Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Sore itu, paviliun belakang rumah mewah keluarga Sadewo disinari cahaya keemasan matahari yang hendak beranjak pergi. Suasana yang biasanya menjadi medan pertempuran akademis antara guru dan murid, kini berubah menjadi ruang yang dipenuhi kehangatan samar. Buku-buku statistik masih terhampar di atas meja kayu jati, namun dinamika di antara Rayyan dan Jessy telah berubah total.
Jessy, yang biasanya menggangu dengan keluhan dan ocehan, kini justru duduk terlalu dekat dengan Rayyan. Bahu mereka hampir bersentuhan, dan setiap kali Rayyan menunjuk sesuatu di buku, aroma parfum Jessy yang lembut menyapa indranya, mengganggu konsentrasinya dengan cara yang sama sekali tidak dia benci.
"Kamu udah ngerti belum, Jes? Yang ini," ujar Rayyan, menunjuk sebuah rumus korelasi di buku teks, berusaha keras untuk tetap fokus pada peran resminya sebagai pengajar. Suaranya terdapat sedikit getar, yang hanya akan ditangkap oleh telinga yang sangat memperhatikan.
Jessy mendekatkan wajahnya, matanya berbinar nakal. "Aku masih nggak paham, sayang," keluhnya dengan suara manja yang dibuat-buat, sambil tak sengaja (atau sengaja) menyentuh tangan Rayyan dengan ujung jarinya. "Ulang dong."
Rayyan menghela napas, mencoba menutupi kepanikannya yang tiba-tiba. "Jes, serius dong," keluhnya, tetapi matanya tak mampu berpaling dari sorot mata Jessy yang menggoda.
"Seserius perasaan aku sama kamu?" Jessy membalas, iseng. Tanpa peringatan, tangan mungilnya yang terawat naik dan dengan lembut membelai pipi Rayyan.
Sentuhan itu seperti kejutan listrik ringan. Rayyan membeku, matanya membelalak sedikit. Darah berdesir cepat di bawah kulitnya. Di satu sisi, dia menikmati keintiman ini, kelembutan yang ditunjukkan Jessy. Di sisi lain, sebuah alarm berbunyi keras di kepalanya. Bahaya. Siapa saja bisa melihat.
Dia dengan cepat menoleh, matanya menyapu sekeliling paviliun yang sepi. Tampak aman. Tapi dia tidak melihat sepasang mata kecil yang mengintip dari balik jendela kaca besar yang menghubungkan paviliun dengan rumah utama.
Gio, sang adik, berdiri di sana dengan ekspresi penuh kemenangan. Dia telah mengamati mereka selama beberapa menit. Kedekatan yang tidak wajar, sentuhan-sentuhan halus, dan raut wajah kakaknya yang biasanya galak tapi kini terlihat... lembut. Semuanya terlalu mencurigakan.
Lalu, saat Jessy membelai pipi Rayyan, Gio tidak bisa menahan diri lagi. Dia melompat keluar dari persembunyiannya.
"Kalian pacaran, ya!" serunya, suara remajanya yang baru gede menggema di keheningan paviliun, memecahkan gelembung romantis mereka dengan keras.
Efeknya langsung terlihat. Rayyan tersentak keras, menjauh dari Jessy seolah tersengat listrik. Wajahnya yang biasanya dingin sekarang dipenuhi kepanikan yang nyata. Dia berdiri, tangan gemetar, mencoba mencari kata-kata tapi tidak berhasil. "Gio, ini... ini bukan—"
Tapi Jessy langsung bereaksi. Murka. Wajahnya yang cantik memerah, kali ini bukan karena malu, tapi karena amarah karena rahasia mereka yang paling berharga terbongkar oleh si "bocil" yang usil.
"Heh, bocil! Ganggu aja lo!" hardiknya, bangkit dari kursinya dengan sikap agresif. "Pergi sana!"
Gio, bukannya takut, malah semakin bersemangat melihat reaksi mereka. Dia menyeringai lebar, menikmati kekacauan yang dia ciptakan. "Aku aduin Papi ya..." godanya, sengaja memancing amarah kakaknya.
Itu adalah ancaman yang tidak bisa ditolerir Jessy. Tanpa pikir panjang, dalam gerakan yang ceroboh dan penuh emosi, dia membungkuk, melepaskan salah satu sandalnya, dan melemparkannya ke arah Gio dengan kekuatan penuh.
"RESE LO YA!" teriaknya.
Gio, dengan kelincahan khas anak muda, berhasil menghindar dan langsung berbalik dan berlari sekencang-kencangnya menuju rumah, tertawa terbahak-bahak sambil berteriak, "AKU BILANGIN PAPI! AKU BILANGIN MAMI!"
Paviliun yang hangat tiba-tara menjadi sunyi, hanya diisi oleh napas tersengal Jessy dan detak jantung Rayyan yang masih berdebar kencang. Sandal Jessy tergeletak di lantai, sebuah simbol dari ledakan emosi yang bisa jadi menghancurkan tembok rahasia yang dengan susah payah mereka bangun. Rayyan menatap Jessy, wajahnya dipenuhi kecemasan yang dalam. Rahasia mereka yang paling berharga kini berada di ujung tanduk, di tangan seorang adik yang usil.
***
Ruang makan keluarga Sadewo tenggelam dalam kemewahan dan keheningan yang tegang. Kristal goblet berisi air mineral impor berdesing pelan, sendok perak menyentuh piring porselen, namun di balik rutinitas makan malam yang elegan itu, pertempuran mata sedang berlangsung. Jessy menatap Gio dengan pandangan yang bisa membunuh, sementara sang adik dengan santainya menyunggingkan senyum menantang.
"Awas lo ya!" desis Jessy pelan, suaranya seperti pisau yang dihunus.
Gio tak gentar. Malah, dengan ekspresi paling jahil yang bisa dia buat, dia memecah kesunyian. "Ada yang baru jadian nih," serunya tiba-tiba, membuat sendok di tangan Lina berhenti bergerak.
"Siapa?" tanya Lina, ibu mereka, dengan nada penasaran yang polos.
Jessy semakin melotot, matanya menyala-nyala bagai bara. Tapi Gio sudah tak bisa dihentikan.
"Tuh, kak Jessy sama mas Rayyan," ujar Gio santai, seolah sedang membicarakan cuaca.
Taak...!
Sebuah sendok perak beterbangan dari tangan Jessy dan mendarat dengan suara nyaring di lantai marmer dekat kaki Gio.
"Nggak kena! Weeek..." Gio mengejek dengan wajah jahil, menjulurkan lidah.
Jessy langsung melonjak dari kursinya, wajahnya merah padam oleh amarah dan malu. Namun, sebelum dia bisa menerkam adiknya, suara berat dan penuh wibawa sang ayah memotong gerakannya.
"Beneran kamu sama Rayyan?" tanya Adi Sadewo. Suaranya tenang, namun mengandung berat yang membuat seluruh ruangan terasa lebih sempit.
Jessy terdiam membatu. Mulutnya terkunci. Dadanya naik turun, menahan gejolak antara ingin mengaku dan takut akan konsekuensinya.
"Papi nggak masalah kalau kamu sekarang deket sama Rayyan," ujar Adi, memecahkan kebekuan. Dia meletakkan serbetnya dengan perlahan. "Dia anak berprestasi, masa depannya cerah." Matanya yang tajam menatap putri semata wayangnya. "Tapi kamu perlu tau, Jes. Cinta aja nggak cukup untuk hidup."
"Dia kan masih kuliah, Pih," bantah Jessy, suaranya sedikit bergetar mencoba membela. "Dia masih punya banyak waktu buat berkembang."
"Jadi kamu beneran pacaran sama Rayyan?" sergah Adi sekali lagi, menuntut pengakuan yang jelas.
Ruangan kembali sunyi. Hanya dengung AC sentral yang terdengar. Jessy menunduk, menatap sisa makanan di piringnya, berusaha mengumpulkan keberanian. Pengakuan itu tertahan di ujung lidahnya.
Melihat kegelisahan putrinya, Adi akhirnya melanjutkan dengan nada yang lebih lembut. "Papi suka kok sama Rayyan. Dia punya integritas dan kecerdasan yang jarang." Dia berhenti sejenak, memilih kata-katanya. "Yang malah Papi takutkan adalah kamu yang nggak bisa beradaptasi dengan kehidupan Rayyan. Papi yakin Rayyan pasti bisa sukses. Dia anak yang cerdas dan pekerja keras. Tapi kamu, siap nggak hidup nggak semewah ini?"
Wajah Jessy berubah. Dari ketakutan menjadi harapan. "Jadi Papi setuju aku sama Rayyan?" tanyanya, suaranya berbinar, dan tanpa menunggu jawaban, dia sudah berjingkrak dari kursinya dan memeluk erat sang ayah.
Adi membalas pelukan itu sebentar sebelum melepaskannya, wajahnya kembali serius. "Tapi..." katanya, menahan antusiasme Jessy. "Papi mau kamu tetap fokus sama kuliah kamu. Dan jangan ada kata menikah kalau financial kalian masih buruk."
"Jadi maksud Papi Rayyan harus kaya dulu baru boleh nikahin aku?" tanya Jessy, mencoba memahami.
"Bukan kaya, Jes," jelas Adi, bijaksana. "Tapi mencukupi di segala aspek." Dia menatap putrinya dengan dalam. "Cinta itu pondasinya. Tapi finansial adalah besi penopang rumah tangga. Papi nggak mau lihat kamu susah, atau hubungan kalian hancur karena tekanan ekonomi."
Nasihat itu menggantung di udara, sebuah kebenaran praktis dari seorang ayah yang telah berjuang mati-matian membangun kerajaannya dan hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Ini adalah realitas hidup yang keras, yang seringkali tak ingin dilihat oleh mereka yang sedang mabuk asmara. Bagi Adi, ini bukan tentang menentang cinta, tapi tentang memastikan putrinya tidak hanya bahagia dalam cinta, tetapi juga aman dan sejahtera dalam kehidupan.
***
Rayyan Albar menuntun motornya yang tua melalui gang-gang kecil. Helm hitam sederhana melindungi wajahnya yang tampan, namun tidak bisa menyembunyikan ketegangan di garis rahangnya. Perjalanan satu setengah jam dari kosannya terasa seperti meditasi paksa, diisi oleh bayang-bayang seorang gadis dengan senyum menantang dan mata yang berapi-api. Jessy Sadewo.
Dia memarkir motornya di depan sebuah rumah petak sederhana yang catnya sudah memudar. Teras kecilnya bersih, dihiasi beberapa pot tanaman hijau. Ini adalah rumah masa kecilnya, tempat yang selalu terasa seperti pelindung dari kerasnya dunia.
Pintu kayu yang tak terkunci dibukanya pelan. Siluet seorang wanita paruh baya dengan rambut yang mulai dihiasi uban terlihat membungkuk di dekat dapur kecil, merapikan tumpukan terigu, mentega, dan cetakan roti di atas meja kayu yang sudah penuh goresan. Aroma mentega dan kayu manis yang familiar menyambutnya, seperti sebuah mantra yang langsung melunakkan sedikit kekakuan di hatinya.
"Ibu," suaranya keluar, lebih lembut dari biasanya, memecah kesunyian.
Wanita itu—Maryam—tersentak, hampir menjatuhkan sebungkus ragi yang dipegangnya. Dia menoleh, dan wajahnya yang lelah namun lemah lembut langsung merekah oleh senyum yang begitu tulus, membuat keriput di sudut matanya semakin jelas.
"Astaga, Yan!" desisnya, tangan menempel di dada. "Ibu kaget banget. Tumben nak pulang kok nggak ngabarin?" Matanya, berwarna sama seperti mata Rayyan—seperti dark coffee—menerawang penuh kasih dan sedikit keheranan.
Rayyan melangkah masuk, menghindari tatapan langsung. Ruangan itu sempit, tetapi penuh dengan kenangan. Foto-foto lama, sertifikat prestasinya, dan sebuah kalender tua tergantung di dinding. "Mendadak kangen Ibu," ujarnya, suaranya rendah, setengah terbata. Itu bukan kebohongan penuh, tapi bukan pula keseluruhan kebenaran. Kangen itu nyata, tapi begitu pula kebingungan yang menggerogotinya.
Maryam tidak menanya lebih lanjut. Dia langsung mendekat dan merengkuh putra satu-satunya itu dalam pelukan hangat. Tubuhnya yang mulai renta terasa ringan di pelukannya. Rayyan membiarkan dirinya tenggelam sejenak dalam kehangatan itu, menutup matanya, mencoba menepis bayangan gadis kaya bernama Jessy yang mengacaukan pikirannya.
"Ibu juga kangen," bisik Maryam, suaranya bergetar halus. Dia menarik diri, tangannya yang kasar dan berurat karena tahunan menguleni adonan membelai lengan Rayyan. "Tapi sebentar lagi kamu wisuda kan? Jadi nggak perlu ngekos lagi. Bisa tinggal lagi di sini sama Ibu." Harapan itu bersinar jelas di matanya, sebuah impian sederhana untuk memiliki anaknya kembali setelah bertahun-tahun berjuang sendirian.
Rayyan hanya bisa mengangguk lembut, rasa sesak di dadanya semakin menjadi. "Iya, Bu," gumannya. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan bahwa dunianya mungkin sedang berubah, bahwa ada seseorang—dengan segala kompleksitas dan masalahnya—yang mulai membuatnya mempertanyakan segalanya?
---
Kedai Roti Maryam hanya berjarak sepuluh menit jalan kaki dari rumah. Sebuah ruangan kecil dengan beberapa meja dan kursi kayu sederhana. Pagi itu, Rayyan menemani ibunya berjualan. Dia memilih meja di sudut, dekat jendela yang menghadap ke jalanan ramai, dan membuka laptop gaming mewahnya—sebuah benda yang terasa asing dan kontras dengan segala kesederhanaan di sekelilingnya.
Cahaya layarnya yang tajam menerangi wajahnya yang sedang berkonsentrasi. Dia mengerjakan sisa-sisa skripsinya, tetapi pikirannya terus menerawang. Matanya, di balik bulu mata yang panjang, tak henti-hentinya mengikuti gerak-gerik ibunya. Melihatnya melayani pelanggan dengan senyum sabar, tangan yang cekatan membungkus roti, dan bahu yang sedikit membungkuk menahan lelah.
Beberapa pelanggan meliriknya penuh selidik dan kagum. Pria tampan dengan aura dingin dan kecerdasan yang terpancar jelas, duduk di kedai roti sederhana. Itu adalah sebuah paradoks yang menarik.
Tiba-tiba, Maryam mendekat, membawakan segelas teh hangat untuknya. Matanya yang tajam menangkap benda mengilap di atas meja.
"Laptop baru, Nak? Kapan beli?" tanyanya, suara penuh keibuan dan rasa ingin tahu.
Rayyan menegang. Jari-jemarinya yang sedang mengetik berhenti di atas keyboard. Nafasnya sesaat tertahan. Di depan matanya, bayangan Jessy yang sedang mendorong kardus laptop itu ke arahnya dengan wajah penuh kemenangan dan harap, muncul dengan jelas. Dia tidak mungkin memberitahu ibunya yang sebenarnya. Kebenaran itu—tentang pemberian, tentang pemaksaan, tentang gadis yang menghancurkan bangku mereka—akan seperti menghantam sang ibu dengan palu godam.
Dia mengangkat kepalanya, berusaha terlihat tenang. "Dapet dari kampus, Bu," ujarnya, suaranya berusaha datar. "Hadiah kompetisi kemarin." Kebohongan itu terasa pahit di lidahnya, seperti debu yang menempel.
Wajah Maryam langsung bersinar, lebih terang dari mentari pagi. "Oh, syukurlah," ucapnya, tangan berlipat di dada seperti sedang bersyukur. "Kalau beli pasti mahal ya, Nak. Untung kamu anak yang berprestasi." Dia menggeleng-geleng, matanya berkaca-kaca. "Ibu bangga."
Pujian itu menusuk Rayyan lebih dalam daripada kemarahan Jessy mana pun. Rasa bersalah yang tumpul dan berat menggelayuti dirinya. Pikirannya menerawang jauh. Apa yang harus kelak dia katakan pada sang ibu tentang Jessy? Bisakah hubungan semacam itu—jika itu pun ada—pernah diterima? Atau, apakah lebih baik dia mundur sekarang? Menjauh dari badai bernama Jessy Sadewo dan kembali ke kehidupan yang tenang, meski mungkin hampa, di sisi ibunya? Dua kutub yang sama-sama kuat menariknya: satu adalah ikatan darah dan pengorbanan, yang lainnya adalah sebuah tarikan emosional yang tak bisa dipahami, liar, dan mengacaukan.
Kedai itu tiba-tara terasa sempit, sesak oleh kebohongannya sendiri.
---
Saat jeda sepi pelanggan, perhatian Rayyan tertuju pada ibunya yang berusaha menggeser sebuah oven besar berwarna krem yang sudah kusam. Otot-otot di lengan wanita itu menegang, wajahnya berkerut konsentrasi, namun oven itu hanya bergeser beberapa sentimeter.
"Rayyan aja, Bu," ucapnya, segera bangkit dari kursinya. Suaranya tegas, memotong usaha sang ibu.
Maryam meliriknya, tersenyum lemah. "Nggak papa, Nak. Ibu udah biasa." Dia mencoba mendorong sekali lagi, napasnya sudah sedikit tersengal.
Tapi Rayyan sudah berada di sampingnya. Dia dengan lembut menggeser tubuh ibunya yang ringan. "Nggak papa, Bu. Biar Rayyan aja."
Dia membungkuk, tangannya yang kuat dan berotot—tangan yang biasa merangkai sirkuit rumit dan melempar bola basket dengan presisi—sekarang mencengkeram pegangan oven yang besar. Dengan satu tarikan napas dan tenaga dari pinggang, dia mengangkatnya. Oven itu jauh lebih berat dari yang dia bayangkan. Betapa beratnya benda ini bagi seorang wanita sepantar ibunya?
Dia meletakkannya di tempat yang diinginkan Maryam, lalu menatap ibunya. Kerutnya di antara alisnya semakin dalam.
"Ibu tiap hari angkat begini?" tanyanya, suaranya mengandung nada yang tak biasa—campuran kaget, khawatir, dan sedikit marah pada dirinya sendiri yang tidak pernah benar-benar menyadari beban fisik yang ditanggung ibunya.
Maryam menggeleng, menyeka keringat di pelipisnya dengan ujung kebayanya. "Nggak, Nak. Cuma kalau mau dibersihin aja, seminggu sekali." Jawabannya sederhana, seolah itu adalah hal yang wajar.
Tapi bagi Rayyan, pernyataan itu seperti tamparan. Dia menyadari, dengan kejelasan yang menyakitkan, betapa kerasnya ibunya telah memaksakan diri selama ini. Semua demi sesuap nasi, demi biaya kosnya, demi seragam dan buku-bukunya, demi memastikan anaknya punya masa depan yang lebih baik. Setiap sendok terigu, setiap adonan yang diuleni, setiap oven berat yang digeser, adalah sebuah doa dan pengorbanan yang tak terucapkan.
Apa pantas dirinya, dengan segala yang telah ibu korbankan untuknya, kemudian menyakiti wanita renta ini dengan membawa seorang Jessy Sadewo ke dalam kehidupan mereka? Gadis yang mewakili segala hal yang pernah menghancurkan harga diri ibu ini?
Hatinya bagai dihimpit batu besar. Di satu sisi, ada sebuah perasaan yang mulai tumbuh untuk Jessy—sebuah tarikan yang tidak bisa dia pungkiri, sekeras apapun dia berusaha. Di sisi lain, ada pengabdian dan cinta tak bersyarat pada wanita di hadapannya, yang hidupnya telah diukir oleh kerja keras dan air mata.
Dia berdiri di sana, di tengah kedai roti yang sederhana, dikelilingi oleh aroma kayu manis dan masa lalu, sementara masa depannya yang tak menentu membayang seperti hantu. Dan di tengah semua itu, wajah Jessy—dengan segala kecantikan, kegarangan, dan kerentanannya—terpatri dalam benaknya, menantangnya untuk membuat pilihan.
kudu di pites ini si ibu Maryam