menjadi sukses dan kaya raya tidak menjamin kebahagiaanmu dan membuat orang yang kau cintai akan tetap di sampingmu. itulah yang di alami oleh Aldebaran, menjadi seorang CEO sukses dan kaya tidak mampu membuat istrinya tetap bersamanya, namu sebaliknya istrinya memilih berselingkuh dengan sahabat dan rekan bisnisnya. yang membuat kehidupan Aldebaran terpuruk dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Luh putu Sri rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Sementara itu di kantornya, Aldebaran hanya duduk di ruangannya yang luas dan mewah, ia hanya duduk dan tak melakukan apapun sambil mengetuk-ngetuk meja dengan ujung pena. Kopi di cangkirnya hampir tak tersentuh hingga kopi itu dingin.
"Semuanya akan baik-baik saja, besok semuanya akan normal." pikirnya, mencoba meyakini dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Lalu ia melanjutkan pekerjaannya. Saat memulai pekerjaan pandangan Aldebaran berubah menjadi dingin setelah ia melihat sebuah proposal yang dulu pernah ia sepakati, pandangannya semakin dingin mengetahui nama yang tertera di sana adalah Dimitri Von Castaviore.
Aldebaran duduk di belakang meja kerjanya, ruangan luas yang dipenuhi aroma wibawa dan kesunyian dingin. Tangannya yang kokoh memegang sebuah proposal tua, matanya yang tajam membaca setiap kata dengan intensitas yang hampir menyakitkan. Namun, saat nama itu tertera di sana, Dimitri Von Castaviore, sebuah kilatan dingin menyapu wajahnya. Bibirnya mengerut tipis, dan udara di sekitarnya terasa semakin berat.
Pria yang dulu dianggap sebagai sekutu setia—sahabat dan rekan bisnis yang selalu ada di saat-saat sulit—kini hanyalah bayangan penghianatan yang tidak akan pernah dilupakan Aldebaran. Memori yang berumur sembilan tahun itu menghantamnya tanpa ampun: pintu kamar hotel yang terbuka, suara tawa yang begitu dikenalnya, dan Diana, istrinya, dengan tangan melingkari Dimitri. Adegan itu adalah akhir dari kepercayaan dan awal dari rasa dendam yang membara di bawah permukaan dingin seorang pria yang tidak mengenal belas kasih.
Ia meletakkan proposal itu perlahan, namun gerakannya mengandung ancaman yang lebih tajam daripada pisau.
"Aku tidak akan biarkan uangku melayang begitu saja," gumamnya dengan nada rendah yang menusuk seperti racun. Tatapannya beralih ke luar jendela, melihat gedung-gedung tinggi yang seakan membungkuk di bawah kekuasaannya. "Dimitri, ini bukan hanya tentang bisnis. Ini tentang harga diri. Kau mencuri sesuatu yang milikku, dan sekarang aku akan mengambil semua yang pernah menjadi milikmu."
Tangan Aldebaran bergerak ke telepon di mejanya, suaranya dingin saat berbicara. "Panggil tim legal dan analis. Aku ingin proposal ini dipelajari sampai ke detail terkecil. Cari celah, cari kelemahan. Aku tidak peduli berapa biayanya—pastikan kita yang menang."
Dia menutup telepon dengan gerakan tegas, lalu bersandar di kursinya. Wajahnya datar, hampir tanpa ekspresi, namun pikirannya seperti badai yang menggulung. Ini bukan lagi tentang uang semata, tetapi tentang kehancuran total Dimitri. Aldebaran telah menghabiskan bertahun-tahun membangun reputasi sebagai raja bisnis yang tak tergoyahkan, pria yang mampu meruntuhkan kerajaan hanya dengan sepucuk surat. Kali ini, ia akan menggunakan seluruh kekuatannya untuk memastikan Dimitri merasakan kehancuran itu.
"Ini bukan pertarungan. Ini eksekusi." Gumamnya dingin, suaranya nyaris tanpa emosi, namun mengandung ancaman yang lebih mematikan daripada kemarahan yang meledak-ledak. Bagi Aldebaran, dunia bisnis adalah medan perang, dan ia adalah jenderal tanpa hati yang selalu menang.
Ia mengenyampingkan semua emosinya saat ini bahkan perasaannya terhadap Lilia, yang ia inginkan hanya kemangan dan ia akan melakukan segalanya untuk mendapatkannya.
Aldebaran mengangkat proposal itu kembali, jemarinya yang kokoh mencengkeram kertas seakan ingin meremukkannya. Napasnya stabil, nyaris tak terdengar, namun udara di ruangan itu terasa semakin mencekam. Tatapan matanya yang dingin berhenti pada nama itu, Dimitri Von Castaviore, seolah-olah sedang mengukirnya dalam ingatan untuk sebuah eksekusi yang tidak akan ada ampun. Namun, pikirannya tidak berhenti pada Dimitri. Ada sosok lain yang diam-diam mengintai di balik amarahnya—Diana.
Dia membiarkan punggungnya bersandar pada kursi kulit hitam yang megah, pandangannya beralih ke kaca jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Tatapan dingin itu, nyaris tanpa emosi, justru memancarkan intensitas yang menakutkan. Lalu, suaranya keluar, rendah, terkontrol, namun menggema dengan ancaman.
"Dan untukmu... Diana," katanya pelan, seperti bisikan yang mampu memecahkan kaca. "Aku akan pastikan kau merasakan setiap detik rasa sakit yang kau ukir di hatiku. Tidak dengan cara murahan. Tidak dengan kemarahan yang membakar. Tapi perlahan, dingin, sampai kau tidak bisa membedakan mana yang lebih menyakitkan—rasa bersalahmu atau kehancuranmu."
Ia menyandarkan kedua sikunya di atas meja, mengatupkan jemarinya di depan wajahnya. Matanya menatap kosong ke depan, namun pikirannya bergerak seperti roda gigi dalam mesin perang. Dia tidak akan meneriakkan kemarahannya, tidak akan membiarkan emosi menguasainya. Itu terlalu mudah, terlalu cepat. Diana, seperti Dimitri, akan dihancurkan dengan cara yang paling halus dan paling kejam.
"Kau ingin bermain di belakangku, Diana?" lanjutnya, suaranya kini begitu dingin hingga seolah-olah mampu membekukan darah. "Aku akan menunjukkan permainan yang sesungguhnya. Kau akan kehilangan segalanya, bahkan kebebasan untuk memilih bagaimana kau menderita."
Ia berdiri perlahan, setiap gerakannya terkendali, seolah-olah setiap langkahnya adalah bagian dari rencana besar yang sudah dirancang. Proposal di tangannya ia letakkan dengan perlahan, hampir seremonial, di atas meja. Di matanya tidak ada lagi amarah manusiawi, hanya fokus yang mematikan, seperti predator yang tidak pernah gagal mengejar buruannya.
"Kalian berdua ingin menjadi musuhku? Baiklah," katanya sambil berjalan menuju jendela, memandang ke kota yang berkilauan di bawahnya. "Aku tidak akan hanya memenangkan permainan ini. Aku akan memastikan kalian berlutut, melihat ke atas, dan menyadari bahwa aku adalah akhir dari semua yang pernah kalian banggakan."
Aldebaran berdiri tegak, sosoknya tampak seperti bayangan gelap yang menguasai segalanya. Di ruangan itu, dalam kesunyian yang dingin, dia telah mengukir niatnya dengan jelas: tidak akan ada belas kasih, tidak akan ada penyesalan. Hanya kehancuran total, perlahan, sampai tidak ada yang tersisa dari mereka selain reruntuhan kenangan yang tidak akan pernah mereka lupakan.
Lalu dengan tenang Aldebaran kembali melanjutkan pekerjaannya, mata Aldebaran fokus ke layar monitor di hadapannya, tatapannya masih dingin melihat kumpulan angka dan grafik di dalam layar monitor.
Tak lama suara ketukan pintu memecah keheningan di dalam ruangan Aldebaran. Ia mengakat wajahnya pandangannya tertuju pada pintu kaca buram besar di ujung ruangan. Pintu itu terbuka pelan dan memperlihatkan Brian yang masuk kedalam ruangan Aldebaran sambil membawa beberapa berkas di tangannya.
"Pak, ini dokumen yang anda minta." Kata Brian, lalu dengan gerakan terukur dan penuh hormat ia meletakan dokumen-dokumen itu di atas meja Aldebaran.
"Bagaimana dengan Lilia?" tanya Aldebaran, ia meraih salah satu dokumen yang Brian letakan di mejanya, ia mengambil dokumen paling atas dan membacanya, ia tak meliat sedikitpun ke arah Brian yang masih berdiri di hadapannya.
"Dia baik-baik saja, Pak. Saya sudah mengantarnya ke sekolah." jawab Brian. "Dan saya sudah pastikan dia sudah benar-benar masuk sekolah." Sambung Brian.
"Hn..." Aldebaran hanya menjawab dengan gerakan rendah, matanya masih tidak lepas dari dokumen di tangannya. "Siapkan semuanya untuk rapat hari ini!"
"Baik, Pak"
Bersambung.....
sukses buat novelnya, jangan lupa support baliknya di novel baru aku ya 🙏☺️