Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 24 — Heart at Stake
“Tidak, kau harus katakan alasanmu dulu. Kenapa kau menentang hubungan mereka? Apakah karena Albert adalah asistenmu?”
Faza mengatupkan rahang, berdiri dari kursinya, ia memojokkan Ashana ke tepi jendela. “Kau sungguh ingin tahu apa alasanku menentang hubungan mereka? Sungguh?”
Ashana mengangguk yakin sementara Faza memberinya tatapan tajam yang menusuk.
Pria itu lalu meraih dagu Ashana dan mengangkatnya sedikit ke atas. “Karena aku tidak ingin mereka berakhir seperti kita, Ashana.”
Tangan Ashana gemetar, berada di bawah tatapan menghujam yang penuh kebencian dari Faza membuat hatinya mencelos sakit. Melepaskan cekalan tangan pria itu dari dagunya, Ashana mundur selangkah.
“Kenapa … kenapa kau menghubungkan hubungan mereka dengan kisah yang sudah berakhir? Mereka tidak sama seperti kita, Faza.” Mata Ashana mulai mengembun.
“Kisah mereka sama dengan kisah kita, Ashana,” sahut Faza dengan suara gemetar. “Seorang karyawan biasa yang miskin, tidak layak bersama dengan putri keluarga kaya.”
Faza berbalik memunggungi Ashana. “Meski saling mencintai, tapi perbedaan status dan derajat secara paksa memisahkan mereka. Itu terjadi pada kita tujuh tahun lalu!” seru Faza dengan penuh emosi.
Air mata yang tertahan di pelupuk mata, akhirnya tumpah juga. Ashana bisa memahami kemarahan dan kebencian pria itu. Tapi kenapa Faza selalu menghubungkan sesuatu dengan masa lalu?
“Antara cinta, status dan kekayaan. Menurutmu, mana yang akan menang Ashana?” tanya Faza, ujung matanya melirik Ashana yang kini berdiri menatapnya dengan sendu.
“Di hadapan status dan kekayaan, cinta tidaklah berarti apa-apa, benar kan?” tanya Faza dengan senyum getir tersungging di bibir.
Semua kata yang Faza ucapkan, berhasil merobek luka lama yang berusaha Ashana sembuhkan. Hatinya terasa nyeri. Kenapa pria itu terus mengungkit luka tujuh tahun lalu?
Apakah semua penderitaan yang Ashana terima selama ini masih tak cukup? Apakah kesedihan yang selama ini Ashana rasakan masih belum cukup? Kenapa duka itu harus terus ditambah-tambah?
Ashana sudah salah mengira soal hubungannya dengan Faza. Awalnya, ia pikir, meski mereka tidak lagi saling mencintai, setidaknya mereka bisa berusaha berdamai dan saling melupakan kebencian itu secara perlahan.
Tetapi tidak, kenyataannya, Faza selalu mengungkit luka dan kesalahan tujuh tahun lalu setiap ada kesempatan. Sampai kapan mereka harus saling melempar kebencian seperti ini? Kenapa mereka harus saling melukai?
“Pers*tan dengan cinta!” teriak Faza. Ashana berjingkat terkejut di tempat.
“Meski buruk rupa dan miskin, perempuan tetap akan dicintai oleh seorang pria tulus. Tapi pria yang buruk rupa dan miskin, maka tak ada satu pun wanita yang bisa menerimanya.”
Faza kemudian membalikkan tubuhnya menghadap Ashana. “Dan kau salah satunya kan, Ashana?” tanyanya yang lebih terkesan menuduh bagi Ashana.
Air matanya kembali meluncur deras jatuh ke pipi, tuduhan Faza terhadapnya benar-benar menggores hatinya. Namun, Ashana tetap diam. Lidahnya kelu, bahkan hanya sekadar untuk berkata ‘tidak’ pun, ia tak sanggup.
“Kenapa kau diam Ashana? Ayo katakan sesuatu, jawab aku!” desak Faza.
Ashana menghapus air matanya kasar, “Ya! Aku adalah perempuan itu!”
Pria itu terkejut, tak pernah ia mendengar Ashana berteriak dan semarah itu.
Apakah aku sudah keterlaluan? pikir Faza.
Ashana maju, mengikis jarak di antara mereka, satu jarinya menunjuk Faza dengan berani. “Jika aku adalah perempuan seperti itu, lalu bagaimana dengan kau?”
“Aku?”
“Bukankah kau juga brengsek? Bagiku kau pria paling brengsek yang pernah kukenal, Faza. Aku beruntung karena ayahku memberitahuku sifat asli dirimu sebelum kita bertunangan!” seru Ashana setengah berteriak di akhir kalimat.
Kini Faza yang berbalik bingung sekaligus kesal. “Apa maksudmu? Apa yang ayahmu katakan?” tanyanya mencoba mencari kebenaran.
Jangan-jangan selama ini kita hanya saling salah memahami? pikir Faza. Ia sepertinya mulai menemukan kepingan kebenaran dari kejadian tujuh tahun lalu.
“Apa pentingnya itu bagimu sekarang? Huh?!” tantang Ashana, matanya sudah memerah karena menangis. Hatinya pun sudah ikut lebam membiru.
Jika ini yang Faza inginkan dari hubungan mereka, maka Ashana siap meladeni setiap kata dan ucapan pria itu. Ashana bahkan siap mempertaruhkan hatinya sekali lagi.
“Sangat penting, Ashana. Apa yang ayahmu katakan padamu tujuh tahun lalu?” Faza mendekat, meraih kedua bahu Ashana.
Namun, Ashana menepis kasar tangan Faza dan mundur beberapa langkah, menciptakan jarak yang sebenarnya sudah terbentang di antara mereka sejak lama.
Menatap Faza dengan tatapan yang sarat akan luka, ia lalu berkata. “Kita akhiri saja semuanya sekarang,” ucapnya getir.
Faza terperangah, “Apa? Apakah menurutmu semudah itu, Ashana?”
“Lalu apa?! Tak ada lagi yang tersisa di antara kita kecuali kebencian, Faza.” Ashana jatuh luruh ke lantai, lalu terisak pelan.
“Lebih baik mengakhirinya daripada harus saling melukai lagi,” lirih Ashana masih terisak.
Pria itu terdiam mematung di tempat.
Kenapa jadi seperti ini? Bukan ini yang aku inginkan.
Menatap Ashana yang terisak pelan membuat sudut hati Faza yang lain ikut merasakan sakit.
Perasaan apa ini? Kenapa aku ikut merasakan sesak? Kenapa saat melihatnya menangis, aku jadi ikut sedih? pikir Faza, hatinya mulai berkecamuk. Bercampur dengan perasaan lain yang mulai tumbuh tanpa ia sadari.
Ikut berjongkok di depan Ashana, ia berniat menghibur Ashana atau bahkan sekadar meminta maaf. Mengulurkan tangan untuk meraih Ashana dalam pelukannya.
Tetapi, Ashana mendorong pria itu hingga terjatuh ke belakang. Perempuan itu lalu berdiri.
“Aku membencimu!” seru Ashana lalu ke luar ruang kerja Faza dengan setengah berlari. Tangisnya pecah seiring dengan langkah yang mengikuti.
Ia tak berniat mencegah Ashana atau pun mengejarnya. Wajar saja jika perempuan itu pergi, Faza memang sudah keterlaluan.
***
Di ruang keluarga, Vanya terlihat tengah bersantai menonton televisi sambil menikmati kudapan yang dibuatkan oleh seorang pelayan saat tiba-tiba Ashana melintasi ruang keluarga menuju carport dengan tergesa.
“Kak Ashana mau ke mana malam-malam begini? Apa dia ada keadaan darurat ya? Kelihatannya dia sangat tergesa sampai berlari-lari seperti itu,” gumam Vanya setengah bingung.
Tak lama setelahnya, sang kakak juga terlihat ikut berlari mengejar kepergian Ashana hingga ke luar rumah, namun terlambat, mobil Ashana sudah melaju melewati gerbang.
Saat itulah Vanya berpikir bahwa sesuatu tengah terjadi di antara mereka. Setengan tertatih menghampiri sang kakak, Vanya menepuk bahu Faza pelan.
Pria itu menoleh, melihat gurat dahi dan mata kemerahan sang kakak, dugaan Vanya semakin kuat. “Kak Ashana mau ke mana, Kak?” tanya Vanya memberanikan diri untuk bertanya.
Faza menoleh, “Kenapa kau berjalan? Kau tidak boleh banyak bergerak atau kakimu akan terasa nyeri lagi nanti. Ayo duduk dulu!” sentak Faza cemas.
Vanya menurut saja saat Faza memapahnya untuk kembali ke sofa di ruang keluarga. Meskipun sedang kecewa padanya, Faza tetaplah seorang kakak yang menyayangi adiknya.
“Kak, kenapa Kak Ashana pergi dengan tergesa?” tanya Vanya lagi.
Faza mendesah berat lalu ikut duduk di sofa. “Kami … bertengkar hebat barusan.”
Kedua mata Vanya terbelalak, “Apa? Kenapa kalian bertengkar? Apakah kalian bertengkar karena aku, Kak?” tanya Vanya sedikit mendesak.
Mengangguk lemah, Faza lalu berkata, “Awalnya memang itu, tapi kemudian membesar jadi membahas hal lain, aku marah dan tak sengaja mengungkit kejadian lama. Sepertinya … dia sangat terluka, Van.”
Gadis itu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kakak dan kakak iparnya. Tapi jika kakaknya sampai mengungkit kejadian tujuh tahun lalu, maka itu artinya, masih banyak hal yang belum terselesaikan dengan baik.
Kau juga pasti sangat tersiksa oleh perasaan itu kan, Kak? pikir Vanya. Melihat wajah sendu sang kakak yang bercampur kebencian dan penyesalan membuat Vanya mengiba.
“Kalau Kakak merasa begitu, kenapa tidak mengejar Kak Ashana? Kejar dia, Kak, lalu minta maaf. Aku yakin Kak Ashana hanya ingin Kakak meminta maaf,” saran Vanya bijak.
"Saat aku bertengkar dengan Albert, aku juga hanya ingin mendengarnya meminta maaf saja,” gumamnya yang sayangnya terdengar oleh Faza.
“Apa? Apakah dia pernah menyakitimu?”
“Errr, tidak, waktu itu kami hanya bertengkar karena hal kecil saja, Kak.”
“Tapi, kemarin dia juga menyakitimu, kan?”
“Kakak, ayolah, ini bukan waktunya. Pikirkan Kak Ashana dulu, cepatlah minta maaf padanya. Jangan menyakitinya lagi,” kata Vanya dengan nada membujuk.
Faza sudah mempertimbangkan hal itu, hanya saja, segalanya tak sesederhana yang Vanya pikirkan. Ada dua hati yang dipertaruhkan dalam hal ini. Dan Faza tidak bisa mempertaruhkan salah satunya. Tidak hatinya ataupun hati Ashana.
“Akan aku pikirkan, Van. sekarang kau istirahatlah agar cepat pulih,” ujar Faza sambil beranjak dari sana.
“Lalu Kak Ashana? Kak, dia perempuan dan ini sudah malam, bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?” cemas Vanya.
Pria itu menggeleng pelan, “Dia akan baik-baik saja, Van. Meski mengemudi dalam keadaan marah, tapi aku mengenalnya dengan baik, Ashana tidak mungkin melakukan hal bodoh.”
Mellihat Vanya yang sepertinya ikut cemas, Faza pun akhirnya berkata, “Kau tenang saja, aku akan meminta seseorang untuk memeriksa keadaannya nanti. Kau cepatlah tidur, tidak usah mencemaskan kami, orang dewasa punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalah.”
Setelah mengatakan hal itu, Faza langsung naik ke atas sementara Vanya menghabiskan waktunya untuk berpikir keras. Meski sang kakak mengatakan untuk tidak mencemaskannya, tapi bagaimana mungkin ia bisa diam saja?
“Setidaknya aku harus melakukan sesuatu, kan?” gumam Vanya seraya berpikir.