Misteri kematian Revano yang tidak pernah meninggalkan jejak, membuat gadis penderita ASPD tertantang menguak kebenaran yang selama bertahun-tahun ditutupi sebagai kasus bunuh diri.
Samudra High School dan pertemuannya bersama Khalil, menyeret pria itu pada isi pikiran yang rumit. Perjalanan melawan ego, pergolakan batin, pertaruhan nyawa. Pada ruang gelap kebenaran, apakah penyamarannya akan terungkap sebelum misinya selesai?
Siapa dalang dibalik kematian Revano, pantaskah seseorang mencurigai satu sama lain atas tuduhan tidak berdasar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu
“Hai, boleh kenalan?”
Daripada menjawab, Aletha lebih memilih memasukkan bukunya ke dalam tas, dan meninggalkan tempat duduknya. Saat bel istirahat berbunyi lebih nyaring dari sekolah yang sebelumnya.
“Eh mau kemana! Gue Roona!”
Suara lantang itu dibalas tepukan cukup kencang di pundaknya. Menimbulkan kejutan singkat dari gadis yang baru saja mengaku kalau namanya Roona. Vanus mendegus, menggeleng singkat mendapati sahabatnya justru terlihat sok akrab dari biasanya. Dengan dalih, ‘kan dia murid baru, jadi harus kita temenin’, padahal menurut sepengelihatan Venus. Gadis itu terlihat seperti tidak ingin ditemani.
“Lo ngga takut apa?”
Roona mendongak, menatap punggung murid baru itu tanpa kecurigaan seperti yang dirasakan Venus. Lantas beranjak untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Venus. Pandangan mereka bertemu, saling mengintimidasi satu sama lain. Roona yang selalu penuh ambisi untuk bersosialisasi dan Venus yang hidupnya penuh dengan kewaspadaan.
Kalau Maroona selalu mengedepankan berbaur dengan semua orang dimuka bumi ini. Venus tidak, gadis itu memang lahir sebagai manusia yang mudah sekali curiga dengan orang lain. Bahkan untuk membangun kepercayaan dengan Venus pun begitu sulit bagi Maroona.
“Takut gimana?”
“Ya horror aja gitu kelihatannya, lo ngga ngerasa tadi pas dia masuk? Ruangan langsung kerasa banget dark-nya”
“Whatever, yuk ke kantin”
Dan dari pada menelaah manusia, Roona juga lebih suka mengajak sahabatnya makan bakso di kantin. Merangkulnya disepanjang lorong menuju tempat utama anak-anak Samudra High School. Menurut mereka, pelarian paling menyenangkan ya di sana. Karena sudah terlalu muak dengan pelajaran dan tuntutan orang tua demi nilai yang sempurna.
Aletha terdiam. Bersama sepoi angin yang menemaninya siang ini, menyapu anak rambut sampai berantakan. Sisa napas yang dia punya seakan tidak berharga jika digunakan hanya untuk diam. Cairan yang sempat mengering itu sekarang sudah diselimuti keramik, pohon mangga yang jadi saksi bisu sudah sisa badan bawah sampai akar. Gadis itu melangkah, duduk diantara kesunyian beralas badan pohon mangga. Sejenak memejamkan mata untuk mereka ulang adegan yang dia ingat. Atau hanya sekedar skenario yang dia buat-buat.
“Ngapain?”
Aletha membuka matanya, menatap dingin seorang pria yang bersandar pada dinding belakang kelas. Sejak kapan dia ada disana? Sejak kapan pria itu melihat kegilaan pertama Aletha? Sejak kapan ada orang yang berani menguntitnya?
“Sejuk juga ya?”
Bukannya menjawab, gadis itu hanya diam. Masih dengan tatapan yang sama saat sang lawan bicara ingin membentuk percakapan pertama mereka. Bagi Aletha ini hanyalah basa-basi, jadi apa pelu menjawab pembahasan yang tidak pelu?
“Gue Khalil, lo pasti ngga lihat gue sih, cuman kita satu kelas”
“Duduk di bangku kedua dari belakang, dekat jendela barisan meja guru”
Khalil tersenyum. Selain bisa dibilang menyeramkan, gadis itu ternyata lebih pengamat dari yang dia pikir. Khalil hanya menganggapnya sebagai siswi aneh yang suka belajar dan tidak banyak bicara. Tidak mempedulikan sekitarnya dan lebih memilih asik dengan isi kepalannya sendiri, tapi ternyata asumsinya salah.
“Pindahan dari mana?”
Aletha merasa, ini bukan pertanyaan yang perlu dijawab. Hanya saja, pria dengan picing serigala itu tidak mungkin datang hanya untuk menanyakan hal sepele.
“Mau ke kantin nggak?”
“Gue ngga butuh temen”
Dari senyum berubah tertawa. Suasana yang tiba-tiba memanas. Tepat saat tiga pria dengan minuman kaleng di tangan mereka datang. Bersamaan dengan kejut yang sedikit tidak bisa didefinisikan dengan baik. Dua diantara mereka memilih duduk pada bangku yang tak jauh dari kedua mansuia itu berdiri, sementara satu lainnya melempar sekaleng soda untuk Khalil.
“Oke kalau lo mau kita musuhan”