NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:954
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17: Penyesalan Zevian

Sementara itu, Zevian dan Nayara berjalan menaiki tangga dengan langkah perlahan. Suasana hening mengiringi keduanya. Hanya suara langkah kaki di atas lantai kayu yang terdengar samar, seolah-olah rumah besar itu sedang ikut menahan napas.

Kamar Zevian berada di lantai dua—di ujung lorong bergaya klasik modern dengan dinding krem pucat dan bingkai foto-foto hitam putih karya seni abstrak. Mereka berhenti di depan sebuah pintu tinggi berwarna putih gading, dihiasi ukiran halus dan nama berlapis emas: Zevian's Private Bedroom. Hal itu membuat Nayara menahan langkah.

“Aku tidur di kamar lain saja, Tuan,” ucapnya pelan, menunduk Zevian menoleh, menatapnya serius namun lembut.

“Saya tidak akan melakukan apa pun. Sungguh,” katanya tulus. Ia lalu menggenggam tangan Nayara dan menariknya perlahan masuk ke dalam ruangan.

Begitu pintu terbuka, aroma khas sandalwood dan sedikit wangi leather menyambut Nayara. Kamar itu luas dan tertata dengan sempurna, bergaya kontemporer dengan dominasi warna abu-abu dan sentuhan gold di beberapa detail furnitur. Sebuah ranjang berukuran king dengan headboard berlapis beludru berdiri megah di tengah ruangan, dilapisi seprai satin abu-abu tua dan beberapa bantal berwarna senada. Di atas ranjang, lampu gantung minimalis menjuntai anggun, memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan.

Dinding di belakang ranjang dihiasi lukisan-lukisan bernuansa monokrom yang mencerminkan selera seni tinggi sang pemilik kamar. Di sisi kanan, terdapat rak buku tinggi dengan koleksi beragam—dari fiksi klasik, jurnal bisnis, hingga buku-buku seni rupa kontemporer. Sebuah kursi baca kulit berwarna cokelat tua berdiri di pojok dekat jendela besar yang ditutup tirai tebal.

Nayara terpaku. Matanya menyapu tiap sudut ruangan. Ada meja rias kaca yang sederhana namun elegan, tidak jauh dari sofa tempat Zevian kini duduk dengan tubuh agak menyandar, menatapnya dengan mata yang letih namun tetap penuh kontrol.

Di dinding seberang ranjang, layar TV besar menyala, memantulkan bayangan samar Nayara yang masih berdiri ragu. Di samping TV, terdapat lemari kaca yang memajang koleksi barang seni miniatur: patung logam, artefak kecil, dan jam antik yang tampak sangat mahal. Nayara kini yakin—Zevian menyukai seni, dan ia tidak sembarangan dalam memilihnya.

Matanya kemudian tertumbuk pada satu bingkai foto besar yang tergantung rapi di dinding dekat rak buku. Foto keluarga Steel—Vince, Dira, Zevian, dan Vallen. Semuanya tersenyum dalam balutan pakaian formal, terlihat bahagia dan penuh wibawa.

Nayara perlahan duduk di pinggir ranjang, masih diam. Perasaannya campur aduk—canggung, bingung, namun juga... penasaran. Setelah cukup lama larut dalam keheningan, hanya suara samar detik jam yang terdengar di ruangan itu, akhirnya Zevian memecah diam.

“Kamu ingin mandi?” tanyanya pelan, suaranya terdengar lembut namun tetap dengan intonasi tenangnya yang khas. Tatapannya tak lepas dari sosok Nayara yang sedari tadi duduk tenang di tepi ranjang, diam seperti sedang mengukur ruang—dan mungkin juga, mengukur dirinya.

Sejak masuk kamar tadi, Zevian sengaja membiarkan Nayara tenggelam dalam pengamatannya. Ia tahu wanita itu tengah menelisik setiap detail kamar, mencoba memahami sisi lain dari seorang Zevian Steel yang selama ini dikenal keras dan sulit ditebak. Maka ia memberinya waktu, tanpa menyela. Nayara tak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju pada salah satu rak di sudut ruangan, seolah masih terlalu sibuk untuk menatap balik.

“Tidak masalah?” tanyanya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh denting jam dinding. Zevian menggeleng kecil, lalu menyahut.

“Tentu tidak. Mau?” tanya nya yang membuat Nayara mengangguk.

“Ya. Tapi… Ada baju ganti?” ucapnya tanpa menoleh, tetap menjaga jarak, setidaknya secara visual.

Zevian bisa menebak dengan mudah isi kepala wanita itu. Ia membaca keresahan Nayara seperti membaca teks yang sudah dihafalnya. Namun, untuk saat ini, ia memilih diam. Bukan karena tak mau menjelaskan, tapi karena ia sendiri belum tahu harus memulainya dari mana.

“Ada,” jawabnya akhirnya. “Mandilah dulu. saya akan carikan baju ganti untukmu. Setelah itu, baru saya menyusul mandi. Rasanya... tidak nyaman jika belum membersihkan diri.” Ia meletakkan ponselnya di atas meja samping sofa, lalu bersandar perlahan, menghela napas pelan.

Hening sejenak.

“Eum… sebenarnya semua barangku ada di mobil, berikan saja kuncinya. Aku akan mengambilnya sendiri.” ucap Nayara akhirnya.

Nada suaranya terdengar biasa saja, datar. Tapi bagi Zevian, setiap kata Nayara malam ini terasa seperti pagar yang terus ditegakkan. Tegas, teratur, membatasi. Zevian mengangkat wajahnya, menatap Nayara yang masih enggan membalas pandangannya.

“Sudahlah, menurut pada saya kali ini saja, Nayara. Saya mohon... untuk kali ini saja, jangan keras kepala. Saya lelah jika harus berdebat.” Suaranya melembut, ada nada mengiba yang tak biasa keluar dari mulutnya. Nayara akhirnya menoleh, namun ekspresinya tetap tenang. Tatapannya tajam, namun tak bermaksud melukai.

“Tapi aku punya barangku sendiri, Tuan,” ucapnya datar, tetap menjaga nada santai namun tak mudah dilunakkan.

Dan malam itu, antara dua hati yang sama-sama memendam, kamar megah bernuansa abu-abu emas itu menjadi saksi bisu dari pertarungan kecil—antara ego, luka lama, dan keinginan untuk saling memahami. Zevian menatap Nayara yang kini berdiri, menegakkan punggung seolah tak ingin terlihat kalah. Cahaya lampu gantung memantulkan kilau samar di mata wanita itu—mata yang tampak dingin, tapi menyimpan gemuruh yang belum sempat diluapkan.

“Saya bilang, mandilah. Saya akan carikan baju. Kenapa selalu harus sesuai maumu, Nayara?” nada suara Zevian mulai berubah, lebih berat, lebih tegas. Sorot matanya tak lagi lembut, tapi tajam, menusuk.

“Dan kenapa harus selalu sesuai mau anda juga, Tuan Steel? Aku tidak suka bergantung. Aku bukan mainan yang bisa anda arahkan sesuka hati.”jawab Nayara tajam. Zevian tersenyum miring. Bukan senyum hangat—melainkan senyum penuh sinis yang lahir dari harga diri yang terusik.

“Jadi kamu ingin kita saling tarik urat setiap kali berbicara, begitu?” tanyanya pelan tapi menekan. Ia bangkit dari sofa, melangkah mendekat, membuat udara di sekitar terasa lebih berat. Nayara tetap berdiri tegak di tempatnya, meski jantungnya mulai berdebar tidak karuan.

“Aku hanya ingin diberi pilihan. Jangan mengatur segalanya seolah aku tak punya suara.” ujar Nayara yang membuat Zevian tertawa pendek.

“Kamu pikir saya menikmati semua ini? Saya juga terjebak, Nayara. Tapi setidaknya, saya mencoba membuat semuanya tidak semakin rumit.” ujarnya.

“Dengan cara memaksaku tidur di kamar yang sama dengan anda malam ini?” Nayara menyilangkan tangan di depan dada, berusaha tetap tenang, meski napasnya mulai naik turun.

“Saya bilang saya tidak akan menyentuhmu!” suara Zevian meninggi, lalu ia mengatupkan rahangnya kuat. “Kamu selalu mencurigai niat saya, seolah saya ini bajingan rendahan. Padahal, kalau saya benar-benar ingin menyentuhmu... kamu pikir saya butuh izin darimu, Nayara?” lanjut nya dengan nada datar seolah menantang.

Deg.

Jantung Nayara serasa terhenti sepersekian detik. Ia menatap Zevian lekat-lekat. Ada ketakutan. Tapi lebih dari itu, ada kemarahan, keterlukaan.

“Anda memang bajingan, aku bukan milikmu. Bukan sekarang. Dan mungkin tidak akan pernah.” bisiknya, nyaris tanpa suara.

Zevian berdiri terpaku. Untuk pertama kalinya, tatapannya tidak bisa dibaca. Ada sesuatu yang retak di balik sorot dinginnya. Namun, seperti biasa, ia menutupinya dengan satu tarikan napas dan lirih tawa tipis.

“Kita lihat saja nanti, mandilah. Atau diam di situ sampai pagi. Tapi jangan salahkan saya jika kamu masuk angin di ruangan sedingin ini.” ucapnya datar. Nayara mendengus pelan. Sorot matanya dingin, penuh perlawanan. Ia memutar tubuhnya, menatap Zevian tanpa gentar.

“Aku tidak peduli. Cepat berikan kunci mobil anda, aku ingin mengambil barangku,” ujarnya tajam, seolah menantang. Zevian menghela napas panjang, rahangnya mengeras seiring emosinya yang mulai mendidih di dalam dada. Ia melangkah mendekat, tapi tetap menjaga jarak.

“Tapi mobil saya sudah dimasukkan ke garasi oleh sopir. Besok saja kamu ambil barangmu. Sekarang biar saya yang mencarikan baju ganti untukmu. Saya akan tanyakan pada Mommy apa dia punya baju yang masih baru untuk kamu pakai. Bisa tidak, menurut?” ujarnya tegas, nada suaranya seperti perintah yang tak membuka ruang diskusi. Nayara menatapnya tajam sejenak, lalu mengalihkan wajahnya dengan penuh kekesalan.

“Baiklah, terserah,” ucapnya pendek sembari melangkah menuju kamar mandi dengan langkah cepat dan suara hentakan kaki yang terdengar jelas di lantai marmer mahal itu.

“Eh... itu, handuknya ada di walk-in closet. Ambil saja,” sahut Zevian sambil keluar dari kamar. Suaranya terdengar sedikit lebih lembut, tapi tetap berisi tekanan.

Zevian melangkah dengan cepat menuju kamar Vallen. Awalnya ia berniat pergi ke kamar sang ibu, tapi membatalkannya karena merasa kurang nyaman jika harus mengaduk lemari wanita yang lebih tua. Ia tahu, adiknya—Vallen—jauh lebih fleksibel dalam hal seperti ini.

Sementara itu, Nayara berhenti sejenak di dekat pintu walk-in closet yang terletak di sisi kanan ranjang besar milik Zevian. Ruangan itu lebih terlihat seperti butik mini daripada tempat menyimpan pakaian biasa. Lampu gantung kecil di dalamnya menyala otomatis ketika pintu terbuka, memperlihatkan deretan rapi jas, kemeja, dan koleksi sepatu kulit mewah yang semuanya tampak seperti baru.

“Apa aku boleh buka lemari dia? Akh, sudahlah. Toh dia hanya menyuruh... aku juga tidak akan mengambil apa pun.” gumam Nayara pelan, matanya melirik sekeliling. Ia kemudian mengangkat bahu dan berbisik untuk dirinya sendiri.

Langkah kakinya terdengar pelan saat ia berjalan ke rak handuk yang tertata rapi, bersebelahan dengan lemari aksesori. Aroma kayu cendana samar tercium dari sisi dalam ruangan, memberi kesan maskulin yang lembut namun tegas.

Sementara itu, Zevian telah sampai di lantai bawah. Lorong menuju kamar Vallen sunyi dan dingin, hanya diterangi cahaya kuning temaram dari lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit tinggi. Pantulan cahaya itu memecah keheningan, mengkilap di atas lantai marmer yang bersih mengilat seperti permukaan kaca.

Zevian berdiri di depan pintu putih gading itu, lalu mengetuk tiga kali. Ketukannya tidak terlalu keras, tapi cukup tegas untuk menunjukkan bahwa ini bukan permintaan biasa. Ia tak sabar.

Beberapa detik kemudian, pintu kamar terbuka sedikit. Dari celah itu, muncul kepala Vallen. Gadis itu hanya mengenakan bathrobe putih berbulu halus yang tampak mahal. Rambut panjangnya basah, menempel di kulit leher dan bahunya, sebagian menjuntai acak-acakan ke depan. Wajahnya memerah, entah karena suhu kamar mandi yang hangat atau karena melihat sosok kakaknya berdiri di depan kamar saat malam hampir berganti hari.

“Ouh, Kakak? Ada apa?” tanyanya langsung, alisnya terangkat.

Zevian menyelipkan satu tangan ke dalam saku celananya, sementara wajah datarnya seperti biasa sulit ditebak apakah ia sedang marah, canggung, atau hanya terlalu malas berbicara banyak.

“Kamu punya baju tidur yang masih belum dipakai, tidak?” tanyanya tanpa basa-basi, langsung pada inti tujuan. Vallen mengerutkan kening. Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba. Beberapa detik dia hanya memandangi Zevian, mencoba memahami maksudnya.

“Untuk apa?” tanyanya, bingung. Ia bahkan sempat lupa kalau kakaknya sedang menjamu calon istrinya malam ini. Zevian mendesah pelan, suaranya tetap tenang, tapi ada tekanan emosional yang tersembunyi di balik nada datarnya.

“Untuk Nayara. Ada atau tidak?”Tanya nya cepat.

“Oh... untuk Kakak Ipar ya,” gumamnya dengan nada mengejek. Ekspresinya seketika berubah menyebalkan, seakan menemukan celah untuk menggoda kakaknya. Zevian bisa membaca niat usil itu dengan mudah. Ia tahu Vallen tidak akan melepaskan kesempatan ini tanpa ‘perang kecil’.

“Iya! Jangan bertele-tele. Cepatlah. Ada atau tidak?” Nada suaranya sedikit meninggi, kesabarannya mulai menipis. Vallen menyeringai, ekspresinya seperti anak kecil yang menang perang kecil di meja makan. Ia melipat tangan di depan dada, bersandar santai di kusen pintu.

“Ada, tapi bujuk aku dulu. Baru aku berikan,” ujarnya manja, memanyunkan bibirnya, seakan sedang bermain peran dalam drama murahan. Zevian menatapnya tak percaya. Matanya menyipit, dan rahangnya menegang.

“Hais, kamu ini… selalu menyebalkan,” geramnya, namun tetap berdiri di tempat, menahan diri agar tidak berbalik dan pergi begitu saja.

“Tinggal bujuk saja, Kak. Bicara yang lembut... minta baik-baik... jangan seperti tentara yang menyuruh anak buah,” goda Vallen, semakin menyebalkan. Zevian mendekat, wajahnya menegang penuh emosi yang terbungkus elegansi dingin.

“Cepat berikan saja, Nayara kedinginan, belum ada baju ganti!” serunya dengan suara berat yang mengandung kepanikan samar. Tanpa pikir panjang, ia menyubit pipi sang adik—keras.

“Akhh! Kakak, sakit tahu!” teriak Vallen, memegangi pipinya yang kini memerah. “Ya ampun, aku dianiaya kakak sendiri!” tambahnya dengan drama khasnya. Zevian menggeleng, kesal setengah mati, tapi tak bisa menahan tawa kecil yang terselip dari napasnya.

“Cepatlah Valen, jangan bertele-tele,” ucapnya dengan nada tinggi, namun tetap terdengar sebagai bentuk kasih sayang yang khas dalam hubungan kakak-adik mereka yang keras tapi dekat. Vallen masih meringis memegangi pipinya, tapi kini sudah melangkah mundur, membiarkan Zevian masuk ke kamarnya untuk mengambil baju yang dibutuhkan.

“Ya maaf kali, Kak... jangan teriak-teriak begitu. Sakit telinga-ku,” ucap Vallen, pura-pura kesal sambil mengusap-usap telinganya dengan dramatis. Padahal jelas-jelas, telinganya baik-baik saja. Ekspresinya seperti anak kecil yang sedang mencoba menghindar dari omelan, meski tahu dirinya salah. Mata Zevian menyipit tajam. Rahangnya mengeras, menahan emosi yang sejak tadi terpendam.

“Vallentina Clarissa!?” panggilnya dengan tekanan di setiap suku kata. Suaranya rendah, tapi sangat tegas. Kali ini bukan sekadar panggilan biasa—ini peringatan.

Wajah Vallen seketika berubah. Tatapan menggodanya tadi menghilang, digantikan dengan sedikit rasa bersalah dan... ketakutan. Ia tahu, saat sang kakak sudah memanggil nama lengkapnya, itu artinya batas kesabaran Zevian sudah habis.

“Iya, Kak... iya, ya ampun. Suka sekali mengintimidasi orang lain. Masuk aja sana, cari sendiri. Semuanya ada di walk-in closet, sebelah kanan, ya. Dekat dress. Kakak tinggal pilih, yang digantung itu semuanya masih baru. Kalau yang dilipat, sebagian sudah kupakai, tapi sisanya juga masih baru kok,” ujar Vallen, akhirnya menyerah sambil membuka pintu kamar lebih lebar, membiarkan Zevian masuk. Raut wajahnya campuran antara pasrah dan dongkol.

Zevian langsung menerobos masuk. Langkah kakinya panjang dan cepat, mencerminkan rasa tidak sabarnya. Saat melewati adiknya, ia sempat berbalik dan melemparkan kalimat sinis.

“Tinggal bicara saja dari tadi... susah sekali. Giliran dibentak langsung merajuk, ngadu ke Daddy,” sindirnya keras-keras, sengaja agar Vallen mendengarnya meski ia sudah berjalan menjauh. Vallen memutar bola matanya dan berseru keras pula dari belakang.

Setelah menemukan apa yang ia cari, Zevian keluar dari walk-in closet milik Vallen dan kembali menuju kamarnya. Sekilas, ia melirik ke arah kamar adiknya. Suara gemericik air masih terdengar samar dari balik pintu kamar mandi—tampaknya, Vallen belum selesai mandi.

Begitu memasuki kamarnya, suasana tenang langsung menyambutnya. Aroma lavender dari diffuser yang selalu menyala di sudut ruangan memberikan kesan nyaman dan menenangkan. Namun, Nayara belum juga terlihat. Pintu kamar mandi di dalam kamarnya tertutup rapat, dan suara air yang menetes dari pancuran masih terdengar pelan di kejauhan.

Zevian duduk di tepi ranjang berdesain elegan dengan seprai putih licin dan bantal-bantal berjejer rapi. Ia menyandarkan punggung sejenak, lalu mengeluarkan ponselnya. Jari-jarinya mulai menari cepat di layar, membuka pesan-pesan penting dan laporan dari perusahaan yang telah tertunda karena kepulangannya hari ini. Sorot matanya tajam dan fokus, meskipun ada raut lelah di wajahnya. Namun, semuanya terhenti saat suara engsel pintu kamar mandi terdengar berderit pelan.

Zevian mendongak. Pintu terbuka perlahan, dan di balik kepulan uap tipis, muncullah sosok Nayara.

Gadis itu baru saja selesai mandi. Rambutnya yang basah tergerai menempel di bahu, beberapa helai jatuh menutupi sebagian wajahnya. Kulitnya tampak bersih dan segar, masih sedikit memerah karena uap panas. Ia mengenakan bathrobe hitam milik Zevian—ukuran yang sedikit kebesaran membuat bahunya sedikit tenggelam, dan bagian atas dadanya sedikit terbuka, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang mungil. Bathrobe itu terikat asal di pinggang, membuat penampilannya terkesan polos dan alami.

"E-eh... Tuan..." ucap Nayara pelan, suaranya terdengar canggung. Ia berhenti melangkah begitu menyadari pria itu menatapnya.

Pipinya langsung merona, dan ia buru-buru menarik bathrobe-nya lebih rapat, seolah ingin menyembunyikan diri. Tatapan Zevian tak bergeming—dingin, namun dalam. Pandangannya menelusuri dari kepala hingga ujung kaki Nayara dengan intensitas tenang, seperti sedang memindai setiap inci dari sosok di hadapannya.

Tak ada satu patah kata pun keluar dari mulutnya. Namun, sorot mata Zevian yang gelap, dalam, dan membara, seolah berkata lebih banyak dari ribuan kalimat. Tatapannya merayapi wajah Nayara perlahan, menelusuri tiap inci dengan ketertarikan yang tak disamarkan—ada keterpanaan, kekaguman… dan aura kepemilikan yang kuat terpancar dari caranya menatap gadis itu, seolah Nayara adalah miliknya… sepenuhnya.

Tanpa aba-aba, Zevian bangkit dari tempat duduk dan mulai melangkah mendekat. Gerakannya tenang namun mengintimidasi, seperti bayangan malam yang menelan cahaya. Setiap langkahnya membawa hawa dingin yang merambat naik ke tengkuk Nayara. Refleks, Nayara mundur. Wajahnya menyiratkan kebingungan, ketakutan, dan sedikit... penasaran.

“Tuan... Anda kenapa?” tanyanya nyaris berbisik. Suaranya bergetar, namun tak mampu menyembunyikan denyut jantungnya yang mulai tak teratur. Zevian tak menjawab. Matanya mengunci pandangan Nayara. Langkahnya terus maju, perlahan namun pasti, seperti serigala yang mengintai mangsanya. Hingga akhirnya, punggung Nayara menabrak rak buku. Tak ada jalan lagi untuk mundur. Ia terkepung.

Jarak di antara mereka nyaris tak ada. Napas mereka bertabrakan di udara, panas dan lembap. Mata mereka saling mengunci, menyampaikan emosi yang belum terdefinisi.

Hening.

Lalu tiba-tiba, sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh bibir Nayara. Zevian mencium bibirnya dengan ganas namun penuh kendali. Ciuman itu bukan hanya sekadar menyentuh—ia melumatnya, menuntut respons, menuntut penyerahan.

Nayara terkejut, tubuhnya membeku seketika. Namun detik berikutnya, getaran aneh menyelimuti tubuhnya. Ciuman itu mengoyak pertahanannya. Ada sensasi asing yang mengalir di nadinya, membius pikirannya, hingga ia nyaris kehilangan napas sendiri. Tapi… kesadarannya kembali. Ia mendorong dada Zevian, sekali—tak bergeming. Dua kali—masih gagal. Baru di dorongan ketiga, seluruh tenaganya tertumpah.

Brukk…

Mereka jatuh bersamaan. Tubuh Zevian terbanting ke lantai, dan Nayara terjatuh tepat di atasnya. Posisi mereka kini semakin kacau: tubuh Nayara menindih dada Zevian, rambut basahnya terurai dan menutupi sebagian wajah pria itu.

Hening kembali menyelimuti kamar. Waktu seolah membeku di antara mereka. Hanya deru napas yang masih tersisa—beradu dan saling mencari ruang di udara yang menegang. Mata mereka bertemu sekali lagi dalam jarak yang terlalu dekat. Tatapan Zevian menghitam, kelam, dan sulit terbaca, sedangkan Nayara mulai tersadar dari efek ciuman yang masih membekas di bibirnya, membekukan pikirannya dan mengacaukan hatinya.

Detik berikutnya, Nayara buru-buru bangkit dari tubuh pria itu. Rambutnya yang masih basah menempel di pipi, wajahnya memerah hebat, campuran antara malu, marah, dan kecewa. Matanya menghindari tatapan Zevian yang kini ikut bangkit perlahan, tampak seperti anak kecil yang kehilangan arah—terpaku, terdiam, dan tampak menyesali sesuatu yang bahkan belum sempat ia mengerti sepenuhnya.

"Apa yang anda lakukan, Tuan?!" seru Nayara lantang. Suaranya bergetar namun penuh tekanan, seperti petir yang menyambar di ruangan sunyi itu.

Zevian terdiam. Wajahnya memucat. Untuk pertama kalinya, raut percaya dirinya runtuh. Sorot matanya menunjukkan penyesalan yang dalam, dan bibirnya terbuka pelan, mencoba merangkai kata.

"Saya… minta maaf. Saya tidak sengaja," gumamnya lirih, seperti anak kecil yang baru saja tertangkap melakukan kesalahan. Wajahnya tertunduk. Kepalan tangannya menggigil menahan sesuatu—entah rasa malu, atau rasa bersalah karena gagal mengendalikan diri. Nayara mengatupkan rahangnya. Matanya yang berlinang menatap tajam ke arahnya, penuh luka yang menganga.

“Anda yang memaksaku, Tuan. Anda benar-benar… tidak bisa dipercaya.” Nada suaranya naik turun, sesak oleh emosi yang tertahan terlalu lama.

“Aku bisa saja memberitahukan semuanya pada ibu anda, bahwa ini hanya sandiwara. Bahwa semua ini cuma perjanjian—balas jasa yang anda tawarkan padaku. Anda tidak pernah berpikir, seberapa besar harapan ibu anda agar melihat anda menikah dengan bahagia.” Suaranya pecah. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya tumpah tanpa kendali, membasahi pipinya yang kemerahan. Napasnya memburu.

“Setidaknya… hargai aku! Hargai perjuanganku untuk tidak menghancurkan harapan ibu anda itu! Tapi anda?” Ia menuding dada Zevian dengan tangan gemetar. “Dengan beraninya, berkali-kali melakukan hal itu padaku. Seolah aku ini... bukan siapa-siapa! Anda pikir… aku ini wanita macam apa, hah?!” tutup Nayara matanya bergetar hebat, dan suara terakhirnya meluncur penuh luka.

Zevian terpaku. Matanya menyiratkan konflik batin yang mendalam. Ruangan itu kembali hening, tapi bukan hening yang nyaman—melainkan hening yang menggigit dan menyisakan luka-luka tak kasat mata di antara keduanya.

Zevian masih terdiam. Napasnya berat, sorot matanya tidak bergeser sedikit pun dari wajah Nayara yang memerah karena emosi dan tangis. Lalu perlahan, ia melangkah mendekat, satu langkah demi satu langkah, seperti predator yang mendekati buruannya—namun bukan untuk menyakiti, melainkan untuk memeluk luka yang ia buat sendiri.

“Kita akan menikah, Nayara. Cepat atau lambat, kamu akan jadi milik saya. Istri saya. Wanita yang akan saya bawa ke altar, yang akan tidur di ranjang yang sama dengan saya, setiap malam.” ucapnya pelan namun penuh penekanan.

Nayara mundur setengah langkah. Tubuhnya bergetar, matanya masih basah, namun ada api yang berkobar di balik sorot matanya—api harga diri yang mulai terbakar karena kata-kata Zevian.

“Jadi… hanya karena kita akan menikah, anda pikir anda bisa menyentuhku sesuka hati anda? Apa anda pikir dengan status suami, anda bisa memperlakukan aku seperti properti? Seperti boneka yang bisa anda peluk dan cium kapan pun anda mau?” suaranya tajam, nyaris berbisik, tapi setiap kata menusuk tajam ke dada Zevian.

Zevian mendekat lagi, kali ini lebih cepat. Tangannya mencengkeram lengan Nayara, tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuatnya tidak bisa kabur. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci, dan dari dekat, Nayara bisa melihat rahang Zevian yang mengeras, serta tatapan matanya yang kini berubah… bukan lagi marah, bukan pula nafsu, melainkan… terobsesi.

“Saya tidak menganggap mu boneka, saya menginginkanmu… sebagai istri saya, sebagai wanita saya. Bukan karena permainan, bukan karena balas jasa. Tapi karena kamu membuat saya kehilangan kendali, Nayara. Saya menawarkan pernikahan ini bukan tanpa alasan.”desis Zevian pelan. Tangan Nayara menepis genggaman itu, dengan sisa tenaga dan harga dirinya yang masih ia genggam erat.

“Kehilangan kendali?” tanyanya dengan suara rendah. “Anda kira itu hal yang bisa dibanggakan? Lelaki seperti anda... dengan semua kuasa dan uang yang anda punya… justru kalah oleh tubuh seorang wanita yang bahkan belum resmi menjadi milik anda.” Zevian terdiam. Seketika, diamnya bukan lagi karena tidak tahu harus berkata apa, tapi karena kata-kata Nayara telah menampar sisi egonya yang terdalam.

“Kita mungkin akan menikah, Tuan Steel, tapi sampai saat itu tiba—aku bukan milik anda. Tubuhku bukan milik anda. Dan anda tidak berhak menyentuhku tanpa izinku.” ucap Nayara pelan namun tajam.

Tatapannya menusuk, tajam seperti belati yang dilapisi kebenaran. Sorot matanya tegas, seakan ingin menggambar garis batas yang jelas antara kehormatan dan hasrat. Garis yang tak boleh dilangkahi, bahkan oleh pria sekaliber Zevian Steel sekalipun.

Zevian terdiam. Rahangnya mengeras, bola matanya gelap seperti langit malam tanpa bintang. Tapi tidak ada amarah di sana. Hanya diam... dan kehampaan yang pelan-pelan menggerogoti pikirannya.

Sementara itu, Nayara melangkah mendekatinya—bukan untuk mendekap, tapi untuk mengambil pakaian yang tergeletak di samping pria itu. Tanpa satu kata pun, ia melangkah masuk ke dalam walk-in closet Zevian. Pintu ditutup perlahan, meninggalkan suara klik halus yang terasa nyaring di tengah keheningan yang menyesakkan.

Di dalam sana, Nayara berdiri terpaku. Kakinya gemetar, tubuhnya menggigil, dan tangannya mencengkeram gaun tidur yang hendak ia pakai. Setelah mengenakannya dengan terburu-buru, ia menyandarkan tubuhnya pada dinding kayu di sudut ruangan itu. Bahunya mulai bergetar, dan air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya pecah begitu saja.

Tangisnya meledak. Bukan sekadar sedih, tapi pilu yang mengoyak dari dalam—tangisan seorang wanita yang tengah mempertaruhkan harga dirinya dalam permainan yang ia sendiri tak pernah minta untuk dimulai.

“Tuhan... jalan apa lagi ini? Mama... Nay harus bagaimana sekarang...?” bisiknya di antara sesenggukan yang mengguncang.

Suaranya nyaris tak terdengar, hanya lirih dan lemah, seperti daun kering yang terhempas angin. Tapi di balik keluhannya, ada luka yang tak bisa ditutupi. Seolah tubuhnya kuat, tapi jiwanya retak perlahan.

Tangis Nayara merambat keluar, melewati celah pintu yang tak sepenuhnya kedap suara. Zevian mendengarnya. Ia masih berdiri di tempat yang sama, diam, seperti patung tak bernyawa. Tapi matanya berkedip perlahan, dan napasnya mengalir berat—seberat rasa bersalah yang mulai menghimpit dadanya.

Tangisan itu seperti cambuk. Memukul kesadarannya yang sempat mati sesaat. Menariknya kembali ke dunia nyata, di mana ia baru saja menyakiti seseorang yang berharga... terlalu berharga, bahkan lebih dari yang ia sadari. Tapi yang lebih menakutkan adalah kenyataan bahwa dirinya sendiri tak mengerti kenapa semua itu bisa terjadi.

"Aku tahu itu salah, tapi kenapa... kenapa aku selalu ingin memilikimu?" gumam Zevian, nyaris tak terdengar. Rasa frustasi menghantamnya dalam diam. Dia mencengkeram rambutnya sendiri, lalu menjatuhkan diri ke tepi ranjang, menunduk dalam. Ada bara dalam dirinya yang membakar terlalu besar saat melihat Nayara—bara obsesi yang tak bisa ia padamkan, bahkan dengan logika dan harga diri sekalipun.

Dia tahu Nayara membencinya sekarang.

Dan untuk kedua kalinya dalam hidupnya, Zevian merasa takut… takut kehilangan sesuatu yang belum sepenuhnya menjadi miliknya.

Setelah hampir tiga puluh menit lamanya, Zevian masih berdiri tak jauh dari pintu walk-in closet, menunggu. Tangisan Nayara yang tadi begitu nyaring perlahan mereda… hingga benar-benar menghilang. Tak ada suara.Tak ada isakan. Hening.

Zevian mengernyit, merasa ada yang ganjil. Rasa khawatir menggerayangi dadanya, menyingkirkan amarah dan ego yang tadi sempat menyelubungi. Ia melangkah pelan, mendekat ke pintu kayu itu, lalu mengetuk pelan.

“Nayara?” panggilnya dengan suara serak.

Sunyi. Tak ada jawaban.

Zevian mengetuk sekali lagi, kali ini lebih keras. Tapi tetap tak ada suara dari dalam. Dadanya berdegup tak tenang. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat satu kakinya dan—brakkk!—mendobrak pintu tersebut hingga terbuka lebar.

Pandangan Zevian langsung jatuh pada sosok Nayara di sudut ruangan. Gadis itu tertidur dalam posisi meringkuk, kepala tertelungkup di atas lutut yang dipeluk rapat, seperti anak kecil yang kelelahan menangis. Gaun tidur tipisnya sedikit kusut, bahunya tampak naik-turun pelan, napasnya tenang. Wajah Zevian mengeras, lalu melembut dalam satu helaan napas berat.

“Astaga... dia tertidur, aku minta maaf… sungguh, maaf karena telah melakukan itu dan membuatmu takut…”gumamnya lirih.

Dengan hati-hati, ia mendekat, lalu menunduk dan mengangkat tubuh Nayara ke dalam gendongannya. Tubuh mungil itu terasa begitu ringan, rapuh… seakan bisa retak jika dipeluk terlalu erat. Zevian membawanya ke atas ranjang dan meletakkannya perlahan, nyaris tanpa suara, seolah dunia tak boleh tahu ada seorang wanita yang terluka karena pria sepertinya.

“Maafkan aku… aku tak bisa mengontrol diriku,” bisiknya pelan, menatap wajah Nayara yang lelap. Ia menarik selimut dan menutupi tubuh Nayara hingga ke bahu. Lalu, dengan lembut, mengecup keningnya—sentuhan ringan, hampir tak terasa. Bibirnya bergetar sejenak sebelum menjauh.

Zevian kemudian berdiri. Tubuhnya terasa lengket oleh peluh dan udara kamar yang hangat. Ia melangkah ke kamar mandi pribadi dengan langkah lesu, membuka kancing kemejanya satu per satu sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Pandangannya kosong. Tatapan matanya sendiri membuatnya jijik.

“Lihat dirimu, Ze… lelaki sialan, beraninya kau membuat nya menangis ketakutan, bahkan sebelum memberikan nya tawa.” gumamnya pelan.

Air pancuran dinyalakan. Zevian melangkah masuk ke bawah guyuran air hangat. Ia memejamkan mata, membiarkan air membasahi seluruh tubuhnya, menelusuri rambut, wajah, dan dadanya. Ia menunduk, menggertakkan rahang, mencoba membuang rasa bersalah yang tak kunjung hilang dari dadanya.

Namun, air itu tak mampu membersihkannya sepenuhnya. Luka di hati Nayara... telah ia ukir sendiri.

Setelah selesai, ia mengambil handuk besar berwarna hitam dan mengeringkan tubuhnya. Gerakannya lambat, lesu, seperti tak ada energi yang tersisa. Ia mengenakan celana tidur panjang dan kaus tipis berwarna gelap, lalu kembali ke tempat tidur.

Di sana, Nayara masih terlelap. Napasnya tenang, tapi ada sisa air mata yang mengering di ujung matanya. Zevian menatapnya lama… terlalu lama, hingga dadanya kembali terasa sesak.

Tanpa berkata apa-apa, ia menyelinap masuk ke bawah selimut dan berbaring di sisi Nayara. Ia tak menyentuhnya. Hanya menatap punggung mungil itu dalam diam, lalu perlahan memejamkan mata. Tapi tidur tak datang mudah malam itu.

Karena di antara mereka… ada rasa bersalah yang terlalu bising untuk diabaikan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!