Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.
Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.
Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Cara Mengenal Sheina
Matahari masih terasa menggigit meski bayangan sudah mulai memanjang di lapangan sekolah. Spanduk lomba tinggal satu yang belum diturunkan, menggantung miring, berkibar ditiup angin. Suara anak-anak yang pulang mulai memudar, digantikan bunyi kursi dilipat, kardus dibungkus, dan tawa kecil guru-guru yang sudah mulai melepas tegang.
Sheina berdiri di sisi panggung, memandangi sisa-sisa hari yang terasa seperti lima hari dijadikan satu. Di sampingnya, Davison berdiri tenang, satu tangan masuk ke saku celana, mata menatap lurus ke depan.
“Udahan?” tanya Davison tanpa menoleh.
Sheina mengangguk. “Udah. Kita pulang?”
Langkah mereka perlahan menyusuri sisi lapangan, menuju gerbang utama. Tapi baru beberapa meter berjalan, mereka mulai sadar: tatapan orang-orang mulai berbelok ke arah mereka.
Guru yang tadi sibuk membereskan snack kini menoleh. Beberapa panitia saling berbisik cepat. Bahkan kepala sekolah yang sedang berbicara dengan salah satu wali murid, menghentikan obrolannya dan mulai melangkah ke arah mereka.
“Sheina?” sapanya dengan nada ramah.
Sheina berhenti, menoleh cepat. “Iya, Bu?”
Kepala sekolah menatap mereka sebentar sebelum bertanya, “Kalian saling kenal?”
Pertanyaannya ringan. Tapi dalam suasana yang mendadak tenang seperti ini, kalimat itu menggantung terlalu lama.
Davison menjawab tenang, “Iya.”
Hanya satu kata. Tapi cukup membuat ruang udara seakan berubah suhu.
Beberapa guru berpandangan. Di tenda panitia, Merisa yang sedang berdiri di dekat kursi lipat, menoleh cepat ke arah mereka. Di sebelahnya, Fahri berdiri diam, wajahnya datar tapi matanya penuh tanya.
Kepala sekolah tidak menambahkan pertanyaan lain, hanya mengangguk pelan. Tapi sebelum Sheina sempat pamit, suara lain memotong dari arah tenda.
“Kenalnya dalam kapasitas apa, ya?”
Suara itu datang dari Merisa. Langkahnya mendekat perlahan, senyum tipis menghias wajahnya.
“Maksud saya, ada hubungan spesial apa, sampai Pak Davison seorang pengusaha kopi bisa pulang bareng sama Sheina, yang cuma guru biasa?”
Kalimatnya manis, tapi ujungnya menggores.
Suasana di sekitar mereka mendadak menegang. Guru-guru yang tadinya mulai santai, kini kembali fokus. Beberapa bahkan berhenti melipat kursi.
Sheina tak langsung menjawab. Tubuhnya menegang, matanya sedikit membelalak. Tapi sebelum ia bicara, Davison melangkah setengah ke depan.
“Saya pikir,” katanya pelan tapi tegas, “cara saya mengenal Sheina tidak perlu dijelaskan di depan umum.”
Satu kalimat itu menggulung seluruh ruangan dalam diam. Merisa diam. Tapi matanya bicara banyak. Ia tidak mundur, tapi juga tak menyerang lagi.
Fahri melirik Sheina sekilas. Ia membuka mulut seolah mau tanya sesuatu, tapi akhirnya mengurungkan niatnya.
Sheina menarik napas. “Permisi ya, Bu.”
Lalu ia melangkah cepat, menuruni tangga panggung menuju gerbang, diikuti Davison yang berjalan tenang di sampingnya.
Mereka tidak berkata apa-apa, tapi langkah mereka cukup untuk membuat orang-orang tahu: ada sesuatu yang belum pernah diceritakan. Sesuatu yang terlalu diam untuk disebut gosip, tapi terlalu dekat untuk diabaikan.
Mobil Davison terparkir beberapa meter dari gerbang. Ia membuka pintu untuk Sheina, lalu masuk ke sisi kemudi.
Dan saat pintu tertutup, suara dari luar lenyap, terganti udara di dalam mobil yang jauh lebih tenang, tapi tidak benar-benar nyaman.
Udara di dalam mobil tidak panas, tapi Sheina tetap membuka sedikit kaca jendela. Hanya agar suara luar terdengar samar sebagai pengingat bahwa mereka belum sepenuhnya pergi dari keramaian tadi.
Davison diam. Tangan kirinya menggenggam setir, sementara tangan kanan memutar kunci perlahan, tapi belum menyalakan mesin.
Tak ada suara. Hanya desah napas dan bunyi detik jam dashboard yang terasa terlalu keras dalam keheningan.
Sheina akhirnya bicara lebih dulu.
“Bapak nggak harus jawab gitu tadi, tahu.”
Davison menoleh pelan. “Jawab yang mana?”
“Yang ‘cara saya mengenal Sheina tidak perlu dijelaskan di depan umum.’”
Nada Sheina tidak keras. Tapi jelas ada gemetar kecil di ujung kalimatnya. Bukan marah. Lebih ke terbebani.
Davison menarik napas pelan. “Kalau saya bilang ‘kami cuma tetangga’, mereka tetap nggak percaya.”
Sheina menoleh, menatap mata Davison sekilas. “Tapi sekarang mereka malah mikirnya lebih dari itu.”
Davison tidak menjawab. Ia menatap ke depan lagi. Jendela depan mobil sudah mulai dipenuhi pantulan cahaya matahari yang condong. Lapangan terlihat jauh dari balik kaca.
“Kamu keberatan?” tanyanya akhirnya, pelan.
Sheina terdiam. Jemarinya menyentuh tas kecil di pangkuannya, meremas ujung resleting yang sudah terbuka.
“Saya nggak tahu,” bisiknya. “Saya nggak tahu harus keberatan atau lega.”
Davison melirik ke arahnya. “Lega?”
Sheina mengangguk pelan. “Karena untuk pertama kalinya, saya nggak sendirian saat orang-orang mempertanyakan saya.”
Kalimat itu tidak panjang, tapi membuat Davison diam cukup lama.
Akhirnya, ia memutar kunci. Mesin menyala perlahan, suara mesin mobil seperti bisikan berat yang menyapu diam mereka.
Mobil melaju pelan meninggalkan halaman sekolah. Dari kaca spion, bayangan Merisa yang masih berdiri di tempat yang sama mulai mengecil, menghilang tertelan pagar besi yang tertutup setengah.
Mereka menyusuri jalan kecil keluar dari kawasan sekolah. Rumah-rumah warga di kiri kanan terlihat biasa saja, tapi suasana dalam mobil tidak biasa. Terasa seperti sesuatu baru saja bergeser. Belum jelas ke mana arahnya. Tapi cukup kuat untuk mengubah sesuatu.
“Pak Davison,” kata Sheina, pelan, nyaris seperti gumaman. “Nenek Bapak masih nanya soal saya?”
Davison mengangguk. “Iya. Nanya kenapa saya nggak pernah memposting foto kita di media sosial.”
Sheina menunduk. “Kalau suatu hari nanti kita udah nggak pura-pura lagi, Bapak bakalan bilang ke nenek yang sebenarnya?”
Davison tidak langsung menjawab. Jalan di depan mereka sepi, hanya sesekali motor melintas.
“Saya nggak tahu,” katanya akhirnya. “Tapi kalau hari itu datang saya harap bukan saya yang harus menjelaskannya.”
Sheina melirik. “Kenapa?”
Davison tersenyum samar. “Karena kamu lebih bisa membuat segalanya terdengar benar, bahkan waktu kita sama-sama salah.”
Mobil terus melaju, menembus senja yang mulai turun perlahan. Di dalam mobil, mereka tetap diam. Tapi untuk pertama kalinya, diam itu bukan pelarian. Melainkan satu-satunya tempat di mana mereka bisa saling mengerti tanpa butuh banyak kata.
...****************...
Merisa masih berdiri di tempatnya. Bahu tegak, dagu sedikit terangkat, tapi rahangnya mengeras diam-diam.
Fahri melirik dari samping, lalu ikut memandang ke arah jalan yang mulai kosong.
Beberapa guru mulai beraktivitas lagi, tapi tak sedikit yang masih membicarakan apa yang baru saja terjadi.
“Deket dari mana, ya?” bisik salah satu panitia ke temannya, sambil pura-pura sibuk merapikan kardus.
“Deket banget itu,” sahut yang lain. “Liat aja cara jalan mereka tadi. Kayak pasangan.”
“Guru Sheina. Masih muda, cantik, baik, terus dekat sama pengusaha. Wajar lah kalau banyak yang sirik.”
Suara-suara kecil itu seperti angin. Tidak keras, tapi menyusup ke telinga semua yang ada di sekitarnya.
Fahri mendesah pelan. “Kamu senang?”
Merisa menoleh cepat. “Apa?”
“Barusan. Kamu nyulut semua itu,” ujar Fahri, tenang, tapi sorot matanya tajam.
Merisa tersenyum tipis. “Saya cuma tanya sesuatu yang orang lain nggak berani tanyakan.”
“Dan kamu tahu dia nggak mungkin bisa jawab.”
Merisa tidak menjawab. Ia melipat tangannya di dada, matanya masih menatap ke arah jalan.
“Seandainya Sheina emang pacaran sama pengusaha kaya, kenapa? Kamu keberatan?”
“Bukan soal pacaran,” gumam Merisa. “Tapi aneh aja. Dulu datang ke sekolah ini biasa aja. Sekarang tiba-tiba naik mobil, dijemput, kayak pusat perhatian ada di dia.”
Fahri tidak langsung menanggapi. Ia memandangi wajah Merisa lama, sebelum berkata pelan,
“Sheina itu tulus. Bahkan hatinya lebih tulus dari yang orang-orang lihat.”
Merisa terkekeh kecil, sinis. “Ternyata kamu juga suka sama Sheina?”
Fahri tidak menjawab. Tak membenarkan, tak menyangkal. Tapi sorot matanya berubah.
Ia menunduk sedikit, menghela napas, lalu membiarkan kata-kata itu tenggelam bersama suara angin.
Dan dalam diamnya, Fahri menjawab, pernah.
Pernah menyukai.
Pernah mencoba memahami.
Pernah berharap bisa mendekat.
Tapi ia tahu, Sheina menyimpan sesuatu yang tidak dibuka untuk siapa-siapa.
Ada luka lama yang tidak pernah disembuhkan.
Ada seseorang yang pernah menaruh luka begitu dalam dan sejak itu, Sheina tidak pernah benar-benar mengizinkan siapa pun masuk ke dalamnya lagi.
Fahri tahu seberapa berantakannya Sheina dulu.
Terlalu berantakan, sampai-sampai Sheina lebih memilih menjaga jarak daripada melukai siapa pun dengan pecahan dirinya sendiri.
Termasuk dirinya.