. Sebuah badai informasi tanpa filter yang menggoreng otak.

Amulet di dadanya *terbakar*. Dia bisa mencium bau kulitnya sendiri yang hangus di tempat batu panas itu bersentuhan dengannya. Benda itu telah menyerap terlalu banyak, terlalu cepat, dan kini menjadi sumber rasa sakitnya sendiri.

Dia mencengkeram kepalanya, tubuhnya meringkuk di lantai yang licin oleh minyak Gema.

*TH-THUMP-TH-THUMP-TH-THUMP...*

Detak jantung bangunan itu semakin cepat, berdebar-debar di tulang rusuknya, menyiksanya.

Di depannya, *Mimic* itu berdiri.

Sosok itu ramping, terbuat dari kegelapan yang cair dan memantulkan cahaya oranye yang kini menyilaukan. Benda itu menghalangi satu-satunya jalan keluar.

Rania, dalam penderitaannya, mencoba merangkak mundur.

*Mimic* itu menirunya.

Ia merangkak mundur dengan gerakan yang sama persis, masih menghalangi jalannya. Gerakannya sempurna, tanpa bobot, dan tanpa ragu. Sebuah pantulan yang sempurna.

Rania berhenti, terengah-engah.

*Mimic* itu berhenti.

Rania mengangkat tangan yang gemetar ke kepalanya.

*Mimic* itu mengangkat tangannya yang terbuat dari oli hitam.

"Ini... ini tidak nyata..." isaknya.

*Mimic* itu membuka "mulut"-nya—sebuah robekan di permukaannya yang mulus—tetapi tidak ada suara yang keluar. Hanya keheningan yang sempurna.

Rasa takut yang murni dan primal menjalari Rania. Ketakutan seorang mangsa yang terpojok.

Dia melihat ke sekeliling dengan panik. Pipa rebar-nya. Tergeletak lima meter jauhnya. *Hard drive*-nya. Tepat di samping rebar.

Dia harus mengambilnya. Dia harus keluar.

Dia mendorong dirinya untuk berdiri.

Rasa sakit sensorik itu begitu hebat hingga kakinya gemetar. Dunia berputar dalam lautan data oranye yang menyakitkan.

*Mimic* itu ikut berdiri. Ia kini berdiri tegak, bayangan hitam yang sempurna dari dirinya, menghalangi pintu yang melengkung.

Ini adalah masalah desain.

Arsitek di dalam dirinya, yang terkubur di bawah longsoran rasa sakit, mulai menganalisis.

Dia tidak bisa melawannya. Benda itu tidak *fisik*. Itu adalah Gema murni. Meninjunya akan sama seperti meninju bayangan. Pria Berpayung itu memiliki "Peredam" frekuensi. Rania tidak punya apa-apa.

Elara pernah berkata: *"Anda seorang Arsitek. Anda tidak hanya melihat Denah. Anda menulisnya."*

Dia menatap *Mimic* itu. Apa *desain*-nya?

Itu adalah *Mimic*. Sebuah pantulan. Desainnya adalah *peniruan yang sempurna*.

Itu adalah perwujudan dari "tatanan murni". Logika dingin. Itu adalah bagian dari "Denah" yang dibawa oleh "Sang Geometer". Itu adalah Gema yang telah mempelajari satu-satunya hal di ruangan ini: dirinya. Tapi itu adalah versi *dirinya* yang "diluruskan". Versi yang sempurna, efisien, dan tanpa cacat.

*...struktur menuntut keseimbangan...*

Bisikan itu kembali, kini bercampur dengan jeritan data di kepalanya.

*...desain yang salah harus 'diluruskan'...*

*Mimic* itu ada di sini untuk "meluruskannya". Untuk membuatnya sempurna. Dingin. Mati.

Rania menatap mata bayangan yang tidak bermata itu.

Dan dia teringat Bima.

Dia teringat *interlude* Bima yang dia lihat... *Tunggu, itu bukan ingatan. Itu...*

Dia teringat kamera. Bima sedang mengawasinya.

*...Saya ingin melihat... bagaimana dia mendesain jalan keluarnya...*

Bima ingin melihat pertarungan antara dua Arsitek. Arsitek Tatanan (Mimic) melawan Arsitek Kekacauan (Rania).

Rasa takutnya... lenyap. Digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih panas.

Kemarahan.

Kemarahan yang murni, kotor, dan sangat *manusiawi*.

Kemarahan pada Bima, yang memperlakukannya seperti tikus laboratorium. Kemarahan pada Pria Berpayung, yang menghancurkan kafe Reza. Kemarahan pada Ordo, yang membiarkannya "buta". Kemarahan pada dirinya sendiri, yang telah menjadi begitu dingin dan efisien.

Dia menatap *Mimic* itu. "Kamu mau meniruku?" bisiknya, suaranya serak. "Kamu mau 'tatanan' yang sempurna?"

*Mimic* itu memiringkan kepalanya.

"Oke," kata Rania. "Coba tiru *ini*."

Dia berhenti mencoba *melawan* rasa sakit sensorik. Dia berhenti mencoba *memblokir* kebisingan.

Dia *membuka* dirinya.

Dia membiarkan *segalanya* masuk.

Lolongan para "Sensitif". Jeritan "Koreksi" di kejauhan. Denyutan Titik Buta di bawah fondasi. Ribuan Gema panik di dinding. Ketakutan Reza yang terisolasi di dalam truk. Kepanikan orang-orang di UGD. Rasa sakit dari kulitnya yang terbakar oleh amulet. Kesedihannya atas kafe yang hancur. Kerinduannya pada kehidupan normal yang membosankan.

Dia mengumpulkan semua data yang kacau, kotor, tidak logis, dan emosional itu.

Dia mengumpulkan semua *kekacauan manusiawi*-nya.

Dan dia *mendorongnya* keluar.

Dia tidak berteriak. Dia *memproyeksikannya*. Dia memfokuskan semua rasa sakit, kemarahan, ketakutan, dan kesedihannya—semua "desain yang salah" yang membuatnya menjadi manusia—dan dia *melemparkannya* pada Gema-Mimic yang berdiri di depannya.

Itu adalah serangan data. Sebuah virus yang terbuat dari emosi murni.

*Mimic* itu... *goyah*.

Untuk pertama kalinya, gerakannya tidak lagi meniru Rania. Benda itu tersentak mundur.

Permukaannya yang hitam licin mulai beriak, seperti air yang diganggu.

Benda itu mencoba memprosesnya. Benda itu mencoba *meniru* "kemarahan". Benda itu mencoba *mereplikasi* "kesedihan".

Dan benda itu *tidak bisa*.

Itu adalah data yang tidak kompatibel. Itu adalah kesalahan logika. Emosi manusia adalah *kekacauan* murni bagi desainnya yang *tertata* sempurna.

*SKRRRRREEEEEEEEEE!*

*Mimic* itu mengeluarkan suara pertamanya. Itu bukan lolongan. Itu adalah desisan statis yang memekakkan telinga, seperti radio yang tidak bisa menemukan sinyal.

Bentuknya yang ramping mulai *glitch*. Lengannya berkedut secara tidak wajar. Permukaannya yang hitam pekat berkedip-kedip, menunjukkan *blueprint* oranye yang rusak di bawahnya.

"Ya," desis RANIA, merasakan kemenangan. Dia mendorong lebih keras, memfokuskan semua penderitaannya pada makhluk itu. "Kamu tidak bisa menirunya, kan? Kamu tidak bisa *merasakannya*!"

*Mimic* itu mengangkat "tangannya" ke "kepalanya"—bukan meniru Rania, tapi dalam penderitaannya sendiri. Benda itu mencoba memproses *kekacauan* itu, dan *kekacauan* itu merusaknya dari dalam.

Geometri tatanannya hancur oleh data emosional yang tidak logis.

*TH-THUMP-TH-THUMP...*

Detak jantung ruangan itu melambat, bingung.

*Mimic* itu mulai *meleleh*.

Bukan karena panas. Tapi karena kegagalan desain.

Sosok hitam itu kehilangan integritasnya. Benda itu gemetar hebat, lalu ambruk ke lantai, larut kembali menjadi genangan minyak hitam yang tidak berbahaya.

Keheningan.

Hanya menyisakan lolongan data yang memekakkan telinga di kepala Rania dan denyutan cahaya oranye di dinding.

Rania berdiri gemetar di tengah ruangan. Dia berhasil.

Dia bergegas, menyambar *hard drive* perak itu dari lantai. Dia juga mengambil pipa rebar-nya.

Dia tidak membuang waktu. Dia berlari ke pintu baja yang melengkung itu.

Sebelum dia melangkah keluar, dia berhenti. Dia menoleh ke satu-satunya sudut yang dia tahu—tempat kamera Bima berada.

Dia mengangkat *hard drive* itu tinggi-tinggi. Lalu dia mengacungkan jari tengahnya ke lensa yang tak terlihat itu.

Sebuah tindakan pemberontakan yang kacau, emosional, dan sangat tidak efisien.

Lalu dia berlari.

***

**(Interlude: Menara Aeterna)**

Di kantornya yang sunyi, Bima menatap layar laptopnya.

Teknisinya menelan ludah. "Pak... Gema-Mimic-nya... lenyap. Dan... anomali itu baru saja—"

"Aku lihat," kata Bima pelan.

Dia tidak marah. Dia... *terpesona*.

Dia menatap layar, di mana Rania baru saja menghilang dari koridor tangga darurat.

"Dia tidak 'meluruskannya'," gumam Bima pada bayangannya sendiri di kaca jendela. "Dia tidak menggunakan *tatanan* untuk melawannya."

Dia berdiri dan berjalan ke jendela, menatap cahaya oranye jauh yang menodai langit malam.

"Dia... *merusaknya*. Dia menggunakannya... kekacauannya... sebagai senjata."

Senyum tipis dan dingin merekah di wajah Bima. Ini bukan lagi sekadar pemulihan artefak. Ini bukan lagi sekadar mengendalikan Gema.

Rania, si idealis yang hancur itu, baru saja membuktikan teorinya.

"Dia bukan hanya seorang Arsitek," bisik Bima. "Dia adalah elemen yang hilang. Keseimbangannya."

Dia berbalik ke interkom. "Tarik semua kamera. Hapus semua jejak. Dan... kirim tim untuk mengambil sisa-sisa Gema-Mimic yang sudah 'rusak' itu. Aku ingin data tentang emosi yang dia gunakan."

Dia menatap layar yang kini kosong. "Permainan ini baru saja menjadi jauh lebih menarik."

***

**(Kembali ke Rania)**

Rania menuruni tangga darurat yang licin itu seperti orang kesetanan. Dia tidak lagi peduli pada keheningan. Dia melompati tiga anak tangga sekaligus, tangannya berlumuran minyak hitam saat dia berpegangan pada pegangan tangga.

Jeritan di kepalanya tak tertahankan.

Lantai tiga. Lantai dua.

Dia meledak keluar dari pintu darurat di lantai dasar, kembali ke gang yang gelap di belakang gedung.

Dia berlari, tersandung di jalanan yang sepi dan rusak. Dia melihat truk pikap itu, dua blok jauhnya, tersembunyi di bayang-bayang.

Reza melihatnya. Pintu penumpang terbuka.

Rania melompat masuk, membanting pintu, dan roboh di kursi.

"Ra! Kamu berhasil!" Reza tampak pucat karena cemas. "Ya Tuhan! Aku dengar... aku dengar... seperti jeritan. Dari arahmu!"

"Itu... bising," Rania terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Dia tidak bisa berhenti gemetar. Rasa sakit sensorik itu membuatnya mual. "Za... itu... sangat... *bising*."

Dia mencengkeram kepalanya, mencoba meredam lolongan itu. Dia tidak bisa berpikir.

Dia melihat amulet itu, tergantung di lehernya, masih panas di kulitnya yang terbakar.

Dia tidak punya pilihan.

Dia meraihnya. Dia menekan batu hitam dingin itu ke pelipisnya, mengabaikan rasa sakit lukanya.

*KLIK.*

Dunia padam.

Jeritan itu lenyap. Raungan itu sunyi.

Rania terbaring di kursi penumpang, terengah-engah dalam keheningan yang dingin dan mati. Getaran di tubuhnya berhenti seketika.

Dia menegakkan tubuhnya.

Dia menatap Reza.

Reza mundur sedikit. Transformasi itu sangat instan. Mata Rania yang liar dan penuh air mata kini kembali menjadi mata yang dingin, analitis, dan tumpul.

Rania menatap tangannya yang gemetar. Genggamannya terkepal erat. Dia membukanya.

Di sana, aman di telapak tangannya, ada *hard drive* eksternal berwarna perak.

"Ayo pergi," kata Rania, suaranya datar. "Kita punya datanya."

Reza menatap temannya, yang kini telah kembali menjadi orang asing yang efisien. Dia menelan ludah, ketakutan, tapi dia mengangguk.

Dia memutar kunci kontak, dan mesin tua itu meraung hidup, memecah keheningan malam yang dikoreksi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!