NovelToon NovelToon
Terpaksa Jadi Istri Kedua Demi Keturunan

Terpaksa Jadi Istri Kedua Demi Keturunan

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Ibu Pengganti / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:162.5k
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah Alfatih

Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.

Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.

Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.

Yuk, simak kisahnya di sini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24. Jika aku sempurna takkan ada istri yang mau dimadu.

Hujan turun semakin deras, membasahi jalanan dan tubuh mereka yang berdiri di bawah langit malam. Kilatan petir sesekali menyambar, membuat suasana makin mencekam.

Hana yang duduk di bangku halte dengan wajah pucat, tubuh gemetar, dan koper di sampingnya, kini dikelilingi oleh semua orang. Hansel menatapnya dengan pandangan campur aduk cemas sekaligus takut. Rayyan, berdiri tak jauh, masih dengan tatapan penuh luka. Dan tak lama kemudian, sebuah mobil lain berhenti di dekat mereka.

Dari dalam, Laudya keluar bersama Jamilah. Hujan mengguyur tubuh mereka, namun itu tak menghentikan langkah Laudya yang berlari kecil menghampiri Hana. Nafasnya terengah, rambutnya sebagian basah menempel di wajah.

“Hana … kenapa kamu pergi?!” suara Laudya pecah, langsung terdengar di tengah deru hujan. “Apa kamu … ingin membawa bayi itu pergi dariku?”

Hana mendongak, air matanya bercampur hujan. Wajahnya penuh luka, tapi matanya menatap tajam.

“Iya! Karena bayi ini milikku! Aku yang mengandungnya, aku yang merasakan sakitnya … aku nggak akan kasih siapa pun ... termasuk Nyonya Laudya atau Tuan Hansel untuk merenggutnya dariku!” Hana bangun dari tempat duduknya, wajahnya basah oleh air mata, kedua tangan mendekap perutnya yang buncit.

Laudya tertegun, Hatinya bagai dirobek, namun tatapannya berubah tajam, dingin, dan menusuk. Ia maju selangkah, lalu berjongkok di depan Hana. Tangannya bergetar, mencoba meraih jemari Hana.

“Jangan bilang begitu…” suaranya bergetar penuh permohonan. “Jangan pisahkan aku dari bayi ini. Aku … aku sangat menginginkannya…”

Hana menepis kasar tangan itu. Suaranya meninggi, penuh amarah bercampur tangis. “Kalau kamu ingin bayi, melahirkan saja sendiri! Jangan pakai rahimku untuk mewujudkan keinginanmu!”

"Hana!" teriak Jamilah dari berdiri sedikit jauh dari Hana. Perkataan Hana membuat udara malam membeku. Jamilah sontak kembali maju, wajahnya pucat karena takut mendengar kata-kata putrinya.

“Hana! Astaghfirullah, Nak … jangan bicara begitu! Kamu nggak tahu apa yang kamu katakan!”

Namun Hana tetap kukuh. Ia menggenggam perutnya yang besar, wajahnya penuh tekad. “Aku serius, Bu! Bayi ini anakku. Aku nggak peduli apa kata orang. Nggak ada yang bisa ambilnya dariku.”

Laudya jatuh terduduk di depan Hana, lalu perlahan menundukkan tubuhnya hingga bersujud di kaki Hana. Tangisnya pecah, suaranya serak di antara hujan yang semakin deras.

“Hana … tolong … jangan ambil dia dariku … aku mohon … aku cuma minta satu itu aja … aku mohon, Hana…”

Adegan itu membuat semua orang terpaku. Hansel merasa dadanya sesak melihat istrinya bersujud di depan Hana, namun ia juga tahu tak ada kata-kata yang bisa meredakan suasana. Rayyan hanya bisa menatap penuh kebingungan, tangannya mengepal, matanya panas melihat Hana diperebutkan dengan cara seperti itu.

“Hana!” Jamilah bersuara lantang, memarahi anaknya. “Kamu jangan keras kepala begini! Ingat posisi kamu, Nak. Ingat siapa yang kasih kamu tempat tinggal, siapa yang kasih kamu makan! Jangan bikin semuanya berantakan!”

Namun Hana sama sekali tak goyah. Air matanya jatuh, tapi suaranya tegas. “Aku nggak peduli! Aku akan pertahankan bayi ini … sampai kapan pun!”

Hansel maju, akhirnya tak tahan lagi melihat Laudya bersujud dalam hujan. Ia memegang lengan istrinya, mengangkatnya berdiri dengan hati-hati. “Laudya, sudah … jangan lakukan ini…”

Tapi Laudya justru menatapnya, matanya basah penuh luka. Bibirnya bergetar, sebelum akhirnya ia kembali menatap Hana dengan wajah memucat.

“Hana…” ucapnya dengan suara parau. “Kalau kamu kasih aku satu bayi ini … kamu masih bisa punya bayi lagi. Kamu masih bisa menikah dengan orang lain, kamu masih bisa hamil lagi … tapi aku…”

Ucapan itu terhenti, nafasnya memburu, dada naik turun. Semua mata tertuju padanya.

"Bahkan, Nyonya tak menginginkan aku bersama Tuan Hansel, bukan?" sela Hana, mata Jamilah melebar mendengar ucapan berani Hana. Kedua tangan Laudya terkepal di sisi tubuhnya.

“Aku nggak akan pernah bisa lagi…” lanjut, Laudya. Suasana langsung hening. Suara hujan terdengar semakin keras, menggantikan kebisuan yang melanda mereka. Laudya menarik nafas panjang, lalu melanjutkan dengan suara bergetar.

“Aku … nggak punya rahim lagi. Aku nggak bisa melahirkan … selamanya … Hana."

Seisi jalan terdiam membeku. Hansel terpaku, seperti dihantam benda keras di kepalanya. Rayyan menoleh cepat dengan wajah terkejut. Jamilah ternganga, tangannya refleks menutup mulutnya. Dan Hana tubuhnya lunglai, wajahnya pucat pasi. Dunia seakan berputar, suaranya tercekat. Ia menggenggam perutnya erat, hatinya remuk seketika.

Hujan masih menetes deras, namun suasana di bawah halte itu jauh lebih menyesakkan daripada derasnya langit malam. Semua orang terdiam, seolah menunggu kata-kata lanjutan dari Laudya. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan tangannya gemetar menggenggam erat dada yang terasa sesak.

Dengan suara bergetar, Laudya menatap Hana yang kembali terduduk lemah dengan koper di sampingnya.

“Kamu tahu kenapa aku nggak pernah mau punya anak dari dulu, Hana?” ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan. “Karena memang … aku nggak bisa.”

Mata semua orang melebar. Hansel, yang berdiri tepat di samping istrinya, menatapnya tak percaya.

“Laudya … apa maksudmu?”

Air mata mengalir deras di pipi Laudya, suaranya pecah.

“Aku kena kanker rahim, Hansel. Lima tahun aku menahannya … sejak awal menikah denganmu aku sudah tahu. Tapi aku menutupi semuanya. Karena aku tahu, kalau aku jujur dari awal … kamu nggak akan mau menikah sama Hana.”

Hansel seakan terhempas, kakinya gemetar, wajahnya pucat pasi.

“Waktu aku ikut project ke London, dokter memvonis penyakitku sudah memburuk.” Laudya melanjutkan dengan suara tercekat. “Aku … aku sudah nggak bisa diselamatkan, kecuali … rahimku diangkat. Dan waktu aku ke Tiongkok dua bulan lalu, aku akhirnya operasi itu. Sekarang … aku benar-benar nggak punya rahim lagi, Hansel.”

Isakan kecil lolos dari bibirnya. “Kamu pikir aku sombong, kamu pikir aku keras kepala … padahal semua itu cuma tameng. Aku nggak sanggup nunjukin betapa hancurnya aku … jadi aku bikin diriku terlihat kuat. Padahal … setiap malam aku nangisi diri sendiri.”

Hana tertegun, tubuhnya kaku. Suara Laudya menusuk jantungnya.

“Berbagi suami dengan wanita lain bukan hal mudah, Hana,” lanjut Laudya. “Sering kali aku pulang larut malam … sengaja lembur … biar aku nggak lihat kedekatan kalian. Karena aku tahu, aku nggak akan pernah bisa ikhlas melihat suamiku bersama wanita lain. Tapi demi seorang bayi … aku rela. Aku rela, meski setiap hari hatiku hancur berkeping.”

Tangisnya pecah makin keras, tubuhnya bergetar. Hansel mendekap wajahnya, dadanya terasa mau meledak. Semua kata-kata Laudya bagai pisau yang mengiris perlahan, menyayat tanpa henti.

Hana menunduk, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Kepalanya mendadak pusing, pandangannya berkunang, dan perutnya terasa ngilu.

“A-aku…” suaranya bergetar, tangannya refleks memegang perutnya yang kencang.

“Agrh, perutku ... sakit, Bu…”

Jamilah segera maju panik. “Hana!” serunya. Ia menopang tubuh putrinya yang mulai goyah. Lalu, dengan suara lirih tapi mantap, Jamilah menoleh pada semua orang. “Aku … aku sudah tahu penyakit Nyonya Laudya.”

Semua mata terarah padanya. Hansel mendekat, matanya penuh tanda tanya.

“Ibu … maksudnya?”

Jamilah menunduk. “Aku nggak sengaja lihat laporan medis Nyonya Laudya waktu beres-beres kamar kalian dulu. Waktu itu aku kaget, tapi aku nggak bisa bilang apa-apa. Justru karena itulah … aku setuju Hana jadi ibu pengganti. Kebaikan keluarga Malik sudah terlalu banyak pada kami, aku nggak bisa balas. Bahkan kalau nyawa anakku taruhannya.”

Air mata Jamilah jatuh, suaranya parau. “Hidupku dari dulu nggak pernah baik, aku membesarkan Hana sendirian. Tapi sejak ada keluarga Malik, aku bisa hidup tenang, ada atap, ada makanan … Jadi waktu diminta bantuan, aku nggak bisa menolak. Meski itu harus bikin anakku jadi korban.”

Rayyan, yang berdiri mematung sejak tadi, menggenggam erat kedua tangannya. Dadanya panas, namun kini matanya berkaca-kaca. Dulu ia pikir keluarga Malik hanya egois, mempermainkan hidup Hana demi keturunan. Tapi kenyataan ini menghantamnya seperti badai. Semua yang ia tuduhkan ternyata punya alasan yang jauh lebih dalam dan pahit.

Hana semakin meringis, tubuhnya berguncang menahan sakit di perutnya. Hansel tersentak, segera berjongkok di hadapan Hana, menggenggam tangannya. “Hana, bertahanlah … jangan stres … aku ada di sini…”

Laudya pun menatap Hana, tangisnya belum reda, namun ia mendekat dengan wajah penuh ketakutan.

“Hana … tolong jaga bayinya … tolong jangan biarkan aku kehilangan satu-satunya harapan ini…”

'Semuanya hanya menginginkan anak ini? Bagaimana dengan aku? Ini sakit ... sakit banget ... Bapak ... Hana rindu Bapak,' air matanya menetes semakin deras tapi tak ada suara lagi yang keluar dari mulut Hana selain kedua netranya menatap semua orang yang berdiri di depannya.

Rayyan, menatapnya dengan air mata yang perlahan menetes, sesekali pria itu menyekanya saat melihat Hana menatapnya dengan rasa sakit.

1
ken darsihk
Heeiii Laudya tau diri sedikit situ nggak punya harga diri yak , jelas jelas kesalahan bersumber dari diri mu sendiri , koq melampiaskan ke Hana dasar lo Laudya perempuan sun**l nggak punya akhlak 😠😠😠
A.M.G
lidi harus diaapain sih biar tobat
A.M.G
saatnya ketwaa 📢📢📢📢📢
A.M.G
tuh mulut lemes bener kek kunti
A.M.G
kapan sih lidi sadarnya hobi banget nyalahin orang lain jelas jelas itu karna dirinya sendiri🤧🤧🤧
A.M.G
good job 💜💜💜
A.M.G
ada apa dengan hana
A.M.G
duh geramnya
A.M.G
ayo fuqon saatnya membersihkan nama baik ibumu
A.M.G
semoga hana bisa mengambil hak nya
A.M.G
heh mak lampir yang harusnya intropeksi lu ya
A.M.G
roh halus sama manusia lidi saama sama playing viktim si daniel🤭🤭
A.M.G
dasar rubah klo pada akhir nya cerai kenapa kau pisahkan hana dengan anaknya
A.M.G
aduh smaa smaa rindu tapi gengsi semoga hana dan furqon bersatu yang lain terserah
A.M.G
untung ada pamannya... cie hana ngidam 💜💜💜💜
A.M.G
🫠🫠🫠🫠
Ddek Aish
sj jalang selalu nyalahin orang
Fitria Syafei
Wow emang enak Laudya 🤪 Kk cantik kereeen 😘😘
enungdedy
trus tujuannya ngajak hana ke acara keluarga tuh mksdnya gmn nyonya rohana? klo emg status hana disembunyikan ngapain di ajak kn cuma ank pembantu katamu
Rahma
ko ada y org ky laudya sm Bu Rohana pdhl mereka yg salah, mereka yg menyeret Hana k kehidupan yang rumit tp ko mereka yg nyalah2in Hana terus, pgin aq tembak tuh 2 org laudya sm bu Rohana
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!