NovelToon NovelToon
Mengulang Waktu Untuk Merubah Takdir

Mengulang Waktu Untuk Merubah Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Raja Tentara/Dewa Perang / Kelahiran kembali menjadi kuat / Romansa Fantasi / Time Travel / Reinkarnasi / Mengubah Takdir
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Wira Yudha Cs

Di kehidupan sebelumnya, Max dan ibunya dihukum pancung karena terjebak sekema jahat yang telah direncanakan oleh Putra Mahkota. Setelah kelahiran kembalinya di masa lalu, Max berencana untuk membalaskan dendam kepada Putra Mahkota sekaligus menjungkirbalikkan Kekaisaran Zenos yang telah membunuhnya.
Dihadapkan dengan probelema serta konflik baru dari kehidupan sebelumnya, mampukah Max mengubah masa depan kelam yang menunggunya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wira Yudha Cs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24 PUKULAN TELAK

Dari kejauhan Rose melihat rekan-rekannya yang masih berjuang. Dia cukup gugup, namun fokusnya masih tetap terjaga. Saat ini, wanita itu berada di atas tanah kosong yang masih tampak bersih. Di permukaan tanah itu terdapat sebuah lingkaran besar dengan pola abstrak yang digambar menggunakan darah.

Lingkaran sihir telah berhasil Rose selesaikan. Telapak tangannya sedikit nyeri karena luka sayatan yang dia lakukan sendiri untuk memeras darahnya demi membuat lingkaran ini.

Segel Empat Menara yang dimaksudkan adalah sihir yang cukup kuat untuk menyegel binatang suci yang hilang kendali. Sihir ini terbilang sulit karena menguras tenaga yang cukup banyak. Satu-satunya yang mampu menggunakannya adalah Rose, yang memang terlahir dengan energi sihir melimpah.

“Bertahanlah. Aku hampir selesai!” teriak Rose dengan wajah memerah.

Melihat Roland dan rekan-rekannya yang lain masih berjuang, dia tidak bisa tenang. Rose segera menyatukan kedua telapak tangan dan mengucapkan mantra. Detik berikutnya, lingkaran sihir mengeluarkan cahaya merah yang sangat terang. Rose menatap targetnya yang masih menggeliat, lalu mengendalikan cahaya dari lingkaran sihir dengan dua jarinya. Dia mengarahkan cahaya merah tersebut ke atas tubuh sang ular.

Segera, cahaya merah itu berubah menjadi lingkaran dengan pola sama persis dengan yang tergambar di bawah kaki Rose. Namun, lingkaran yang berada di atas tubuh sang ular tentu saja berkali-kali lipat lebih besar. Mengendalikan kekuatan sebesar ini membuat Rose mengeluarkan darah dari hidung dan mulutnya. Namun, dia tetap bertahan.

Mendapati ancaman yang berbahaya, ular tanah yang masih menggeliat langsung menghentikan aksinya. Dia membenturkan kepala ke tanah hingga es yang menyelimuti kepala reptil itu pecah tanpa meninggalkan sisa. Ia mendongak, menatap lingkaran sihir di atasnya. Ular tanah itu murka dan membuka mulutnya lebar-lebar, mengeluarkan auman melengking yang sangat keras.

Auman ular tanah membentuk gelombang suara yang membuat lingkaran sihir di atasnya bergetar, dan Rose yang mengendalikannya nyaris kehilangan konsentrasi. Beruntung Roland dengan cepat bergerak dan menahan tubuhnya dari ambruk ke tanah.

“Fokus. Aku akan menjagamu,” ujar Roland dengan nada tenang. Satu tangannya masih memegang bahu Rose dengan sedikit tenaga.

Rose mengangguk dan kembali mengarahkan lingkaran sihir di udara agar jatuh ke tubuh sang ular. Dengan satu kali gerakan tangannya, lingkaran sihir tepat memerangkap tubuh besar reptil itu. Rose sedikit bernapas lega, namun tetap waspada.

Tepat ketika Rose hendak membungkus tubuh ular tanah dengan lingkaran sihirnya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ular tanah itu mengamuk dengan sekuat tenaga. Lingkaran sihir yang jatuh di tubuhnya segera lenyap tanpa meninggalkan sisa.

Ksatria sihir di sekitar yang waspada pun terkena kibasan ekornya — tak terkecuali Rose dan Roland yang berada agak jauh dari area pertempuran. Mereka juga terpental karena Rose mengalami serangan balik akibat kegagalan Sihir Empat Menara yang dia gunakan.

Medan pertempuran mendadak berkabut karena kikisan pasir berterbangan di udara. Beberapa ksatria sihir yang terkena kibasan ekor ular tanah meregang nyawa; selebihnya mengalami luka yang cukup parah. Di saat kritis seperti ini, hampir ratusan prajurit bayangan mengepung sang ular. Mereka memberikan serangan kejutan. Namun, ular tanah itu tidak bodoh. Dia segera bereaksi dan menyedot semua prajurit bayangan yang mencoba melukai tubuhnya.

“Segel Empat Menara tidak berguna. Roland, apa yang harus kita lakukan?” tanya Rose lirih sembari menyeka darah di pelipisnya. Wanita itu berusaha berdiri walau harus menanggung rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Roland yang terpental tak jauh dari posisi Rose juga segera bangkit dan berjalan tergopoh mendekati Rose. Napas pria itu menggebu dan dadanya terasa sesak. Ia merasakan beberapa tulang rusaknya patah dan mungkin melukai organ dalamnya. Namun, Roland tetap bertahan. Jika mereka menyerah saat ini, maka ular tanah itu akan mengamuk sampai ke ibu kota. Saat ini, Roland hanya berharap bantuan akan segera tiba.

“Rose, apa kau baik-baik saja?” tanya Roland sembari memegang bahu sang rekan.

Rose menoleh dan menggeleng lemah. Kekuatan ular tanah itu benar-benar di luar akal mereka — sangat kuat dan lincah.

“Semua prajurit bayangan bahkan tak mampu melukainya. Kulit binatang itu sangat tebal dan tajam. Jika dia tidak mati hari ini, maka Utara akan mengalami tragedi kemanusiaan yang sangat parah,” ucap Rose sembari terus memikirkan cara untuk mengatasi binatang suci yang telah gagal mencapai ranah dewa itu.

Saat keduanya berbicara, kabut yang tercipta dari debu perlahan-lahan menghilang. Samar-samar, Rose dan Roland dapat melihat bahwa ular tanah itu masih tampak kokoh dengan kepala terangkat. Tombak di leher bagian bawahnya bahkan telah hancur tanpa sisa.

“Aku hanya berharap Yang Mulia Duke segera tiba di sini. Binatang itu sudah di luar kuasa kita.”

Rose mengangguk kecil menanggapi perkataan Roland. Dua ksatria itu hanya bisa menyaksikan ular tanah dari kejauhan.

Ular tanah yang masih terengah-engah akibat pembekuan di kepala dan luka di leher bagian bawahnya terus berusaha mengumpulkan energi untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil di tubuhnya. Namun, sebelum ular itu bisa bernapas dengan tenang, sesuatu meluncur dari langit dan pukulan keras menghantam tepat di atas kepala sang ular.

Kepala ular itu segera terhentak ke permukaan tanah dengan suara keras yang hampir memekakkan telinga. Rose dan Roland yang menyaksikannya dibuat tertegun dengan tubuh merinding.

Kekuatan apa yang mampu membuat ular itu terhentak begitu keras? Apakah bala bantuan telah tiba?

Sebelum Rose dan Roland bereaksi, seseorang dengan pakaian hitam tiba-tiba melompat menjauh dari kepala ular tanah.

“Tidak cukup. Dia belum mati,” gumam pemuda berbaju hitam sembari memegang tinju yang dia gunakan untuk memukul kepala sang ular.

Rose dan Roland tidak dapat melihat siapa sosok itu. Mereka hanya dapat melihat sosok itu berdiri tegap dengan punggung menghadap ke arah mereka.

“Apa kau orang yang dikirim oleh Yang Mulia Duke Arthur Froger?” tanya Roland setengah berteriak. Namun, sosok itu tampak abai, seolah-olah tidak mendengar pertanyaannya.

Max, pemuda yang baru saja memukul keras kepala ular tanah itu, menghela napas pendek. Dia segera mengedarkan pandang ke sekitar. Puing-puing bangunan rumah kayu, pepohonan yang runtuh, serta bentuk permukaan tanah yang sudah retak dan berlubang. Tidak hanya itu, Max juga melihat potongan tubuh manusia di tanah serta mayat-mayat yang tertimbun reruntuhan.

Darah dari ksatria sihir yang tewas juga tak luput mewarnai permukaan tanah. Max menatap miris pemandangan ini. Binatang tetaplah binatang — mereka tidak akan berbelas kasihan meski ratusan atau bahkan ribuan nyawa manusia terenggut karenanya.

Max melangkah mendekati kepala ular itu. Sesekali bunyi desisan terdengar. Sang ular merasakan rasa sakit di bagian kepala hingga tak mampu mengangkatnya. Alhasil, dia hanya bisa membuka kedua mata dan menatap tajam manusia yang baru saja melukainya.

“Berani-beraninya makhluk rendahan sepertimu membuatku terluka. Aku bersumpah akan memakanmu tanpa meninggalkan sisa,” suara ular itu terdengar serak dan tua.

Max hanya menatap datar ular itu. Saat sang ular menjulurkan lidah hitamnya, Max menangkap lidah itu dengan tangan kosong. Rose dan Roland yang melihat aksi ini tanpa sadar menahan napas. Mereka tahu betul, ular itu memiliki racun yang sangat mematikan.

Sosok berpakaian hitam misterius itu berani memegang pusat racun. Seberapa kuat dirinya? pikir para ksatria sihir itu.

“Makhluk yang membunuh manusia tanpa rasa bersalah, kematian tidak akan cukup untuk membuatmu menderita,” ucap Max tajam.

Setelah itu, dalam satu kali sentakan tangan, lidah sang ular terputus dari tempatnya.

Segera lolongan kesakitan terdengar begitu menyedihkan. Darah hitam menyembur dari mulut sang ular. Namun, anehnya, percikan darah itu tidak ada setitik pun yang dapat menodai tubuh dan pakaian sosok hitam itu. Hal-hal kecil ini tak luput dari pandangan dua ksatria sihir yang berada di kejauhan.

Max mengabaikan lolongan sang ular. Tubuh ular itu mulai menggeliat dan melancarkan serangan dengan melepaskan sisik. Max dapat menghindari serangan itu dengan mudah tanpa melakukan gerakan yang berlebihan. Dia hanya menangkisnya dengan tangan kosong dan melangkah perlahan mendekati tubuh ular yang menggeliat.

Max melihat sesuatu yang berkilau di permukaan tanah. Segera dia merunduk dan mengambil benda itu — pedang milik salah satu ksatria sihir yang tewas. Setelah itu, dia melompat cepat dan menebas tubuh besar sang ular dengan gerakan elegan.

Gerakan itu secepat kilat, hingga tidak bisa terlihat dengan mata telanjang. Rose dan Roland tidak merasakan adanya penggunaan energi sihir. Semua gerakan sosok itu murni keterampilan seni bela diri.

Saat Rose dan Roland tersadar dari rasa takjub, mereka dibuat tertegun ketika melihat tubuh besar ular tanah itu sudah terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Sebelum melompat turun dari potongan tubuh sang ular, Max tak lupa mengambil kristal hitam yang berada di dalam otak binatang suci itu.

Tanpa Max sadari, aksinya juga terlihat oleh sosok penguasa wilayah ini. Arthur Froger dengan busur cahaya di tangan menatap pertarungan sepihak itu nyaris tanpa berkedip. Sebelum sosok berpakaian hitam itu pergi, dia melihat dengan jelas wajahnya. Arthur lagi-lagi dibuat tertegun karena wajah itu mengingatkannya akan sosok di masa lalu.

“William? Mengapa dia terlihat mirip seperti William ketika masih muda?” pertanyaan itu bergema di dalam hatinya.

---

1
Silla Okta
lanjutkan Thor
Pektam110
🙏
Silla Okta
semoga max dan Anna bisa bersama di kehidupan ini,,,, next Thor
Silla Okta
next Thor,,,,, kutunggu selalu update dari mu
Pektam110
luv yu tu😍
Silla Okta
next Thor,,,,,, kutunggu up mu selalu luv yu
Silla Okta
next Thor
Dewiendahsetiowati
hadir thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!