NovelToon NovelToon
REINKARNASI SANG DEWA KEKAYAAN

REINKARNASI SANG DEWA KEKAYAAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Menjadi Pengusaha / Anak Lelaki/Pria Miskin / Romansa / Mengubah Takdir
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Khusus Game

Sinopsis

Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.

Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.

Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.

Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 23

Ruang keluarga utama di rumah Paman Doni terasa lebih formal dan mencekam dibandingkan malam pesta gala yang mewah. Meja mahoni bundar yang dikelilingi oleh Keluarga Pengambil Aset mewakili panggung terakhir pertarungan narasi. Di sisi seberang, duduklah Bima, disampingnya Risa yang mengenakan setelan bisnis sederhana namun elegan, berfungsi sebagai representasi Kredibilitas Fungsional Yura.

Di seberang mereka, Tante Elina, dengan perhiasan yang berkilauan di pergelangan tangannya, menatap Bima dengan tatapan menghakimi. Roni, Proksi Kebencian Sosial, berada di belakang Tante Elina, wajahnya menyembunyikan kekalahan mentalnya di bawah topeng kesombongan yang rapuh.

"Kau membuang banyak waktu kami, Bima," Tante Elina memulai, nadanya seolah mengukur kesabarannya sendiri. "Makan malam ini adalah formalitas terakhir yang kami berikan. Kau menantang kami dengan angka fantastis Rp250.000.000, harga yang harus kau bayar untuk mengembalikan martabatmu dan Dinda. Kami sudah melihat kinerja Yura yang 'mengesankan' itu. Sekarang, tunjukkan kepada kami uangnya."

Bima merasakan tekanan dari tatapan seluruh keluarga, tetapi ketenangan dinginnya tak tergoyahkan. Ia tahu ini adalah saatnya untuk mengubah narasi dari Kekayaan Terlihat (uang tunai) menjadi Kekayaan Fungsional (akses dan sistem).

{Mereka hanya mengerti bahasa jumlah nominal. Mereka tidak memahami bahwa Rp250.000.000 adalah batas psikologis, bukan batas operasional. Akses yang kita dapatkan dari Tuan Satya dan Pak Jaka bernilai jangka panjang jauh melampaui angka itu.}

"Tentu saja, Tante," balas Bima, suaranya terdengar tenang dan berwibawa di tengah keheningan yang tajam. "Jika kalian mengharapkan uang tunai sebesar Rp250.000.000 tergeletak di atas meja ini, hari ini, kalian akan kecewa. Itu adalah pemahaman kuno tentang valuasi aset."

Roni menyeringai. "Sudah kuduga. Semua hanya omong kosong. Permainan rongsokan tetaplah rongsokan."

Bima mengabaikan Roni. Ia mengeluarkan sebuah folder tipis, bukan berisi slip bank, melainkan fotokopi kontrak yang ditandatangani hari sebelumnya. Ia meletakkannya di tengah meja.

"Kalian meminta bukti martabat. Aku memberikan kalian data," Bima melanjutkan, tatapannya menyapu setiap wajah di meja. "Modal agresif Yura saat ini mencapai Rp80.000.000 tunai. Namun, ini adalah Validasi Nilai yang sesungguhnya."

Risa mengambil alih pembicaraan dengan lancar, menjalankan perannya sebagai Kredibilitas Fungsional. "Yang ada di dalam folder itu adalah Kontrak Pasokan Primer dengan salah satu raksasa telekomunikasi terbesar di Indonesia. Kontrak ini secara fungsional menjamin Yura mendapatkan aset yang sudah dinilai, sebelum masuk lelang umum. Kami telah mengamankan akses ke volume pasokan yang bernilai lebih dari Rp300.000.000 dalam kuartal pertama saja."

Tante Elina meraih folder itu dengan cemas, matanya mulai membesar saat membaca nama perusahaan korporat tersebut. Para anggota keluarga yang lain mulai berbisik-bisik.

"Kontrak itu menggantikan kebutuhan kami akan modal tunai Rp250.000.000 sebagai deposit. Akses ini adalah tiket masuk kami ke permainan skala korporat, yang dibayar bukan dengan uang, melainkan dengan Kredibilitas Fungsional," tambah Bima. "Perusahaan itu tidak berinvestasi pada 'rongsokan,' Paman. Mereka berinvestasi pada Sistem Yura yang teruji, yang terbukti mampu menghasilkan Margin Keuntungan Bruto 400% dan memberikan Mitigasi Risiko Reputasi bagi perusahaan mereka."

Roni maju ke depan, mencoba serangan terakhir. "Kontrak konyol! Uangnya mana? Martabat itu diukur dengan jumlah nol di rekening, bukan janji di selembar kertas!"

Bima akhirnya menoleh penuh ke Roni. "Martabat diukur dengan kemampuan untuk melindungi orang yang kau cintai, Roni. Martabat diukur dengan integritas sistem yang kau bangun."

{Akuisisi Martabat ini sudah selesai. Dinda memiliki Jaring Pengaman Sosial dari Risa dan Jaring Pengaman Ekonomi dari Yura. Tujuan naratif telah terpenuhi.}

"Kalian mencabut hak waris Dinda dan aku karena kami dinilai tidak memiliki masa depan. Kalian mewakili narasi Kekayaan Terlihat yang statis dan kaku," ucap Bima, suaranya mulai meninggi dengan otoritas yang tak terbantahkan. "Malam ini, kalian semua menyaksikan bahwa aset yang kalian anggap bernilai (uang tunai di bank) tidak sebanding dengan Nilai Tersembunyi (sistem dan akses) yang diakui oleh entitas skala korporat. Kalian tidak hanya gagal mengambil aset kami. Kalian gagal memahami nilai sejati di dunia modern."

Ia mencondongkan tubuh ke depan, matanya memancarkan ketegasan yang dingin. "Rp250.000.000 bukan harga kembalinya martabat, melainkan biaya yang harus kalian bayar untuk menyaksikan kehancuran narasi kalian. Dan dengan kontrak itu, kami telah membayar biaya itu. Akuisisi Martabat telah selesai."

Tante Elina menjatuhkan folder itu di atas meja. Kekalahan mental Roni kini menjadi kegagalan strategis seluruh keluarga. Mereka semua membeku, kata-kata Roni yang arogan kini terasa hampa.

Bima berdiri, Risa segera mengikutinya. Mereka berdua berjalan keluar dari ruang keluarga itu, meninggalkan Keluarga Pengambil Aset dalam keheningan yang mematikan, yang jauh lebih berharga daripada tepuk tangan di pesta gala manapun.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Risa setelah mereka mencapai halaman.

Bima menarik napas dalam. "Modal Agresif sudah likuid. Sistem sudah tervalidasi. Aset Non-Likuid (Dinda) sudah terlindungi," jawab Bima, kembali ke bahasa sistemnya. Ia menoleh dan menatap Risa dengan senyum tipis. "Sekarang, kita bisa memulai Fase Konsolidasi Hati. Dan ekspansi vertikal yang sesungguhnya."

Mobil Risa meluncur pelan menjauhi komplek rumah Paman Doni, meninggalkan gerbang besi tempa yang kini terasa seperti bingkai lukisan kematian sosial bagi Keluarga Pengambil Aset. Malam terasa lebih hening. Lampu-lampu jalan memantul di kaca jendela, menciptakan pola cahaya yang bergerak di wajah Risa dan Bima, memecah ketegangan yang masih tersisa dari ruang keluarga tadi.

{Kemenangan ini terasa hampa. Bukan karena aku tidak bahagia, tetapi karena kebahagiaan sejati tidak bisa dihitung dengan nominal atau kontrak. Kebahagiaan ada di bangku penumpang ini, di sampingku. Ini adalah waktu post-audit yang krusial, saat sistem emosi harus diintegrasikan.}

Risa memarkir mobil di pinggir jalan yang sepi, di bawah lindungan kanopi pohon yang rindang. Ia mematikan mesin, dan keheningan menyergap mereka. Risa menoleh.

"Kau sempurna di sana, Bima," ujar Risa, suaranya rendah dan serius, membuang semua formalitas eksekutif. "Bukan karena kontrak itu, tapi karena cara kau menghancurkan keyakinan mereka. Kau tidak berdebat; kau mendeklarasikan nilai. Itu adalah otoritas yang tak terbantahkan."

Bima terdiam sejenak. Ia menyadari Risa adalah satu-satunya orang yang melihat kedua sisinya: Bima yang terluka dan Arta yang strategis. "Itu hanya validasi sistem, Risa. Sebuah checklist yang harus kucentang untuk melindungi Dinda dan membangun fondasi yang sesungguhnya."

"Dan bagaimana dengan checklist untuk dirimu sendiri?" Risa bertanya, tatapannya lekat, memaksa Bima melihat melampaui logika spreadsheet. "Kau memanggil ini Fase Konsolidasi Hati. Tapi sepertinya kau masih terperangkap di Fase Mitigasi Risiko Emosional."

Kalimat Risa menusuk lurus ke dalam monolog batin Arta. Bima bergeser, menghadapi Risa sepenuhnya. Ini adalah negosiasi paling sulit yang pernah ia hadapi, negosiasi yang tidak bisa dimenangkan dengan Margin Keuntungan Bruto.

"Aku... terbiasa menilai semuanya berdasarkan fungsi. Dinda adalah aset non-likuid yang harus kujaga. Yura adalah modal agresif yang harus dikembangkan. Kau..." Bima berhenti, mencari kata-kata yang bukan berasal dari kamus ekonomi.

"Aku?" Risa mengulang, nada lembutnya seperti memecah lapisan es yang membekukan Bima.

"Kau adalah Kredibilitas Fungsional yang tak ternilai. Kau mengisi Jaring Pengaman Sosial yang tidak bisa dibeli dengan modal. Tanpamu, validitas narasi itu runtuh di mata mereka dan di mataku sendiri," Bima menjelaskan, mencoba mendekati emosi melalui terminologi sistem.

Risa tersenyum kecil, senyum yang menunjukkan pemahaman dan kelelahan. "Aku bukan hanya fungsi, Bima. Aku Risa. Dan malam ini, kita berjuang, bukan hanya sebagai mitra bisnis, tapi sebagai..."

Ia membiarkan kata itu menggantung di udara. Bima, sebagai Arta, mampu meramalkan setiap skenario pasar, tetapi ia tidak pernah memasukkan variabel ini ke dalam perhitungannya.

{Variabel emosional: Risa. Jika aku memproses ini sebagai investasi, risiko kerugiannya tak terhingga. Namun, jika aku mengabaikannya, sistemku akan berjalan tanpa nilai inti yang sesungguhnya.}

"Sebagai apa, Risa?" tanya Bima, suaranya nyaris berbisik.

Risa meraih tangannya di atas konsol mobil. Jari-jarinya hangat dan tegas, bukan sentuhan basa-basi, melainkan transfer data emosional.

"Sebagai manusia yang saling peduli. Cukup itu dulu," Risa menegaskan, seolah memberikan kesimpulan untuk babak ini. "Sekarang, Deklarasi Ekspansi Vertikal: Kau harus fokus. Kontrak Pasokan Primer itu harus dieksekusi dengan efisiensi yang sempurna. Jangan biarkan kemenangan kecil ini mengalihkan pandanganmu dari Nilai Jangka Panjang."

Bima mengangguk. Risa selalu tahu cara mengembalikan fokusnya ke hal yang penting, entah itu sistem, atau dirinya sendiri.

"Siap. Fase Konsolidasi Hati selesai. Laporan sudah diproses," Bima menyatakan, senyumnya kini benar-benar rileks, bukan lagi senyum kemenangan strategis, melainkan senyum kelegaan emosional.

Risa tertawa, suara tawa yang jujur dan bergema, berbeda dari tawa artifisial di pesta. Ia menyalakan mesin. "Bawa aku pulang, Bima. Kita punya pasar baru yang harus dikuasai besok."

1
Dewiendahsetiowati
ceritanya bikin nagih baca terus
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Khusus Game: halo, ka. selamat membaca, sorry ya baru cek komen🙏😄
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!