Kumpulan kisah misteri menceritakan tentang cerita legenda misteri dan horor yang terjadi di seluruh negeri berdasarkan cerita rakyat. Dalam kisah ini akan di ceritakan kejadian-kejadian mistis yang pernah terjadi di berbagai wilayah yang konon mwnjadi legenda di seluruh negeri bahkan banyak yang meyakini kisah ini benar-benar terjadi dan sebagian kisah masih menyimpan kutukan sampai sekarang, Di rangkai dalam kisah yang menyeramkan membuat para pembaca seperti merasakan petualangan horor yang menegangkan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqbal nasution, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4a. Misteri Noni Belanda
Hari itu, lima orang mahasiswa pecinta alam asal Medan bersiap memulai perjalanan panjang ke Aceh Besar. Mereka adalah:
Cindy, gadis berani sekaligus periang, yang menjadi motor semangat tim.
Albert, ketua kelompok, bijak dan paling berpengalaman dalam ekspedisi.
Irwan, humoris, sering jadi penghibur di kala suasana tegang.
Wendy, pendiam, gemar menulis catatan perjalanan di buku jurnalnya.
Nita, gadis religius, lembut, namun mudah gelisah dengan hal-hal gaib.
Mereka berencana camping di Tahura Pocut Meurah Intan, sebuah kawasan hutan lindung yang terkenal dengan keindahannya. Rencananya sederhana: empat hari tiga malam, mendaki, bermalam di dalam tenda, lalu menikmati panorama hutan rimba yang masih perawan.
Namun, di balik semangat itu, ada satu hal yang tidak mereka sadari: hutan itu menyimpan legenda yang kelam.
Setibanya di sebuah desa kecil di kaki bukit, mereka beristirahat sejenak di warung kopi milik warga. Seorang lelaki tua berjanggut putih memperhatikan mereka dari sudut.
“Anak-anak muda, kalian hendak ke hutan Pocut Meurah Intan?” tanyanya lirih.
Albert tersenyum ramah. “Iya, Pak. Kami mau camping. Hanya sebentar saja, tidak akan ganggu apa pun.”
Lelaki tua itu menghela napas panjang. “Hati-hati kalian di sana. Hutan itu bukan hanya milik manusia. Ada yang sudah lama menunggu… seorang noni Belanda yang hilang sejak zaman dulu. Jangan sembarangan bicara, jangan melanggar pantangan.”
Cindy tertawa kecil, mencoba mengurangi tegang. “Ah, cerita horor lagi, Pak? Biar makin seru ya.”
Tapi Nita menggenggam tangannya dengan wajah pucat. Ada hawa dingin merambat begitu nama noni Belanda itu disebut.
Perjalanan pun dimulai. Mereka mendaki jalur yang rimbun, pepohonan besar menjulang, udara sejuk bercampur aroma lumut basah. Semakin masuk ke dalam, hutan terasa sunyi.
Sesekali, terdengar kicau burung, namun segera hilang, digantikan keheningan yang menekan. Wendy menulis di jurnalnya:
“Entah mengapa, hutan ini terasa seperti sedang mengawasi kami. Seolah ada mata lain, selain milik manusia.”
Saat malam tiba, mereka mendirikan tenda. Api unggun menyala, cerita dan tawa pun terdengar. Namun, di balik kegelapan, samar-samar ada suara lain: suara seorang perempuan yang menyanyi lirih, berbahasa asing…
*****
Pagi harinya di warung kopi sederhana di kaki bukit, kelima mahasiswa Mapala itu duduk sambil menikmati kopi panas sebelum melanjutkan perjalanan. Obrolan ringan mereka terhenti ketika seorang lelaki tua berjanggut putih mendekat. Wajahnya keriput, matanya tajam namun penuh wibawa. Dialah Teungku Syaiful, sesepuh yang disegani di desa itu.
Ia berdiri di hadapan mereka, tongkat kayu di tangannya menjejak lantai.
“Kalian hendak masuk ke hutan Pocut Meurah Intan?” suaranya berat, seolah membawa beban rahasia yang tak boleh diucapkan sembarangan.
Albert menunduk sopan. “Benar, Pak Teungku. Kami mahasiswa dari Medan. Hanya ingin camping dan menikmati alam. Tidak ada maksud buruk.”
Teungku Syaiful menghela napas panjang. “Nak, hutan itu bukan hutan biasa. Ada banyak hal yang tak bisa kalian lihat dengan mata. Jika memang niat kalian baik, patuhi pantangan-pantangan ini…”
Ia lalu menyebutkan satu per satu dengan khidmat:
Jangan sekali-kali berbuat maksiat di dalam hutan. Tidak boleh ada zina, minum, atau perbuatan yang mengotori diri.
Jangan berkata kotor atau mengucap sumpah serapah. Setiap kata buruk bisa menjadi panggilan bagi sesuatu yang tidak tampak.
Jangan meremehkan atau menertawakan cerita lama. Karena apa yang diceritakan leluhur, masih hidup di hutan itu.
Jangan mengambil apa pun—baik bunga, batu, atau pohon—kecuali izin dari alam dengan doa.
Jika mendengar suara aneh, jangan disahut, jangan diikuti.
Teungku Syaiful menatap mereka satu per satu, lalu menambahkan dengan suara lirih:
“Konon, ada seorang noni Belanda yang hilang di sana sejak zaman penjajahan. Sampai hari ini, arwahnya masih berkeliaran. Ia membenci mereka yang mengotori tanah itu dengan dosa. Ingatlah baik-baik, anak muda. Jangan main-main di hutan orang.”
Hening menyelimuti meja. Nita menggenggam tangannya erat-erat, wajahnya pucat. Sementara Irwan mencoba bercanda, “Teungku, jadi kalau kita ketemu si Noni, harus bilang apa?”
Namun tatapan tajam Teungku Syaiful membuat tawa Irwan tercekat.
“Kalau kau temui dia, Nak… berdoalah sekuat-kuatnya. Karena kalau sudah ia tatap matamu, tak ada lagi jalan pulang.”
*****
Api unggun menyala di tengah tenda, menerangi wajah kelima pendaki. Hutan di sekeliling begitu sunyi, hanya suara jangkrik dan sesekali lolongan anjing hutan dari kejauhan.
Irwan, yang sedari tadi mondar-mandir, tiba-tiba terhenti. Pandangannya tertuju pada sebuah bangunan tua di balik pepohonan—rumah kayu dua lantai, berdiri miring dengan cat yang sudah mengelupas. Penduduk desa menyebutnya Rumah Scooby Doo, karena bentuknya yang aneh dan menyeramkan.
Di balkon lantai dua, Irwan jelas melihat seorang wanita cantik berkulit pucat, berambut pirang panjang, mengenakan gaun putih ala Eropa. Ia duduk manis sambil menatap jauh ke arah hutan. Tatapannya kosong, wajahnya setengah tertutup bayangan bulan.
“Siapa… itu?” bisik Irwan pada dirinya sendiri.
Saat ia mencoba melangkah lebih dekat, sosok itu berbalik perlahan—mata biru yang sayu menatap tajam ke arahnya. Namun sekejap kemudian, tubuh wanita itu menghilang, seolah larut dalam kabut tipis yang merayap dari hutan.
Irwan langsung merinding. Bulu kuduknya berdiri, napasnya tercekat. Ia buru-buru berbalik, kembali ke api unggun di mana Cindy, Albert, Wendy, dan Nita sedang bercanda sambil menyeruput kopi sachet.
“Ada apa Wan? Mukamu pucat kali,” tanya Wendy.
Irwan menggeleng cepat, berusaha menutupi kegelisahannya. “Enggak… cuma agak kedinginan.”
Namun matanya masih sesekali melirik ke arah rumah tua itu. Ia tahu… apa yang barusan dilihatnya bukan halusinasi.
Di kejauhan, angin malam berdesir pelan. Dari arah rumah Scooby Doo, samar terdengar suara perempuan… seperti tawa lirih bercampur tangisan.
Malam semakin larut. Api unggun tinggal bara merah, dan satu per satu mereka masuk ke tenda untuk tidur. Hanya suara serangga dan desiran angin yang menemani sunyi.
Nita tidur satu tenda bersama Cindy. Namun saat matanya mulai terpejam, ia merasakan sesuatu yang ganjil. Hawa dingin menusuk masuk ke dalam tenda, jauh lebih dingin daripada biasanya.
Tiba-tiba, ada bisikan lirih di telinganya. Suara asing, dengan logat yang tidak ia kenal.
“Kom terug… kom terug naar mij…”
Nita terbangun kaget. Ia mendongak, menatap ke sekeliling. Cindy masih tertidur lelap, wajahnya tenang. Tapi suara itu masih bergaung—pelan, seperti seorang wanita yang berbisik dari balik kain tenda.
Nita menutup telinganya, gemetar. “Siapa itu?” bisiknya ketakutan.
Saat ia menoleh ke arah pintu tenda, ia melihat bayangan seorang wanita bergaun putih melintas cepat. Bayangan itu seolah merayap dari luar, meninggalkan jejak dingin yang membuat nafasnya memburu.
“Albert… Irwan… Wendy... bangun!” suara Nita parau, berusaha membangunkan teman-temannya yang berada di tenda sebelah.
Namun tak seorang pun bergerak. Semua masih tertidur, seolah suara Nita tak sampai ke telinga mereka.
Dan tepat saat ia menoleh lagi, wajah pucat seorang wanita dengan mata biru menempel di dinding tenda dari luar—tersenyum menyeramkan, gigi-giginya tampak tajam di balik cahaya bulan.
Nita menjerit keras.
“Aaaaaaahhhhhh!!!”
Jeritan itu akhirnya membuat yang lain terbangun. Albert langsung menyalakan senter, Irwan panik meraih pisau lipatnya. Cindy memeluk Nita yang tubuhnya gemetar hebat.
"Ada... ada wanita di luar!
Albert, Irwan dan Wendy langsung mencari, namun tak ada siapapun di sana selain mereka berlima.