"Mas kamu sudah pulang?" tanya itu sudah menjadi hal wajib ketika lelaki itu pulang dari mengajar.
Senyum wanita itu tak tersambut. Lelaki yang disambutnya dengan senyum manis justru pergi melewatinya begitu saja.
"Mas, tadi..."
Ucapan wanita itu terhenti mendapati tatapan mata tajam suaminya.
"Demi Allah aku lelah dengan semua ini. Bisakah barang sejenak kamu dan Ilyas pulang kerumah Abah."
Dinar tertegun mendengar ucapan suaminya.
Bukankah selama ini pernikahan mereka baik-baik saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesempatan kedua.
Kiai Ahmad Sulaiman tidak lagi melanjutkan pertanyaannya tentang kriteria wanita Hassan. Cukup, beliau sudah sangat tahu perempuan seperti apa yang di inginkan putranya.
Banyak memang perempuan diluar sana. Hanya saja, Hassan tidak menginginkan mereka. Bahkan tak bisa sekedar membuatnya tertarik, apalagi membuatnya berdebar dan berbunga-bunga. Mereka semua tampak sama di mata Hassan. Cuma satu perempuan yang selama ini laki-laki itu inginkan. Seseorang yang bahkan tidak akan bisa ia gapai hingga akhir.
Hassan tidak pernah satu kali pun mendoakan Dinar untuk tidak bahagia.
Namun laki-laki itu berharap tidak pernah melihat dengan mata kepala sendiri, bila perlu seumur hidupnya saat Dinar bersama laki-laki lain.
Hassan merasa berjauhan dengan Dinar adalah yang terbaik. Untuk itu dulu ia memilih pergi, sebab takut dengan perasaannya yang semakin tak terkendali.
Tapi rupanya takdir ingin bermain dengan hidupnya. Hingga Hassan kembali ke rumah yang didalamnya ada Dinar.
Sangkanya, ia tak akan pernah bertemu Dinar. Karena menurut berita yang ia dengar, Dinar sudah menikah dan hidup bahagia bersama suaminya, bahkan sudah memiliki seorang jagoan.
********
Irham baru saja mengecek handphonenya, saat ada pemberitahuan dari tim pengacara tampak di layar benda persegi di genggamannya.
Pengacara keluarga Kiai Ahmad Sulaiman sudah mendaftarkan berkas perceraian ke pengadilan. Sekali lagi laki-laki itu tertegun.
Ia tak ingin, pernikahannya dengan Dinar benar-benar berakhir.
Dalam pesan tersebut, Irham juga di tunjukkan bukti transfer. Uang itu cukup untuk membeli rumah di kawasan elit di Jakarta.
Irham langsung meninggalkan kota kelahirannya setelah menerima pesan itu.
Sungguh, Irham tidak ingin benar-benar berpisah dengan Dinar.
Mobil yang dikendarai Irham membelah jalanan yang tampak lenggang, setelah memasuki kota dimana ia tinggali selama ini.
Saat melewati sebuah mini market, Irham hendak mampir membeli minum. Irham melotot karena melihat Ratih di sana. Bagaimana bisa ia di sana?
Irham melongo, apa ini maksudnya?
Tangan wanita itu di genggam oleh laki-laki yang menghajarnya hari itu.
Mata Irham terbuka lebar saat mereka menaiki mobil bersama dan hilang meninggalkan parkiran.
Sial, tak terbaca ekspresi dari Ratih karena dari samping wajahnya agak tertutup rambut. Hanya hidung mancung dan bibirnya saja yang terlihat jelas. Ia menghela nafas lalu menghembuskannya perlahan.
Mereka sungguh pulang bersama, menaiki mobil. Tapi, kenapa wanita itu tampak biasa? Atau Ratih sedang di ancam oleh laki-laki itu untuk bersikap selayaknya pasangan suami istri.
Karena melihat Ratih, Irham sampai lupa tujuannya mampir ke mini market.
Irham meraba perasaannya, sakit kah hatinya melihat tangan itu di genggam pria lain? Jawabannya enggak. Ia hanya terkejut. Berbeda ketika melihat Dinar yang tertawa bersama pria lain, sisi hatinya tidak terima, Irham nggak suka melihat istrinya dekat dengan pria lain.
Setetes air mata bening menetes perlahan. Membuatnya kian bertekad untuk berubah dan menjadi suami yang sempurna untuk Dinar.
Tanpa sadar Irham merogoh kantong sakunya, dan menghubungi nomor Dinar.
Lekas di angkat."Assalamualaikum, Mas?" Irham terkejut, ia tak menyangka Dinar menjawab teleponnya.
Hatinya menghangat mendengar lagi suara itu. Air mata kian mengucur, jika saja ia tak mengucapkan kata-kata menyakitkan itu, ia bisa kapan saja menemui istrinya. Tapi, nyatanya di balik sikap yang Irham kira manja tersimpan beban berat dalam menghadapi sikapnya selama ini.
"Rindu, Yank.." tak ada lanjutan. Hanya helaan nafas bahkan sedikit isakan.
Di sana Dinar mengigit bibirnya kuat-kuat. Hatinya bertanya menggapa Irham menangis?
Dinar sedang bermain ponsel saat tiba-tiba ada panggilan masuk, naluri wanita itu begitu peka ketika melihat panggilan dari suaminya, selama ini itu hal yang paling dinanti nya, lupa jika bahwasanya laki-laki di sana sudah menyakitinya begitu banyak.
"Tolong, Yank.. Aku nggak bisa pisah sama kamu, aku-aku...nggak mau," isakan Irham makin terdengar.
"Dinar. Mas salah, Mas minta maaf, Yank!!" Irham terus memohon, lupa kalau ia masih di parkiran mini market. Lupa jika tangisannya menarik simpati orang sekitar."Katakan pada Abah, Mas menyesal, tolong jangan ajukan gugatan cerai, Mas nggak mau pisah, Yank." Dinar menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia tak tahu jika Abahnya sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.
"Dinar..Demi Allah, tidak terjadi sesuatu diantara Mas dan Ratih, itu hanya kebetulan, dan Mas hanya berusaha melindunginya dari orang jahat. Dinar, tolong beri kesempatan Mas untuk menjelaskan semuanya. Sekali saja. Kamu harus dengar yang terjadi sebenarnya."
"Nanti, Dinar coba ngomong sama Abah, ya, Mas.."
"Dinar, sungguh, Mas minta sekali lagi kesempatan untuk mengatakan yang sebenarnya, katakan sama Abah dan Umi, wanita bernama Ratih itu hanya masa lalu Mas, tidak ada hubungan apapun saat ini. Demi Allah, Yank.. Hanya kamu dan Ilyas yang menjadi prioritas Mas, aku benar-benar nggak mau kita cerai."
Tidak ada jawaban dari sebrang sana. Hingga suara dingin Kiai Ahmad Sulaiman terdengar.
"Datang kerumah. Dan sampaikan kemauanmu."
Irham gelagapan. Sekaligus lega ayah mertuanya masih berbaik hati. Dengan terbata-bata Irham menyanggupi.
"Baik-baik, Abah. Irham ke sana sekarang."
Tak ada lagi pembicaraan, panggilan sudah di akhiri oleh Kiai Ahmad Sulaiman.
Irham tak lagi butuh minuman, bahkan saat panggilan berakhir ia baru sadar masih bersandar di pintu mobil.
Gegas Irham memacu kendaraannya, kali ini dengan dada bergemuruh karena senang. Irham akan membuktikan bahwa ia layak untuk Dinar. Ia janji untuk itu.
*******
Di kediaman Pak Kyai. Dinar sedang duduk bersama Abahnya.
"Abah benar-benar minta maaf, laki-laki yang Abah pilihkan untukmu tak seperti yang Abah harapkan. Tapi, rasanya sungguh tidak adil jika Abah tidak memberinya sekali kesempatan Dinar. Matamu tidak bisa berbohong, jika berjauhan dengan Abu Ilyas tak membuatmu bahagia."
Dinar menunduk tidak berani mengangkat kepalanya.
"Hassan tidak mau jika Abah memaksakan kehendak Abah sendiri dengan memisahkan kalian. Hassan bilang, seharusnya ada satu kali kesempatan untuk suamimu, biar bagaimanapun manusia punya khilaf," lanjut Pak Kiai, mengingat penuturan Hassan tadi.
Ah, putranya memang bijaksana. Sayang, Hassan menolak keras permintaannya untuk memimpin pesantren.
Mungkin karena jiwa mudanya masih berkobar, biarlah Pak Kiai Ahmad Sulaiman sedikit bersabar.
"Abi..." teriakan Ilyas membuat obrolan mereka terhenti.
"Temui, dia.. Katakan Abah masih kecewa dan belum ingin bertemu."
Dinar menurut. Meninggalkan Kiai Ahmad Sulaiman yang lebih dulu masuk ke dalam ruang tengah.
Ia lekas pergi ke ruang depan menemui sosok yang tadi menghubunginya lewat sambungan telepon.
Saat kakinya menginjak ruang tamu Dinar melihat Ilyas yang berada di gendongan Irham.
Umi Zalianty mendorong pelan punggung sang putri agar segera menemui suami tercinta.
Sementara Dinar masih terpaku di tempatnya berdiri sampai akhirnya Irham menyadari kehadirannya.
Irham melangkah mendekat membuat Dinar tersenyum canggung. "Yank.."
"Assalamualaikum, Mas." Dinar mengulurkan tangannya yang di sambut hangat oleh Irham.