kehampaan dan kesempurnaan, ada seorang siswa SMP yang hidup dengan perlahan menuju masa depan yang tidak diketahui,"hm, dunia lain?hahaha , Hmm bagaimana kalau membangun sebuah organisasi sendiri, sepertinya menarik, namanya... TCG?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mult Azham, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYI
Sudah dua tahun berlalu sejak Azam pertama kali bertemu dengan nenek Latifa.
Kalender Arcana, Tahun 570 – Bulan Luminaris, Hari ke-23
Azam berdiri memandangi pemandangan di depannya. Hamparan luas terbentang sejauh mata memandang, rerumputan hijau bergoyang diterpa angin sepoi-sepoi yang membawa kehangatan. Tubuh kecilnya diam, menikmati suasana itu.
"Tajam! Tajam! tqamu napain cicini?" ("Azam, Azam, kamu ngapain di sini?")
Suara ceria itu berasal dari seorang balita perempuan bernama Isabelle Celeste, yang selalu mengikuti Azam ke mana pun ia pergi.
Tak lama, suara lain menyusul.
"Jam, cenapa camu lihat cecana?" ("Zam, apa yang sedang kamu lihat?")
Seorang anak laki-laki mendekat, wajahnya penuh rasa ingin tahu. Namanya Leonel Ezra—anak yang selalu meminta bimbingan dari Azam. Rasa penasarannya terhadap HAJ cukup kuat.
Azam sengaja sering membahas HAJ kepada mereka, mencoba menanamkan pemahaman. Di dunia ini, konsep HAJ masih sangat asing.
"Ajam, apa camu boleih celita tentan Aj agi?" ("Azam, apa kamu bisa ceritakan tentang HAJ lagi? Aku ingin mendengarnya.")
Azam menoleh ke arah Isabelle Celeste. Mata gadis kecil itu berbinar penuh antusias, begitu pula Leonel yang berdiri di sampingnya.
"Baaiiik, aaaccku ackqan mecnceyyyitcqan, cchyentannng A-Aaaj yyjjagi." ("Baik, aku akan menceritakan tentang HAJ lagi.")
Azam berusaha memperbaiki cara bicaranya, tapi tetap saja, beberapa huruf masih sulit diucapkan dengan benar. Ia sudah mencoba berkali-kali, tapi lidah kecilnya tetap saja belum terbiasa. Sudah beberapa hari ini ia merasa geram dengan suaranya sendiri.
"Cenawa camu yomon cepeci icku?" ("Kenapa kamu ngomong seperti Itu?") tanya Leonel Ezra, sambil memiringkan kepalanya dengan ekspresi penasaran.
"Gigak aga." ("Tidak ada.") jawab Azam singkat, memilih untuk mengabaikan pertanyaan itu.
......................
Di sekitar mereka, beberapa orang yang lewat mulai memperhatikan.
"Wah, mereka lucu sekali! Tubuhnya kecil-kecil!"
"Ya ampun, itu Azam? Seolah-olah dia sedang mengajari mereka sesuatu..."
"Lucunya..."
"Iya, hihihi. Lihat ekspresi mereka, serius sekali!"
Azam mengabaikan komentar orang-orang di sekitarnya. Ia hanya fokus pada Isabelle dan Leonel, yang mendengarkan dengan serius.
Tatapannya tegas—setegas yang bisa dilakukan seorang balita. Suaranya kecil, tapi nadanya kuat, seolah ingin memastikan setiap kata yang ia ucapkan benar-benar dipahami.
"Awa cayiyan puna cepecaya an? Calian bubuh iqu!!" ("Apa kalian punya kepercayaan terhadap HAJ? Kalian butuh kepercayaan untuk menggunakannya!!")
"Ya aga!!" ("Ada!!") jawab Leonel dan Isabelle serentak, mata mereka berbinar penuh keyakinan.
Azam mengangguk, lalu melanjutkan dengan nada serius.
"Awa cayiyan wunya ceqat yan tuat?!" ("Apa kalian punya tekad yang kuat untuk mempelajari dan menguasainya?!”)
"Ya aga!!" ("Ada!!") jawab mereka serempak, tanpa keraguan sedikit pun.
Azam mengambil napas dalam, lalu menatap mereka dengan lebih tajam.
"Cayau begiqu... Yan qeya ir, awa qayiyan mgau weweja qeyas?!" ("Yang terakhir... Apa kalian mau bekerja keras dan berkorban untuk meningkatkan HAJ, walau sesakit apa pun itu?!")
Sesaat hening. Udara terasa berat, seolah menunggu jawaban mereka. Lalu, suara mereka menggema bersamaan—lebih lantang dari sebelumnya.
"Ya mau!!" ("Tentu saja kami akan bekerja keras!!")
Azam mengangguk dengan bangga. Mereka mendengarkan dengan baik, duduk dengan tenang di hadapannya. Sementara itu, tubuh kecil Azam tetap tegap, kedua tangannya bertumpu di samping perut.
'Sepertinya mereka mulai mengerti apa yang kukatakan.'
Azam ingin Isabelle dan Leonel benar-benar bisa menggunakan HAJ. Karena itu, ia terus mengajari mereka selama berbulan-bulan. Awalnya, tentu saja mereka kebingungan—berusaha memahami konsep yang tampak abstrak. Namun, seiring waktu berlalu, tanda-tanda HAJ mulai muncul dalam diri mereka.
Karena itulah, mereka jadi semakin menempel pada Azam.
Terkadang, mereka bertanya, "Apakah aku bisa menggunakan HAJ?"
Dan aku... selalu berbohong.
Jujur saja, itu memalukan.
"Cenqu qaga wisa! Cayau awu ceqiyus, aqu wisa wegancul can ayam emwesqa!" ("Tentu saja! Kalau aku serius menggunakannya, bisa saja alam semesta hancur!")
Leonel memiringkan kepalanya. "Ayam?"
Isabelle mengikutinya. "Ayam emwesqa?"
Aku menghela napas.
"Iga, awu wisa aga wenanyulqan wesa igi." ("Iya, aku bisa menghancurkan desa ini jika mengeluarkannya, walaupun sedikit.")
Mata mereka berbinar. "Waa, qeyen qeyen!" ("Wah, keren keren!")
Aku masih mengingat kejadian itu...
Jujur saja, aku malu.
Tapi ya sudahlah.
Aku masih dianggap bayi, jadi tidak apa-apa, kan? Kan...?
Tiba-tiba, terdengar suara lembut seorang nenek memanggilku.
"Azam... Ayok pulang."
Itu nenek!
"Iya, yeyek!!" ("Iya, nenek!!")
Aku langsung berlari menghampirinya dengan tubuh kecilku.
"Haduh, hati-hati!"
Meski tubuhnya renta, nenek tetap berlari mengejarku, seakan takut aku jatuh sebelum sempat sampai kepadanya.
Dan benar saja...
Aku tersandung.
Sial, tubuh kecil ini!
Namun sebelum aku jatuh, tangan nenek sigap menangkapku. Ia membungkuk, menatapku dengan penuh kekhawatiran.
"Aduh, hati-hati... Hati-hati ya, Nak."
Setelah itu, nenek menggendongku.
Aku menatapnya dengan sedikit khawatir. Tubuhnya sudah rapuh, tapi tetap berusaha melindungiku. Aku bisa melihat bahwa tulang belakangnya bermasalah, dan saat ia membungkuk untuk menangkapku tadi, kekhawatiranku semakin bertambah—apalagi sekarang ia malah menggendongku.
"Yeyek! Apa yeyek gapapa?" ("Nenek! Apa nenek gapapa?") tanyaku cemas.
"Tidak papa, tidak papa. Lain kali hati-hati, ya."
"Iya, yeyek," ujarku masih dengan nada khawatir.
Nenek tersenyum lembut. "Anak pintar... Yok pulang. Azam mau beli sesuatu?"
Aku menggeleng pelan. "Egak." ("Nggak, nenek.")