Seorang pemuda lulusan kedokteran Harvard university berjuang untuk menjadi seorang tentara medis. Tujuan dari ia menjadi tentara adalah untuk menebus kesalahannya pada kekasihnya karena lalai dalam menyelamatkannya. Ia adalah Haris Khrisna Ayman. Pemuda yang sangat tampan, terampil dan cerdik. Dan setelah menempuh pendidikan militer hampir 2-3 tahun, akhirnya ia berhasil menjawab sebagai komandan pasukan terdepan di Kopaska. Suatu hari, ia bertugas di salah satu daerah terpencil. Ia melihat sosok yang sangat mirip dengan pujaan hatinya. Dan dari sanalah Haris bertekad untuk bersamanya kembali.
Baca selengkapnya di sini No plagiat‼️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Fantasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana pindah misi dan melamar sang kekasih
Setelah kepergian Minarsih, hari-hari Nahda terasa hampa. Kesepian menyelimuti, karena biasanya rumah selalu ramai dengan kehadiran Maknya. Meskipun begitu, Puput setia datang berkunjung, bahkan sesekali menginap untuk menemani sahabatnya itu.
Kini, tibalah hari ketujuh tahlilan. Ibu-ibu desa ramai membantu memasak untuk berkatan yang akan dibagikan setelah acara tahlilan usai. Terlihat Nahda dan Puput sedang berbincang santai sambil membantu memotong sayuran untuk acar.
"Han... beneran kamu bakal tinggal di kota? Hebat kamu, sebentar lagi bakal jadi orang kota," puji Puput, tak henti mengagumi.
"Aku juga enggak tahu, Put... Tapi, di sini juga aku sendirian... Aku juga pengen ketemu sama keluarga asliku," jawab Nahda lirih.
Puput memeluk tubuh Nahda erat. "Jangan lupakan aku ya, Han... Nanti kalau ada kesempatan kita kumpul lagi di kota, hihi."
"Hahhh, tinggal di kota?!" seru sebuah suara terkejut, yang ternyata tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Puput dan Nahda terdiam, kaget melihat seseorang di depan mereka.
"A' Amir??"
Nahda menghampiri Amir, diikuti Puput. Namun, Amir terus menatap tajam ke arah Nahda. "Beneran kamu mau ke kota?"
Keduanya mendadak gugup. Puput berusaha mengalihkan pembicaraan Amir tentang rencana Nahda ke kota. "Eummm... A' Amir ada apa datang kemari?"
Seketika raut wajah Amir terlihat lebih tenang. "Maaf ya, Han, aku baru datang kemari... Turut berdukacita atas meninggalnya Mak... Ini ada uang sedikit untuk bantu-bantu ya... Jangan ditolak."
Mereka berdua terkejut saat Amir memberikan amplop cokelat berisi uang. "Makasih ya, A' Amir... Maaf merepotkan..."
"Tidak apa-apa..."
"Mau duduk dulu, A'?"
"Boleh."
"Sebentar aku buatkan kopi dulu ya." Nahda kembali masuk ke dalam untuk membuatkan kopi. Ia merasa tidak enak jika tamu datang tidak dilayani.
"Nih, A'... kopinya."
"Makasih... Eum... ngomong-ngomong, kamu mau ke kota? Sama siapa?" Amir kembali mengungkit pembicaraan sebelumnya. Puput sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah karena potongan sayur sudah selesai. Alhasil, hanya Nahda sendiri yang berbicara dengan Amir. Dengan mengangguk pelan, Nahda terus terang padanya.
"Iya, A'... Nanti aku bakal ke kota sama Haris."
Amir baru paham. Wanita di depannya ini bukanlah wanita lajang seutuhnya, melainkan kekasih orang lain yang telah lama menghilang. "Ohh... Kamu sudah jadian ya sama Pak Haris? Aku keduluan dong, hehehe."
Bukannya senang, justru Nahda kembali merasa tidak enak. "Maaf."
"Tidak apa-apa... Lagipula aku sudah ikhlas kok. Betul kata kamu, perasaan seseorang tidak dapat dipaksakan oleh siapa pun... dan ya, kamu berhak memilih cinta kamu sendiri. Lagipula, kita masih berteman kan?"
Nahda terperangah mendengar jawaban dari Amir barusan. Wajah bahagianya terpancar di sana. Rasa bersalah pada Amir kian berkurang. Dengan cepat ia mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya. "Teman."
Mereka berbincang sebentar seputar kehidupan di sana. Setelah berselang satu jam, Amir memutuskan untuk pulang dikarenakan ada urusan yang harus ia selesaikan.
"Aku pulang dulu ya, Han... Kalau butuh apa-apa jangan sungkan sama aku."
"Iya, A'... Makasih sudah mampir ke sini, Padahal aku tahu A'A' sibuk."
"Iya, enggak apa-apa... Aku permisi ya."
Nahda terus menatap kepergian Amir dengan senyuman manis di wajahnya.
"Pantengin aja terus sampai mampus!" ujar sebuah suara tegas, menunjukkan ketidaksukaan.
Nahda tersadar, langsung menoleh ke arah sumber suara, dan ternyata di sana adalah Haris yang memandanginya dengan tatapan tidak suka. "Haris?" lirihnya.
"Iya... Suka banget ya ngobrol sama mantan sambil senyum-senyum segala."
"Apa maksud kamu?"
"Kamu suka kan berhubungan lagi sama si Amir-Amir itu... Ya sudah, balik aja sana..."
Bukannya takut, justru Nahda tersenyum geli karena tingkah pria dewasa tersebut. Ia perlahan mendekati Haris yang sedang merajuk.
"Kamu marah sama aku?"
Haris menatap sebal pada gadis itu. "Menurut kamu?"
Nahda menghela napas panjang. "Jangan marah... Amir ke sini buat ngasih sumbangan, Sudah gitu doang."
"Tapi sambil ngobrol terus senyum-senyum lagi, terus itu lagi dibuatin kopi, Aku enggak suka." omel Haris, yang benar-benar tidak suka jika yang seharusnya ia dapatkan malah didapatkan orang lain.
Lagi-lagi Nahda tersenyum geli. "Kamu cemburu sama dia?"
"Ngapain aku cemburu sama dia? Enggak ada kerjaan."
Terlihat senyum smrik di wajah gadis itu, "Bener nih? Ya sudah, aku ke tempat dia saja deh."
"Jangan coba-coba!!"
Nahda terus tertawa akan sikap Haris padanya. Entah kenapa pria itu terlihat sangat lucu sekali. Ia jarang melihat Haris bersikap seperti ini.
"Lagian ngapain cemburu sama A' Amir, Aku sama dia enggak ada hubungan apa-apa."
Haris menatap aneh gadisnya itu. "Apa? A'A'? Kamu manggil dia A'A'?"
"Iya," ujarnya enteng.
Haris mendengus kesal. "Ngapain kamu manggil dia A'A'? Sama aku saja panggil nama doang." Haris merajuk.
"Tapi kan dia lebih tua dari aku..."
"Aku sama dia itu sama, Seharusnya panggilan itu buat aku dong!"
"Emang kamu mau dipanggil A'A'?"
Haris terdiam sejenak dan menatap tajam kekasihnya itu. "Sebenarnya gue pengen sih... Tapi kalau dipanggil itu mirip dong sama Amir, Gue enggak mau," batin Haris.
"Terus gimana?" tanya Nahda kembali.
"Ekhemm... Kamu cukup panggil aku sayang ya," ujarnya kembali genit sembari menaik-turunkan alisnya.
Nahda yang sedikit kesal memukul pelan bahu kekarnya itu. "Ish... kebiasaan," ujarnya sembari terkekeh.
"Aduh... sakit sayang," ujarnya dibuat-buat.
"Enggak usah lebay., Kamu enggak kerja? Ngapain di sini?"
"Aku cuma mau memastikan pacarku yang cantik ini baik-baik saja," ujarnya sembari menuil hidung mancung gadis itu.
"Ish, kirain apa. Kerja yang benar ya, Jangan bolos-bolos terus..."
"Siap, Ratuku. Kalau gitu aku pergi dulu ya, Eh iya..."
Haris kembali berbalik dan mulai mengecup keningnya. "Kelupaan... Bye, hahaha."
Nahda hanya menggeleng sembari tersenyum ke arah kepergian Haris. Ketika Haris sudah menghilang dari pandangan, ia pun kembali memasuki rumah dan mulai membantu ibu-ibu untuk memasak makanan yang akan dibagikan saat tahlilan terakhir.
***
Sekarang, kumpulan tentara tengah dipersiapkan untuk mengunjungi desa sebelah. Mereka akan memberikan edukasi kesehatan serta mengecek warga sekitar agar tidak tertular penyakit berbahaya. Kini mereka sedang berada di ruangan di mana para petinggi mengumumkan dan sedikit memberikan arahan kepada mereka agar tidak salah lokasi dan bekerja semestinya.
Webinar itu telah selesai, semua tentara bubar dan mulai berkumpul di tempat masing-masing. Tapi Haris justru menjauh dari mereka semua. Ia melihat ke layar ponselnya, seorang wanita cantik yang tengah tersenyum ke arah kamera.
"Sebentar lagi, aku akan bawa kamu pulang... Kamu bisa bertemu dengan adikmu, sahabat-sahabat kecilmu..." batin Haris. Tanpa sadar, senyum tipis terlihat di bibirnya.
"Yang lagi bucin... senyum teroosss!!"
Haris menatap kesal pada pria tersebut. Siapa lagi kalau bukan Fahri. Ia duduk di samping Haris dan merampas ponselnya.
"Cieileeehhh... Sampai di foto gini."
"CK... Balikin ponsel gue!"
"Tapi ngomong-ngomong dia cakep banget ya, Padahal kalau gue lihat dia enggak makeup loh. Cantiknya alami," puji Fahri turut mengomentari fisik dari gadis yang ada di ponsel Haris.
Haris yang kesal merebut ponselnya kembali. "Iya dong, Cewek gue gituloh... Mending lu cari cewek sana, biar enggak ganggu gue melulu."
"Yeuuhh si bos... Iya deh yang sudah enggak jomblo. Dulu mah boro-boro tuh bibir bisa senyum, Wajah aja ditekuk melulu kayak orang akhir bulan, hahahaha," ejek Fahri.
"Berisik lu!"
Tiba-tiba ada seorang panglima yang menghampiri mereka. Seketika sikap hormat Haris dan Fahri muncul.
"Pak Haris... bisa kita bicara?"
"Bisa, Pak."
"Mari..."
Haris berpamitan pada Fahri dan pergi mengikuti langkah panglima tersebut.
"Pak Haris... gimana perkembangan desa yang kamu pegang?" tanya panglima.
"Semuanya lancar, Pak... Bahkan klinik di sana sudah tersebar. Semua masyarakatnya juga sehat semua, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Berarti hampir 100% ya?"
"Benar, Pak..."
"Tapi apa kamu siap dipindahkan ke desa lain bersama dengan kelompokmu? Di sana ada desa yang sangat terbengkalai. Bahkan lebih parah dari desa yang kamu tangani saat ini. Saya mau kamu menangani bagian yang di sana selama dua sampai tiga bulan ya?"
Haris terdiam sejenak. Pasalnya, ia tidak menduga jika dirinya akan dipindah tugaskan lagi ke desa lain. Padahal di sini ia tidak ingin pergi dikarenakan ada kekasihnya.
"Gimana, Pak Haris?"
"Eum, Pak... Gimana kalau misal saya menolak usulan Bapak?"
Panglima tersebut menghela napasnya. "Saya sangat membutuhkan kinerja Pak Haris... Saya sangat berharap Pak Haris tidak menolak usulan saya ini... Karena, hanya tim di bawah bimbingan Pak Haris lah yang bisa cepat dalam bekerja."
"Oh, begitu... Tapi, saya pikir-pikir dulu ya, Pak... Soalnya saya juga enggak mungkin ninggalin tugas saya di sini begitu saja... Saya juga harus pamit sama kepala desa setempat."
"Baiklah kalau begitu... Saya tunggu ya... Saya permisi dulu ya, Pak Haris."
"Iya, Pak, silakan."
Panglima tersebut telah pergi meninggalkan Haris seorang diri. Ia pun menghela napas beratnya dan pergi ke tempat semula. Di sana sedang ada Fahri yang menunggunya sembari memainkan ponselnya.
"Kenapa lu? Lu lesu banget? Apa tadi yang diomongin panglima sama lu?"
Lagi-lagi Haris menghela napas panjang. "Kita semua bakal dipindah tugaskan ke desa lain."
"Loh kok gitu?"
"Iya... Gue bingung... Gimana gue bilang ke Nahda kalau gue bakal pergi selama itu? Bisa-bisa nanti si Amir itu gebet dia lagi."
Mendengar itu, Fahri tertawa. Bukan soal pekerjaan yang ia pusingkan, melainkan karena wanita.
"Hahaha, takut banget dia kena gebet sama si Amir itu."
Haris mendengus kesal. "Gimana enggak takut, anjir... Si Amir itu walaupun enggak ada apa-apanya dibanding gue, dia lumayan terpandang di sana... Apalagi tu orang juga suka sama cewek gue... Kesal enggak lu?"
"Sudah-sudah... Mending lu pikir soal misi kita ini. Semua tergantung lu, Bro..."
"Heuhhh... Gue bicarakan dulu sama dia deh,"
"Oke, Gue ke sana dulu ya."
Setelah Fahri pergi, Haris seorang diri masih memikirkan misi yang akan ia jalani selanjutnya. Ia sangat kesal sekali. Mungkin jika ia masih sendiri, tidak akan menolak. Pasalnya sekarang Nahda sudah ketemu, tidak mungkin ia tinggal sendirian.
***
Setelah pulang, Haris tidak langsung kembali ke bilik. Ia datang malam-malam dengan pakaian APD lengkap, menghampiri kekasihnya itu. Dirinya sedang galau sekarang, butuh sedikit pencerahan. terlihat suasana rumah yang nampak sepi. Sepertinya acara tahlilan sudah selesai dilaksanakan. Haris tak sempat mengikuti tahlilan terakhir ini. Ia segera menghampiri rumah itu dan mengetuk pintunya.
"Assalamu'alaikum."
Tak lama kemudian, terdengar suara orang yang menjawab salamnya. "Waalaikumussalam... Eh... kamu, Ayo masuk."
Haris pun tersenyum lantas mulai masuk ke rumah yang sepi itu.
"Eum, Puput tidak menginap di sini?"
"Tidak... Dia sudah berhari-hari menginap di sini, Jadi hari ini dia pulang ke rumahnya."
"Oh, begitu..."
"Sebentar ya, aku buatkan kopi."
Haris mengangguk dan menunggu Nahda menyiapkan kopinya. Tak berselang lama, Nahda muncul kembali dengan membawa secangkir kopi.
"Kamu kelihatan capek gitu... Ada masalah ya?"
Haris menghela napasnya dan tiba-tiba ia memeluk tubuh gadisnya itu. "Aku mohon sebentar saja," lirihnya.
Lalu Haris pun melepaskan pelukannya dan menatap sendu pada wanita di depannya ini.
"Aku ada misi lagi di desa sebelah, dan itu membutuhkan waktu yang lama, sekitar dua bulan lebih..."
"Terus? Kamu kan masih bisa ke sini."
Haris menggeleng. "Enggak bisa... Aku enggak bisa ke mana-mana selama misi berlangsung."
Seketika Nahda pun terdiam. "Jadi..."
"Jadi mau enggak mau aku harus ninggalin kamu untuk sementara waktu... Aku juga bingung... Aku mau nolak misi itu karena aku enggak mau kamu sendirian... Tapi—"
Haris merasakan pipinya dielus lembut oleh tangan cantik gadis di depannya ini.
"Kamu menolak misi ini karena aku? Aku tahu kok seorang tentara itu harus patuh sama misi... Aku juga enggak melarang kamu untuk pergi... Lagipula, misi yang kamu lakukan untuk kebaikan sesama kan? Jadi untuk apa berpikir lagi... Kalau urusan aku sendirian, itu enggak masalah... Yang penting kamu kembali lagi ke sini... jemput aku."
Haris menangkup wajah mungil gadisnya itu. "Makasih sudah mau mengerti keadaanku... Walaupun aku tidak tega ninggalin kamu, tapi aku janji, aku akan kembali ke sini dan membawa pulang kamu ke kota setelah misiku selesai," tegasnya.
Nahda tersenyum lebar setelah mendengar kalimat tegas dari pria itu. "Ini baru sikap komandan sesungguhnya."
"Diminum kopinya... Nanti dingin... Jangan sedih lagi ya."
Entah kenapa Haris jadi lebih tenang. Ia akan menerima misi tersebut untuk mempercepat waktunya pulang. Ia tak sabar ingin membawa Nahda kembali ke kota bersamanya.
Lalu ada satu hal yang Haris ingin ucapkan sebelumnya.
"Sayang... aku mau ngomong serius sama kamu."
"Apa?"
"Menikahlah denganku," tegasnya.