Cover by me
Moza Reffilia Abraham—fotografer berparas bidadari, jatuh hati sejak pandangan pertama. Abrizam Putra Bimantara—tentara teguh yang baru menyandang pangkat Kapten, justru mengunci rapat hatinya.
Pernikahan mereka lahir dari perjodohan, bukan pilihan. Abri menolak, dibayangi luka lama—pernah ditinggal kekasih saat bertugas di perbatasan. Ia takut jatuh cinta, takut kehilangan untuk kedua kalinya.
Namun kisah ini tak semudah itu.
Sosok dari masa lalu kembali hadir—seorang bawahan di kesatuan yang sejak dulu hingga sekarang menjadi pesaing dalam cinta, mengaduk luka lama dan membangkitkan kegelisahan yang nyaris tak tertahan.
Di antara tugas negara dan gejolak rasa, sang Kapten harus memilih membuka hati, atau kembali kehilangan.
Lanjut baca langsung ya disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia, Dalam Balutan Hijau Pupus
“Mami... ini cara pakainya gimana, sih?” seru Moza dari dalam kamar, setengah panik. Ia berdiri di depan cermin, mengenakan seragam Persit berwarna hijau pupus yang baru saja diberikan oleh sang papi, Jenderal Hamzah. Seragam itu pas sekali di tubuhnya. Moza tahu pasti, papinya sudah hafal betul ukuran tubuhnya.
Clara, yang tengah duduk santai menonton TV di ruang keluarga, menoleh dan menahan tawa kecil saat melihat putrinya berjalan tergesa dalam balutan seragam panjang khas istri TNI AD. Hanya jilbab yang belum terpasang. Moza tampak kebingungan memegang ciput dan penutup leher.
Clara geleng geleng kepala di buat putrinya. “Sini, mami bantu,” kata Clara lembut, menggeser duduknya.
Moza lantas mendudukkan bokongnya di samping sang mami, membiarkan Clara membantunya berbenah.
"Kenapa harus pakai jilbab sih mi? Kan ada baju persit pendek kayak punya mami. Pakai jilbab gini ribet." Keluhnya dengan wajah di tekuk. Dia maunya itu baju setelan Persit seperti yang di miliki Clara, bukan begini. Moza tidak biasa pakai jilbab. Malah di suruh pakai baju tertutup begini, kepanasan yang ada.
Moza itu jarang pakai jilbab bahkan nyaris tidak pernah. Paling kalau di ajak ke kajian oleh Vira atau acara hari raya. Itupun Vira yang membantu. Tapi kali ini kakak iparnya sedang tidak di rumah, mereka berada di Bandung di kediaman orangtua Vira tentunya si kecil Sean juga ikut makannya rumah siang ini begitu sunyi.
Clara tersenyum, tetap sabar. "Abri yang mau," kata Clara tenang membuat pipi Moza seketika merah merona. Kalau sudah calon suami yang ingin Moza mana bisa menolak.
"Dia gak mau kecantikan istrinya di bagi bagi ke yang lain." Tambah Clara dengan nada menggoda.
Moza tak bisa menyembunyikan senyumnya. Malu-malu, tapi hatinya meleleh. Clara menangkup kedua pipi Moza.
“Pasti nanti Abri sampai terpaku lihat Oza secantik ini. Anak mami memang cantik banget,” puji Clara tulus, tak tanggung-tanggung, karena memang putrinya itu cantiknya kelewatan. Clara sampai bingung, ini Moza turunan siapa, semua wajah di borong, muka gadis asia dan timur tengahnya adalah perpaduan yang sempurna di wajah anaknya.
Mendengarkan pujian Clara kontan membuat pipi Moza kian memanas dan memerah merona. Apa iya, Abri nanti akan terpaku saat melihat penampilannya kali ini. Memikirkannya saja membuat kupu-kupu di perutnya akan naik kepermukaan. "Oza naik dulu mi, lanjut siap siap." Pamitnya ia tak ingin kepergok Clara yang belum apa-apa sudah salah tingkah duluan. Padahal Clara sudah jelas menangkap salah tingkah putrinya itu dari kedua pipinya yang bersemu jelas di kulit wajah seputih susunya itu. Ibu tiga anak itupun cekikikan sendiri di tempatnya.
Masih menatap kemana putrinya pergi, Clara turut mengucap rasa syukur dalam hati. Perjodohan ini membuat keceriaan Moza yang sempat menghilang beberapa bulan lalu pasca insiden itu telah kembali.
Tak lama setelah Moza naik, Abri datang.
"Assalamualaikum." Salam Abri dengan senyum ramah begitu memasuki rumah kediaman jenderal Hamzah, tentunya untuk menjemput anak jenderal itu untuk menghadap ke kesatuan. Meski terlihat tenang, jantungnya sebenarnya berdebar di dalam sana.
"Waalaikumsalam, eh, nak Abri udah datang. Moza baru aja naik, masih siap-siap," ujar Clara ceria. "Eh, iya sini duduk dulu. Mami buatin minum dulu ya. Mau minum apa nak?" Clara langsung menarik Abri untuk duduk di salah satu sofa. Wajahnya nampak begitu antusias menyambut menantu baru.
Abri duduk dengan canggung. "air putih saja Bu," Jawabnya sungkan. Apa lagi mendengar Clara menuturkan dirinya dengan panggilan mami, Agak gimana gitu kedengarannya.
"Kok air putih si? Di rumah mami ada banyak air loh bri, tinggal pilih. Ada teh, jus juga ada, susu, kopi, minuman soda juga. Kok malah milih yang paling biasa?” Jelas Clara sudah seperti ibu kantin.
Abri tersenyum kaku. "Kalau gitu terserah ibu saj-"
“Eh? Kok ‘ibu’?!” potong Clara cepat, matanya membelalak ia protes tak terima di panggil ibu dengan calon mantunya.
Abri refleks garuk tengkuk. Salah ngomong. Dipanggil 'ibu' saja sudah dimarahi. Jadi dia haru panggil apa? Mami gitu? Belum jadi mantu juga.
Melihat respon Abri Clara lanjut berkata "panggil mami ya nak Abri, ma-mi. Kamu itu udah termasuk bagian dari keluarga ini. Jadi panggil mami, seperti Julian, Berlian dan Moza. Jangan ibu. Ini bukan batalyon," kata Clara sambil mengacungkan telunjuk, separuh bercanda, separuh serius.
Apa semua para ibu begini, cerewet. Soalnya mamanya juga sama seperti Clara, cerewet tak tertolong kalau anaknya salah sedikit.
Abri sampai meringis sungkan, tapi tetap mencoba memanggil Clara dengan panggilan baru itu.
"Iya bu-eh mami." Segera Abri koreksi ketika melihat Clara mendelikan matanya tidak terima.
"Nah gitu dong," Clara langsung berubah senyum sumringah. Mood-nya cepat sekali berganti. Abri saja sampai speechless melihatnya.
Abri menahan tawa dalam hati. Jangan-jangan calon istrinya nanti juga kayak begini?
Tunggu calon istri? Benar kan, Moza itu calon istrinya?
"Bi... Bibi... Bi Ike..." Suara panggilan Clara pada ART nya membuat kesadaran Abri kembali, namun yang di panggil belum kelihatan batang hidungnya. Membuat raut bingung dan kesal Clara kembali muncul. “Bentar ya, Nak Abri. Mami ke dapur buatin minum.”
Abri hanya mengangguk dan Clara langsung beranjak dari sana.
Sendirian di ruang tamu, Abri memperhatikan sekeliling area ruang tamu kediaman Hamzah yang cukup luas, hampir sama luasnya dari rumah kedua orangtuanya. Matanya tertuju pada sebuah pigura besar di dinding. Foto keluarga Abraham. Semua anggota lengkap, dua menantu, dua cucu... hanya Moza yang berdiri sendiri tanpa pasangan di tengah keluarga, merangkul keponakannya.
Abri menatap dalam. Entah mengapa, hatinya bertanya... Apa suatu hari nanti Abri akan masuk dalam foto keluarga mereka dan berdiri di samping gadis itu seperti Dwika yang berdiri di samping Berlian?
Ia beralih ke pigura lain yang ukurannya lebih kecil dari foto keluarga tadi—foto Hamzah bersama para ajudan. Ada Marwan, ada Aji... semuanya berseragam PDU dengan baret di masing-masing di kepala mereka, hanya Hamzah sendiri yang menggunakan topi pet. Wibawa mereka terpancar.
Mereka bertugas di rumah Hamzah begitu di hargai dan di sayang, bahkan di anggap seperti keluarga sendiri. Sudah jelas terlihat dari foto ini yang mengambarkan jenderal Hamzah sudah seperti ayah bagi para ajudannya.
Tapi jujur saja, waktu melakukan misi penyelamatan waktu itu, Abri agak kaget ketika mengetahui Aji yang merupakan anggotanya juga itu adalah salah satu ajudan dari jenderal besar Hamzah, Aji hanya mengatakan ia bertugas mengawal anak seorang jenderal, tapi ketika di tanya jenderal siapa, Aji tidak pernah memberitahukannya. "Pokoknya anak jenderal." Selalu saja itu jawaban dari pertanyaan yang mereka ajukan.
Apa dia takut di wawancarai oleh para rekannya yang lain jika sampai tau dia mengawal anak dari jenderal Hamzah yang terkenal akan kecantikannya.
Abri tersenyum kecil saat melihat wajah Aji yang tampak menahan senyum di foto. Tapi seketika itu juga, senyumnya meredup, teringat bahwa Aji masih terbaring koma.
Tepat saat itu—
“Eh, ada Abri!” Marwan muncul dari balik pintu bawah tangga yang dapat Abri pastikan itu adalah kamar pria itu. Ia tampak terburu-buru.
"Siap, gak ngawal bapak Bang?" Tanyanya setelah memberi hormat.
Kenapa Abri hormat? karena Marwan itu memiliki pangkat yang lebih tinggi darinya yaitu, mayor.
“Nggak. Tadinya saya standby buat ngawal Ibu atau Moza kemanapun kalau mau keluar. Tapi Bapak baru nelpon, suruh saya ke rumah sakit. Aji udah sadar!”
Mata Abri membulat. “Aji sadar, Bang?”
Marwan mengangguk. “Iya. Baru aja sadar. Saya harus segera ke sana. Bapak juga lagi perjalan kesana ini. Lihat Ibu nggak?”
Abri langsung saja menunjuk area dapur dan Marwan langsung bergegas kesana.
"Saya tinggal ya," saat sudah beberapa langkah Marwan akan menuju dapur ia berhenti dan berbalik ke Abri lagi "jangan bilang ke nona Moza dulu ya bri. Bilang bapak biar nona Moza selesaikan pengajuannya dulu baru di beritahu," Bisiknya. Takut tiba-tiba Moza turun.
Abri mengangguk, meski keningnya mengernyit.
"Lancar ya pengajuannya." Marwan menepuk bahu Abri lalu pergi ke dapur.
Tak lama kemudian, Clara dan Marwan keluar dengan langkah tergesa. “Ini, minumnya ya Nak Abri. Mami tinggal dulu. Lihat Aji sebentar. Mami titip Oza ya,” pamitnya sambil berlari keluar rumah begitu Abri menganggukkan kepalanya, buru buru sekali.
Dan kemudian—
“Mi, o—”
Suara Moza yang baru muncul di tangga mendadak terhenti. Matanya membelalak. Yang ia lihat bukan ibunya, tapi... Abri—calon suaminya.
Abri pun langsung mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk. Tatapan mereka bertemu. Hening sejenak.
Moza berdiri kaku di tengah anak tangga. Seragam warna hijau pupus khas Persit itu melekat sempurna di tubuh proporsional calon istrinya, jilbabnya rapi, dan kecantikannya... membuat Abri nyaris lupa cara bernapas.
Cantik sekali.
Wajah Moza memerah. Abri sampai tak berkedip. Gadis itu menunduk malu, tangannya meremas rok panjangnya.
Sampai suara deheman menyadarkan keduanya mengalihkan pandangannya satu sama lain. Abri menormalkan wajahnya dengan tangan yang mengusap telinga yang Abri jamin sudah memerah karena malu. Cih, seperti orang totol pasti dirinya sekarang.
Clara berdiri di depan pintu dengan cengiran seperti tak punya dosa "dompet mami ketinggalan." Dan dengan santainya setelah itu Clara berjalan menuju ke kamarnya yang terdapat di lantai satu sambil menggerutu geli. “Duh, anak muda... malu-malu kucing, gemes banget, ih!”
Tak lama kemudian Clara keluar lagi, menenteng dompet. Tapi sebelum pergi, ia menyempatkan diri melirik Moza dan berkata pada Abri, “Cantik kan, Bri, anak mami? Apalagi pakai baju Persit begitu. Cocok banget. Pantes jadi istri kamu.” goda Clara.
“Mami!” rengek Moza malu setengah mati.
Clara hanya tertawa cekikikan. "Turun deh dek, udah di tungguin calon suami loh dari tadi. Ngapa malah berdiri di situ?" ejek Clara.
Moza turun dengan menundukkan wajahnya malu-malu Moza.
Clara lagi-lagi cekikikan melihat tingkah putrinya "oh, ya Oza pergi berdua sama nak Abri ya, mami mau pergi bentar sama Marwan. Nak Abri jagain Oza ya. Jangan lecet..." Peringat Clara lalu pergi dari sana.
Kali ini wanita paruh baya itu tidak kembali yang di yakini sudah benar-benar pergi meninggalkan dua sejoli di ruangan itu dengan suasana canggung yang masih terasa.
Abri berdeham, mencoba terdengar normal. “Sudah selesai?”
Moza mengangkat kepalanya sejenak, melirik Abri "i-iya," jawab Moza seadanya masih malu dan kembali menunduk.
Melihat tingkah Moza Abri jadi gemas, Abri menahan senyum. Gadis ini sangat lucu malu-malu begitu, padahal Abri ingat betul waktu mereka bertemu di restoran untuk pertama kalinya gadis itu begitu percaya diri, kini salah tingkah luar biasa. Lucu sekali.
“Kalau gitu, kita berangkat?”
Moza hanya mengangguk, masih tak berani menatap langsung wajah calon suaminya, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya.
Dan untuk kedua kalinya hari itu... Moza ingin sekali menenggelamkan diri ke dasar palung Mariana. Malu.
ngk papa mbk chika ni adalah momen yang paling di sukai pasutri normal lahh😀😀
biasanya bergerak dlm senyap tiba" harus diapresiasikan lwt kata"
berasa nano nano
mkasih thor akhirnya pnantian berakhir manis🤭🤭🤭😊
kangen kak Chika eh salah kangen abri Moza deh wkwkwkwkkwkkk
lanjuuuuuutttt....