Nayla Arensia hanyalah gadis biasa di kota Valmora hingga suatu malam, dua pria berpakaian hitam datang mengetuk pintunya. Mereka bukan polisi, bukan tamu. Mereka adalah utusan Adrian Valente, bos mafia paling kejam di kota itu.
Ayah Nayla kabur membawa hutang seratus ribu euro. Sebagai gantinya, Nayla harus tinggal di rumah sang mafia... sebagai jaminan.
Namun Adrian bukan pria biasa. Tatapannya dingin, kata-katanya tajam, dan masa lalunya gelap. Tapi jauh di balik dinginnya, tersembunyi luka yang belum sembuh dan Nayla perlahan menjadi kunci untuk membuka sisi manusiawinya.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari ancaman dan rasa takut?
Atau justru Nayla akan hancur sebelum sempat menyentuh hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bakwanmanis#23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Api yang Membakar Luka
Langit malam di atas Odessa tampak gelap dan muram, seperti menyerap murka yang mengendap di hati Nayla. Angin berhembus kencang dari Laut Hitam, membawa aroma asin dan dingin yang menusuk tulang. Di pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan gelap Timur, bayang-bayang berdiri tegang di bawah lampu remang yang bergetar pelan karena badai yang akan datang.
Nayla mengenakan jas hitam panjang dan sarung tangan kulit. Rambutnya diikat ketat ke belakang, wajahnya bersih dari riasan dingin, tenang, dan sangat berbeda dari Nayla yang dulu. Di sisinya berdiri Ivan dan beberapa tangan kanan kepercayaannya.
“Malam ini kita mulai,” ucap Nayla lirih tapi tajam, menatap bangunan gudang besar tempat salah satu sindikat yang dulu menghancurkan hidup Adrian bersembunyi.
Mereka adalah Black Harbor, jaringan perdagangan senjata dan manusia yang pernah bekerja sama dengan musuh lama Adrian, dan diam-diam ikut memburu pria itu hingga tewas. Nayla tahu, mereka bukan sekadar kaki tangan. Mereka adalah akar dari segala luka.
Satu isyarat dari Nayla, dan pasukannya menyebar. Sunyi. Terlatih.
Gudang itu tak lama kemudian berubah menjadi medan perang. Ledakan kecil menggetarkan tanah, dan suara tembakan menggema.
Namun Nayla tidak langsung masuk. Ia berdiri sejenak di luar, membiarkan kilatan api dan peluru menciptakan irama kehancuran.
"Ini untukmu, Adrian," bisiknya.
Dan ia pun melangkah masuk.
Tubuh-tubuh berserakan di lantai, suara rintihan dan teriakan panik menghiasi setiap sudut ruangan. Darah mengalir, tapi Nayla tak goyah. Di tengah semua itu, seorang pria gemuk dengan wajah pucat ketakutan diseret ke hadapannya.
Dia adalah Gavril Smirnov kepala logistik Black Harbor.
“Ka-kau siapa?!” teriaknya, napas memburu. “Apa maumu?!”
Nayla menunduk, menatap wajah pria itu dalam-dalam. “Kau tak mengenalku, tapi aku tahu siapa kau. Kau orang yang memberi tahu posisi Adrian dua minggu lalu, kan?”
“Tidak! Itu hanya perintah! Aku hanya perantara!” suaranya mulai histeris.
Nayla menunduk, lalu mengeluarkan sebilah belati kecil dari balik mantel. Tapi alih-alih menusuknya, ia hanya meletakkan ujungnya di meja baja di depan Gavril, lalu menatap matanya.
“Dengar baik-baik,” suaranya rendah tapi menusuk. “Aku bisa membunuhmu sekarang dan tidak akan menyesal. Tapi kematianmu takkan cukup.”
Ia mendekat. “Kau akan hidup, Gavril. Tapi mulai malam ini, kau akan kehilangan segalanya. Uangmu, jaringanmu, keluargamu… sampai tak ada lagi yang menyisakan namamu dalam sejarah dunia gelap ini.”
Gavril gemetar, mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar.
Nayla berdiri, memutar punggung. “Bakar tempat ini.”
Ivan melirik Nayla. “Kita tidak menyentuh dia?”
Nayla menatap tajam. “Hancurkan jaringannya lebih menyakitkan daripada kematiannya. Dia akan belajar bahwa yang paling menyiksa... adalah kehilangan satu per satu orang yang kau bangun selama puluhan tahun.”
Api mulai membakar sudut gudang, dan suara tangis serta amarah memantul dari dinding-dinding besi yang mulai runtuh. Nayla melangkah pergi, meninggalkan Gavril dalam ketakutan yang lebih kejam daripada peluru.
______
Malam itu, Nayla duduk sendiri di balkon suite-nya di Odessa. Di tangannya, segelas anggur merah bukan untuk bersulang, tapi sebagai penenang luka yang terus menari dalam benaknya.
Angin membawa bayang-bayang wajah Adrian. Senyum itu. Tatapan matanya saat terakhir kali ia berkata "Jangan ikuti aku."
Nayla menutup mata. “Aku tetap mengikutimu… sampai akhir, Adrian.”
Air mata perlahan mengalir di pipinya. Tapi bukan tangis kelemahan itu tangis cinta yang kehilangan, namun tak padam. Ia tahu jalan ini berdarah. Tapi ia juga tahu, tidak ada jalan kembali.
______
Beberapa hari setelahnya, Nayla menerima informasi dari informan rahasianya di Montenegro. Ada sebuah nama baru yang muncul dalam jaringan mafia pembunuh bayaran yang aktif The Gray Falcon. Nama itu dulu sempat dikaitkan dengan jaringan pembunuh yang sempat menghancurkan wilayah Adriatic dan salah satu klien terakhir mereka... adalah pencari buruan bernama Adrian.
“Aku akan menemukanmu,” gumam Nayla. “Kau yang memburu cinta sejatiku… maka sekarang, aku yang akan memburu kalian.”
Ia berdiri dari kursi. “Persiapkan penerbangan ke Kotor. Kita mulai dari sana.”