Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 24
Amina berdiri di tengah ruangan, menatap tajam ke sekelilingnya. Udara terasa berat, dipenuhi dengan aroma tembakau dan parfum maskulin yang menyengat. Cahaya lampu gantung berkilau di atas kepala mereka, memantulkan sorot mata penuh kecurigaan dari beberapa anggota mafia yang masih belum mempercayainya.
Dia tahu ini akan sulit. Kepercayaan tidak didapat dalam semalam. Tapi setelah nyaris kehilangan nyawanya demi informasi yang dia bawa, dia berharap setidaknya mereka akan mendengarkannya.
Alexander, yang berdiri di sudut ruangan dengan tangan disilangkan di dada, akhirnya membuka mulut. "Jadi, kau bilang ada yang lebih besar dari ini semua?" suaranya datar, tapi ada nada ketertarikan di sana.
Amina mengangguk. Dia mengambil dokumen dari dalam tasnya dan melemparkannya ke atas meja dengan suara berdebam. "Bukan sekadar lebih besar. Kita berbicara tentang seseorang yang memiliki akses ke racun langka dan teknologi yang bahkan bukan mafia biasa yang bisa mendapatkannya."
Salah satu pria, berambut cepak dengan bekas luka di pipinya, mendengus sinis. "Dan kita harus percaya begitu saja? Bisa saja kau menjebak kami."
Amina meliriknya dengan tajam. "Kalau aku mau menjebak kalian, aku tidak akan datang ke sini dengan kepala masih utuh," katanya dingin.
Alexander meraih dokumen itu dan mulai membacanya. Matanya yang tajam bergerak cepat, lalu ia mendongak, tatapannya tajam menusuk. "Ini..." dia terdiam sesaat, lalu melanjutkan, "Jika ini benar, maka yang kita hadapi bukan sekadar perang antar geng. Ini jauh lebih besar."
Tiba-tiba, pintu terbuka dengan kasar. Lucien, seorang pria jangkung dengan rambut sedikit berantakan, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya yang biasanya tenang kini menegang.
"Ada masalah," katanya tanpa basa-basi, melemparkan selembar kertas ke meja. "Mayat yang ditemukan tadi siang, dokter forensik bilang ada jejak racun di tubuhnya. Dan bukan sembarang racun."
Alexander mengambil laporan itu dan membacanya sekilas, lalu mengumpat pelan. "Racun VX," gumamnya.
Amina merasakan hawa dingin merambat ke tulang punggungnya. VX bukan racun sembarangan. Ini adalah salah satu senjata kimia paling mematikan di dunia, yang hanya bisa dibuat oleh laboratorium tingkat tinggi.
"Kalau seseorang menggunakan VX untuk membunuh," kata Amina perlahan, "maka ini bukan cuma tentang mafia lagi. Ini bisa jadi kerjaan seseorang yang punya koneksi ke pemerintahan, militer, atau lebih buruk—sebuah organisasi bayangan."
Ruangan mendadak sunyi. Bahkan pria dengan bekas luka di pipinya kini tampak mulai berpikir ulang tentang kecurigaannya pada Amina.
"Kita harus mencari tahu siapa yang ada di balik ini," kata Alexander akhirnya. "Tapi kita harus hati-hati. Jika mereka cukup nekat menggunakan VX, itu berarti mereka tidak akan ragu untuk membunuh siapa saja yang menghalangi jalan mereka."
Amina mengangguk, tapi sebelum dia bisa berkata apa-apa, sebuah suara gemuruh mengguncang ruangan. Dalam sepersekian detik, ledakan dahsyat terjadi.
Jendela-jendela pecah. Asap tebal memenuhi udara. Suara jeritan dan benda-benda jatuh bergema di ruangan.
Amina terhuyung mundur, batuk keras saat debu dan asap memenuhi paru-parunya. Suasana berubah kacau. Beberapa orang berteriak, sementara yang lain meraih senjata mereka.
"Serangan!" suara seseorang meneriakkan peringatan.
Amina segera merunduk, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan kepulan asap yang mulai menipis. Di luar gedung, terdengar suara sirene mendekat.
"Persetan," Alexander menggeram, menatap ke luar jendela yang kini hanya menyisakan pecahan kaca. "Mereka ingin kita tahu bahwa mereka mengawasi kita."
Amina mengusap wajahnya yang berdebu, lalu menatap Alexander. "Ini bukan peringatan," katanya dengan suara rendah. "Ini deklarasi perang."
Alexander menoleh ke arah anak buahnya. "Semua orang, siaga satu. Kita keluar dari sini sebelum mereka mengirim lebih banyak."
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.