NovelToon NovelToon
Aji Toba

Aji Toba

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Misteri / Epik Petualangan / Horror Thriller-Horror / TimeTravel / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:232
Nilai: 5
Nama Author: IG @nuellubis

Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.

Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.

Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.

Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pelayaran ke Tumasek

Datang lagi. Lubang hitam itu datang lagi. Kembali mengisap Aji. Mengisap Aji saat ia sedang bersemedi di bawah aliran air terjun. Aji pun terlempar hingga ke era lain. Belum apa-apa ia tiba di atas kapal itu lagi. Kapal itu merupakan bagian dari ekspedisi Kerajaan Majapahit dalam rangka menaklukkan wilayah-wilayah di sekitar Yawadwipa.

Salah seorang kru kapal, yang bernama Slamet, tersenyum memandang Aji. Ujarnya sambil menepuk bahu Aji, "Akhirnya kau kembali ke sini, Aji."

Aji masih terperangah. Ia hanya berkata, "Kapal ini mau ke mana?"

"Dalam pelayaran menuju Tumasek," jawab Slamet, menunjuk ke arah Tumasek berada.

Sementara Aji melihat ke sisi satunya lagi. Ia teringat dengan Sari, Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, hingga Jaka Kerub. Ia masih mengkhawatirkan Sari, adik bungsunya tersebut.

"Apa yang kau pikirkan, Aji?" tanya Slamet.

“Apa yang kau pikirkan, Aji?” tanya Slamet sekali lagi, suaranya tenggelam oleh deru ombak yang memukul lambung kapal.

Aji mengedarkan pandangannya. Tiang layar menjulang, kain layar menggelembung oleh angin laut, dan bau asin bercampur ter yang mengering menusuk hidungnya. Semuanya terasa nyata. Bahkan, itu terlalu nyata untuk sekadar penglihatan. Ia menelan ludah. Di dadanya, rasa cemas beradu dengan kewaspadaan yang baru saja diasah Jaka Kerub di bawah air terjun.

“Aku… meninggalkan sesuatu,” jawab Aji akhirnya. “Atau seseorang.”

Slamet mengangguk, seolah mengerti tanpa perlu penjelasan. “Di laut, orang sering meninggalkan banyak hal. Tapi laut juga suka mengembalikan, jika waktunya tepat.”

Kata-kata itu menggetarkan sesuatu di benak Aji. Waktunya tepat. Jaka Kerub pernah mengatakan hal serupa. Bahwa waktu bukan garis lurus, melainkan lingkaran-lingkaran yang saling bertaut. Aji menutup mata sejenak, merasakan sisa dingin air terjun di kulitnya, mencoba menenangkan napas. Lubang hitam itu tidak datang karena panik, Jaka Kerub pernah mengingatkan, melainkan karena resonansi batin.

“Tumasek,” gumam Aji. “Mengapa Majapahit mengirim kapal hingga sejauh itu?”

Slamet tersenyum tipis. “Demi perdagangan, juga untuk persekutuan, lalu ada pesan mulia. Ada wilayah yang tidak ditaklukkan dengan pedang, tapi dengan janji.”

Lalu Slamet menunjuk buritan, tempat seorang perwira berdiri mengawasi arah. “Kami membawa utusan dan tanda kebesaran. Tapi laut selalu punya rencananya sendiri.”

Seorang prajurit lain mendekat, membawa kendi air. “Minum. Angin timur keras hari ini.”

Aji menerima kendi itu, minum secukupnya. Airnya hangat, tapi menenangkan.

Di kejauhan, garis pantai samar-samar terlihat seperti bayang-bayang. Aji memusatkan perhatian, mencoba merasakan aliran energi yang pernah diajarkan Jaka Kerub. Ia meraba-raba denyut halus di nadi, di antara alis, di pusat dada. Ada tarikan, dan itu bukan lubang hitam, melainkan arah. Seperti kompas batin yang menunjuk ke utara-barat laut.

“Tumasek bukan tujuan akhirnya,” kata Aji pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Slamet menaikkan alis. “Kau yakin?”

“Aku… merasakannya.” Aji membuka mata. “Ada simpul di luar jalur pelayaran ini. Di sana, seseorang menunggu. Dan ada keputusan yang harus kuambil.”

Angin tiba-tiba berputar. Layar berderak, tali-temali menegang. Perwira di buritan memberi aba-aba. Kapal sedikit oleng, lalu stabil. Beberapa awak berteriak kecil, namun cepat kembali bekerja. Slamet menepuk bahu Aji lagi. “Kau punya firasat yang kuat. Kadang firasat itu bisa menyelamatkan kapal.”

Menjelang senja, langit memerah. Aji duduk di tepi geladak, memandang matahari turun. Bayangan Sari melintas. Entah itu wajahnya, suaranya, hingga ketakutan yang sempat ia rasakan dalam semedi. Aji mengepalkan tangan. Aku akan kembali. Janji itu ia ulang dalam hati, berusaha menanamkannya lebih dalam daripada rasa bersalah.

Malam datang bersama bintang-bintang. Seorang tetua pelayaran, yang berjanggut putih, dan bernama Wira, menghampiri Aji.

“Kau sepertinya bukan pelaut,” katanya tanpa basa-basi. “Langkahmu seperti orang yang baru turun dari gunung.”

Aji tersenyum kecil. “Aku belajar dari banyak tempat.”

Wira duduk di sampingnya. “Ada malam-malam tertentu di laut ini, ketika batas menipis. Orang-orang dari masa lalu dan masa depan saling bersilang. Jika kau mendengar panggilan, jangan dijawab dengan ketakutan. Jawab dengan tujuan.”

Kata-kata itu membuat Aji menegakkan punggung. “Jika aku perlu turun dari kapal?”

“Jika tujuanmu lebih kuat daripada arus,” jawab Wira. “Arus akan membuka jalan.”

Tengah malam, angin melembut. Kapal meluncur tenang. Aji berdiri, memusatkan diri. Ia mengingat latihan di bawah air terjun, yang coba menahan napas, membiarkan air menghantam, tapi ia tetap tegak. Ia membiarkan suara laut menyatu dengan detak jantungnya. Perlahan, dunia di sekitarnya terasa mengembang, lalu menyempit.

Ada getaran, yang halus, tapi itu bukan isapan kasar. Aji membuka mata. Di sisi kanan kapal, air laut berkilau aneh, seperti cermin yang berdenyut. Beberapa awak melihatnya dan terdiam. Slamet mendekat, suaranya berbisik. “Apa yang terjadi?”

“Persimpangan,” jawab Aji. “Aku tidak akan lama.”

Slamet menatapnya lekat-lekat, lalu mengangguk. “Kami akan menahan arah. Kembalilah jika bisa.”

Aji melangkah ke tepi. Sebelum melompat, ia menoleh. “Jika kalian sampai Tumasek, ingatlah bahwa persekutuan dibangun oleh orang-orang yang tegar hati.”

Kemudian, ia melangkah ke dalam kilau itu. Tidak ada rasa jatuh. Hanya dingin yang menyelimuti, lalu keheningan. Dalam keheningan itu, Aji merasakan dua tarikan sekaligus: satu menuju Samosir, ke Jaka Kerub dan latihan yang belum tuntas. Satunya lagi ke pesisir, ke jejak Sari dan bayang-bayang pengadilan malam. Tampaknya ia memilih yang kedua.

Dunia menyala kembali. Bau tanah basah, suara serangga malam, dan desir ombak jauh menyambutnya. Aji berdiri di tepi hutan pantai, bulan separuh menggantung. Di pasir, ada jejak kaki yang baru. Aji menghela napas, mengingat nasihat Wira dan Jaka Kerub.

Mengingat tujuannya lagi, ia coba berani untuk melangkah. Demi mengikuti jejak, bukan dengan tergesa, melainkan dengan keyakinan. Di kejauhan, cahaya obor bergerak. Aji menunduk, menyelaraskan napas, membiarkan energi mengalir tenang. Ia tahu perjalanan ini belum selesai. Lubang hitam mungkin datang lagi. Kapal mungkin menunggu di waktu lain. Namun malam ini, di antara hutan dan laut, Aji akhirnya melangkah dengan arah yang jelas.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!