NovelToon NovelToon
Masinis, I Love You!

Masinis, I Love You!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cinta setelah menikah / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / EXO / Suami ideal / Istri ideal
Popularitas:12.2k
Nilai: 5
Nama Author: Redchoco

Pernikahan Serena dan Sabir terjalin karena keduanya sepakat untuk pulih bersama setelah dikhianati kekasih masing-masing. Terbiasa berteman selama ini membuat perasaan cinta tumbuh serta-merta. Namun, di saat semua nyaris sempurna, Tuhan memberikan Sabir cobaan dalam urusan kerja. Di mulai dari sini, akan mereka temukan arti cinta, pertemanan dan keluarga yang sebenarnya.

Mari, ikuti lika-liku perjalanan Bapak Masinis dan Ibu Baker yang ingin menjadi pasutri apa adanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redchoco, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24. Yang hadir dari masa lalu

Pagi ini dimulai dengan kerusuhan. Serena bangun dalam keadaan pegal-pegal dan siap koyo di pinggang. Salahnya baru tersadar pukul dua pagi dari posisi tidur duduk dan Sabir yang tau-tau sudah rebah ke pahanya tadi malam. Untung setelah itu pindah posisi tidur ke kasur dan masih bisa menikmati sisa malam dengan damai.

Sayangnya karena terlalu lelah, keduanya kebablasan terlelap hingga hampir pukul 7.

Setelah bersiap-siap secepat kilat dan sarapan seadanya : roti selai coklat, yang mana artinya Serena tidak jadi membuatkan bekal—padahal semalam menawarkan, sekarang keduanya sudah di perjalanan. Biasanya Sabir berangkat naik motor, tapi pagi ini Serena keukeuh mau mengantarnya dengan mobil.

"Kamu kalau masih belum enak badannya mending izin cuti aja."

"Sudah sehat, kok. Kan, ibu Eren semalam yang jagain."

"Aku lagi serius ya, Sab."

Sabir terkekeh, menoleh ke istrinya yang sedang make-up tipis-tipis di kursi penumpang.

"Masih sakit pinggangnya?"

"Pegel, sih. Nanti mau pijat sama Mak Erot."

"Iya?"

Serena berdeham saja, tidak ingin fokusnya buyar dan membuat alisnya jadi miring sebelah.

"Nanti mau ada flashmob di stasiun."

"Dalam rangka apa?"

"Ulang tahun perusahaan."

"Kamu ikutan?"

"He'em, udah latihan beberapa waktu lalu. Aku bisa geal-geol, lho."

Yang perempuan tersenyum simpul. "Lentur ya, Pak, badannya."

Sabir tertawa.

Cuaca pagi hari sedikit temaram, nampaknya mau hujan. Udara terasa sejuk dan Sabir menaikkan temperatur dalam mobil agar tidak kedinginan. Di luar, para pejuang rupiah telah berbondong-bondong menyiapkan tempat usahanya. Semua orang bersemangat, seolah tidak peduli apakah akan pulang membawa uang atau tidak, mereka tersenyum. Lantas dengan begitu saja, Sabir ikut menarik sudut bibirnya.

"Sab,"

"Ya?" Sabir menoleh lagi.

"Kamu masih ada nomornya Shella?"

"Enggak. Kenapa tiba-tiba nanya?"

"Aku enggak sengaja lihat media sosialnya karena kebetulan enggak aku blokir... ternyata dia ditinggal suaminya tugas di perbatasan."

Serena lalu menghadapkan ponsel ke Sabir. Layar yang menunjukkan postingan Shella Anggraini berisi foto suaminya dengan seragam loreng khas TNI angkatan darat. Tertera caption bertulis : selamat bertugas, Letnan-ku. Semoga pulang dengan selamat, semoga bumi perbatasan pun bisa dilindungi.

"Terus kenapa kasih tahu aku?" Sabir tentu heran. Bukankah sudah sepakat untuk tidak membahas mantan? Surat perjanjian pun masih disimpan rapat dalam kamar. Perlukah dilihat ulang?

"Enggak kenapa-kenapa, sih. Mau kasih tahu aja, siapa tahu kamu penasaran kabarnya."

"Buat apa aku penasaran? Enggak guna, juga." Sabir memonyongkan bibir. "Jangan-jangan kamu lagi yang penasaran kabar toge satu itu," selidiknya, agak tidak senang.

"Toge?" beo Serena.

"Matra-nya dia itu kan selalu dikaitkan sama kacau hijau, karena bajunya ijo-ijo loreng itu. Menurutku, mantanmu cocoknya disebut toge, Er. Kecambah dari kacau hijau yang aku enggak suka makan."

"Tapi toge punya nutrisi yang sangat baik untuk kesehatan tubuh, lho. Kayak karbohidrat, protein, sama serat."

"Idih... suka makan toge kamu?" Mulutnya mencibir tidak suka. Kalau ada alat pendeteksi sakit hati dan pundung alias kesal, Sabir yakin sudah merusaknya karena ia sangat tidak senang dengan jawaban Serena barusan.

"Sab, kita bahas toge yang sama, kan, ya? Bukannya toge yang mungkin mirip nama musuh bebuyutan kamu?"

"Ya iya, toge yang biasanya ada dalam ketoprak Mang Nurdin yang sering kamu beli waktu sekolah itu."

"Terus kenapa muka kamu masam begitu? Udah kayak bahas gaji enggak turun-turun aja."

"Gaji banget ya perumpamaannya?" Sabir akhirnya tersenyum kembali. Beberapa saat lagi, mobil akan sampai ke tujuan. Untuk itu, ia memelankan laju sembari mengatakan maksud dari "toge" yang sebenarnya.

"Er, aku enggak suka Adrian. Jujur aja. Semoga di lain waktu, kamu enggak mau bahas dia lagi."

Mendengar itu, Serena lekas memperbarui laman media sosialnya sehingga postingan Shella menghilang. Kemudian dengan senyum tipis, membalas,

"Aku pun enggak suka sama Shella. Seandainya nanti ada sesuatu yang baru tentang dia yang kamu tahu, tolong untuk tutup mulut dan enggak usah beritahu aku karena aku enggak mau tahu."

"Tergantung, ya." Sabir menepikan mobil. "Seandainya hal ini penting dan berhubungan dengan kita berdua, aku akan tetap kasih tahu kamu, Er."

"Yang berhubungan dengan kita berdua tuh yang kayak gimana, ya?"

"Ya apa pun. Bisa jadi nanti di suatu kondisi, aku atau kamu enggak sengaja pas-pasan sama mereka terus mau enggak mau tegur-sapa, hal ini aku pikir perlu diberitahu. Supaya enggak ada kesalahpahaman di antara kita."

Lamat-lamat, Serena menganggukkan kepala. "Oke, dimengerti, Pak."

Merapikan seragamnya sejenak, Sabir lantas berucap lagi, "Aku sama rekan ada rencana bikin baju buat futsal. Nanti di punggungnya mau dikasih nomor gitu, kan. Ada saran?"

"Nomor punggung, ya...."

Serena berpikir sejenak. Ia tahu suaminya menyukai olahraga futsal sejak SMP—awalnya dia tidak suka, tapi entah kenapa menjadi suka—dan masih sering beberapa kali berkumpul dengan orang-orang yang punya hobi sama. Perihal baju dan nomor punggung, dia biasanya menggunakan angka 1. Entah apa alasannya mau mengubah dengan nomor baru.

"Aku suka angka delapan."

"Alasannya?"

"Kalau enggak salah, punya artian 'tak terhingga'."

"Tak terhingga," beo Sabir. "Karena angkanya saling terhubung begitu, ya? Enggak ada putusnya."

Serena menganggukkan kepala.

"Harapanku, semoga untuk hal-hal baik dan semua yang kamu harapkan, enggak pernah ada batasnya. Tak terhingga."

Dengan begitu saja, Sabir tersenyum. Samar-samar ia menghidu aroma floral dari istrinya itu.

"Aku boleh cium kamu enggak, sih?"

"H-hah?" Serena berkedip cepat, ingin meyakinkan diri atas pendengarannya barusan. Barangkali, salah tangkap ucapan suaminya. "Ci-cium?"

Namun, nampaknya Serena tidak salah. Sebab di sampingnya, Sabir mengangguk dengan muka santai. Tidak tahu saja Serena, bahwa suaminya itu barusan keceplosan.

"B-boleh aja, sih."

Atas izin itulah, Sabir memajukan wajah. Serena perlahan-lahan memejamkan mata, kurang dari sedetik, sebuah kecupan bersarang di keningnya.

Eh, eh, kok, di dahi?

Sang puan langsung membuka mata, suaminya tersenyum tipis. Dengan begitu saja, ia membalas dengan senyum kaku.

Astaga... barusan ia berharap di bibir, nih? Yang benar aja!

"Pamit, ya."

Serena mengangguk.

"Hati-hati kerjanya." Yang dibalas Sabir dengan anggukan pula.

Tangan sang pria bersinergi membuka pintu dan jemarinya melepas seatbelt. Sebelum menutup pintu mobil sepenuhnya, ia tersenyum lagi pada istrinya.

"Er, aku akan pakai angka delapan," ucapnya. "Delapan," ulangnya lagi, seakan meyakinkan dan menegaskan bahwa angka itulah yang benar-benar ia pakai untuk nomor punggung.

"Oh, iya, bagus itu!" respon Serena, agak linglung.

Pintu kemudin Sabir tutup, lalu wajahnya melongok di antara kaca yang terbuka setengah. "Itu angka favoritmu, ya?"

Istrinya mengangguk, lalu menurunkan kaca sepenuhnya agar suaminya itu tidak merupa cicak terjepit.

"Iya, angka favorit. Emang kenapa?"

"Enggak apa-apa. Aku juga suka 8. Tapi ada tambahannya."

"Apa tambahannya?"

"8-3-1." Senyumnya mengembang. "Pamit lagi, ya, Ibu Eren. Nyetirnya hati-hati. Semoga hari ini kita akan baik-baik saja, dan tentunya menyenangkan. Dadah!"

Serena tidak sempat membalas lambaian suaminya sebab si dia sudah lebih dulu lari menjauh. Di kursi penumpang, sang puan berpikir cepat.

"8-3-1?" Rasa-rasanya Serena tidak asing dengan angka itu.

Mengandalkan ponsel, ia mengetikkan tiga digit angka itu ke laman pencarian. Tidak butuh waktu lama, jawaban ia dapatkan.

Secara harfiah arti 831 adalah 'I Love You' yang jika diterjemahkan adalah aku cinta kamu.

Dengan begitu saja, ponsel Serena sukses jatuh ke paha.

***

"Mbak, adonannya mau dirolling sampai sepanjang apa?" Ningsih sudah keheranan sekali memerhatikan bosnya itu menggiling dough dengan tangan. Konon, katanya hanya menginginkan ukuran 20 cm. Tapi yang dilihatnya sekarang sudah jauh dari yang bosnya mau.

"Mbak? Mbak Eren?"

Serena tersentak. "Eh, ya?"

Ningsih menunjuk dough di atas meja khusus untuk mengolah adonan. "Saya rasa yang begitu udah nggak bisa disebut baguette, Mbak."

Otomatis Serena memerhatikan adonan yang masih ia pegang. Astaga! Ini sudah terlalu panjang. Benar kata Ningsih, bukan Baguette lagi namanya, sudah mirip tali tambang.

"Oh iya, sori, sori. Saya enggak fokus." Akhirnya adonan tadi ia satukan kembali. Mengenyahkan pikirannya yang tertinggal pada halaman informasi di internet, ia menguleni adonan dengan santai.

"Kita ulang dari awal pembelajarannya, ya, Ning."

"Oke, Mbak." Ningsih setia dengan buku catatan kecil di tangan. Siap untuk mencatat materi ke sekian dalam membuat roti yang diberikan secara cuma-cuma oleh bosnya.

"Seperti yang saya bilang sebelumnya, yang paling penting dalam shaping itu harus ngerti dulu sama adonannya. Dough yang saya ambil sekarang beratnya 150 gram, otomatis nanti dirolling sampai ukuran 20 cm. Itu udah pas, kalau kelebihan, udah enggak kayak Baguette. Betul kata kamu tadi."

Ningsih manggut-manggut.

"Setiap selesai di shaping begini, langsung resting ke atas kain linen."

"Tujuannya apa, Mbak?"

"Supaya proofing adonannya sempurna. Resting cukup lima-belas sampai tiga-puluh menit aja. Nanti setelahnya kamu scoring, kasih sayatan yang biasa, miring gitu, kayak Baguette pada umumnya. Kemudian oven di suhu 230 derajat, dan tunggu tiga puluh menit. Oke, ya? Mengerti?"

"Siap, Mbak. Dimengerti."

Serena mencuci tangannya. Akibat angka sialan yang meluncur dari mulut suaminya, ia jadi tidak fokus untuk bekerja. Hal pertama yang tadi pagi membuatnya spaneng adalah tidak sengaja mencampurkan kecap ke dalam adonan roti. Serena lupa dapur tokonya ini sudah seperti rumah kedua, di mana bumbu-bumbu dapur yang tidak berkenaan dengan roti pun tersedia. Untung saja tadi adonannya bisa diambil separuh, dan sisanya bisa dilanjutkan untuk jadi roti sisir.

Langit mendung seharian, tapi yang namanya hujan tidak kunjung turun. Memoria bakery jadi nampak temaram, apalagi buku-buku di rak menambah kesan dingin. Cahaya lampu tidak cukup menghangatkan ruangan, meski terang, tetap terkesan remang.

Serena berada di balik konter untuk mengecek pemasukan bulanan saat suara lonceng pintu bergemerincing tanda ada pelanggan.

"Selamat datang di Memoria bakery," sambutnya. "Masnya mau pesan apa?"

Pria dengan kemeja rapi itu tersenyum ramah. Rambutnya agak gondrong dan dikuncir setengah.

Melihat penampilannya, Serena merasa tidak asing.

"Mau bluder-nya, dong, Mbak."

"Boleh. Mau yang isian apa?"

"Cokelat, tiga. Tolong dibungkus yang rapi, ya, Mbak."

"Oke. Tunggu sebentar, ya."

Serena mengambil tiga Bluder dalam etalase, dan membungkusnya menjadi satu dalam kotak memanjang. Sejurus kemudian, pesanannya diserahkan.

"Totalnya tiga-puluh ribu, Mas. Mau bayar via apa?"

"Cash aja, Mbak." Sambil menyerahkan uang lima-puluh ribu.

"Baik, sebentar, ya." Serena mengolah struk belanjanya dan memberikan pada pria itu sekaligus dengan kembaliannya.

"Terima kasih."

"Sama-sama, Mbak. Semoga dipertemukan lagi."

Perempuan ini memiringkan kepala sekilas : sedikit mengingat-ingat siapa pria ini. Lalu, tersenyum tipis memerhatikan dia berlalu keluar toko.

"Siapa yang datang, Mbak?"

Ningsih meletakkan Baguette yang sudah jadi ke atas etalase. Mau dimasukkan ke keranjang khusus Baguette.

"Enggak kenal."

Serena beralih membuat kopi, rasanya tidak sanggup dengan udara yang sejuk sejak pagi.

"Kamu gimana, Ning?"

"Gimana apanya, Mbak?"

"Sama kisahmu yang dulu."

Ningsih tersenyum samar, lantas meraih sapu untuk membersihkan lantai bakeri.

"Ya gitu, Mbak. Udah enggak ada harapan."

"Kamu, sih. Kan, saya bilang ungkapin aja kalau emang suka, jangan dipendam lama-lama."

"Enggak enak juga mau ngasih taunya, Mbak."

"Kenapa enggak enak?"

"Orangnya udah punya istri."

"Walah, kamu enggak bilang orang yang kamu ceritain udah nikah." Serena tersenyum menampilkan giginya. "Kalau begitu ya, enggak ada harapan. Cari yang lain. Awas aja kepikiran jadi orang ketiga. Kasihan istrinya nanti, Ning."

Ningsih manggut-manggut sembari melanjutkan kegiatannya.

"Mau kopi juga enggak?"

"Enggak usah, Mbak. Makasih."

Serena berlalu menuju pojok kiri, siap membaca buku tatkala ponselnya berdenting. Ada pesan masuk dari sepupunya : Cindy Ayudia.

Tumben sekali.

Mbak, lagi di mana?

Serena mengetikkan balasan kilat.

^^^Toko.^^^

Aku ke sana, ya. Udah lama enggak mampir, nih.

^^^Boleh. Datang aja.^^^

Ponsel ia tutup kembali. Baru hendak membaca paragraf pertama dari buku berjudul Before the Coffee Gets Cold, suara gemerincing di atas pintu kembali menarik perhatian Serena sepenuhnya.

Mas-mas yang tadi memesan Bluder kembali dalam keadaan setengah basah.

"Mbak, maaf, boleh duduk di sini? Di luar sedang hujan deras."

Otomatis ia melirik luar kaca, benar saja, langit yang memang sudah mendung sejak pagi, akhirnya meruntuhkan tangisnya. Rinai hujan sudah menutup jarak pandang siapa pun yang ingin mengintip keluar sana. Maka dengan itu, Serena mengangguk pada sang pria.

"Silakan, Mas. Duduk aja."

Serena pikir dia akan mencari kursi lain, sebab toko sedang sepi. Namun ternyata, dia memilih mendaratkan diri di depan Serena.

"Terima kasih, Mbak. Aku enggak bisa ke mana-mana karena naik motor, enggak bawa mantel hujan," terangnya, tanpa diminta.

Wanita ini mengangguk, lalu menyesap kopi hangatnya.

"Masnya mau minum?"

"Ah, enggak usah. Makasih lagi."

"Saya izin baca buku ya, Mas. Masnya kalau mau baca juga, silakan pilih buku di rak. Gratis, kok."

Giliran si dia yang mengangguk. Tanpa pikir lama, berdiri untuk meraih buku yang nampaknya sudah dilihat sejak tadi.

"Penggemar Toshikazu Kawaguchi, ya, Mbak?"

Serena mengangkat pandangan dari bacaan. Alisnya terangkat naik seakan bertanya maksud pertanyaan sebelumnya.

"Aku lihat banyak buku karangannya di sini. Yang Mbak baca, sama yang ini juga." Dia menunjukkan buku di tangan.

"Waduh, enggak tahu saya, Mas. Saya aja baru mau baca yang ini," jawab Serena seadanya.

"Oalah, kirain fansnya. Banyak banget buku-bukunya, Mbak."

Serena tersenyum ramah. "Buku-buku yang masnya bilang karangan Toshikazu Kawaguchi ini bukan saya yang beli."

"Oh ya? Jadi siapa kalau boleh tahu?"

"Suami saya. Dia yang kayaknya penggemar penulis yang Masnya sebut tadi."

Pria itu terhenyak sejenak, lantas tersenyum dan mengangguk. Kemudian mulai membuka buku yang ada di tangan, membacanya dalam hening.

Beberapa detik, Serena berulangkali melirik. Dalam benak berpikir, di mana ia pernah bertemu dengan orang ini? Rasa-rasanya betulan tidak asing.

"Masnya,"

"Ya?" Dia menurunkan buku yang menutupi wajah.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Pria itu langsung mengangguk. "Aku datang ke sini tadi, pesan Bluder terus ketemu sama Mbaknya."

"Ah, kalau itu namanya bukan pernah ketemu. Tapi baru bertemu." Serena geleng-geleng kepala, agak mengherankan pola pikir sang pria.

"Tunggu dulu, Mbak," cegat pria itu, nampak enggan diabaikan begitu saja. Lalu melanjutkan, "Kita ketemu di Memoria Bakery, iya. Kemudian kemarin lusa, kita juga ketemu di salah satu kafe, dan aku kirimi Cheesecake."

Ohhhhh!!! Sorakan itu seakan bergaung di telinga Serena. Pantas saja ia merasa pernah jumpa. Ternyata ini adalah Mas Gondrong yang bertemu dengannya saat ia makan-makan dengan Nana serta teman-teman adiknya.

"Ternyata Masnya yang waktu itu." Serena tersenyum lebar. "Makasih banyak, ya. Saya suka cheesecake yang kamu beri."

Dia balas tersenyum.

"Berhubung Mbaknya suka, boleh kita kenalan?"

Serena meraih cangkir kopinya, menatap lurus, seraya berpikir. Berkenalan bukanlah bagian dari pengkhianatan terhadap suami, kan? Jadi, dia mengangguk.

"Boleh."

Tangan pria itu terjulur ke depan bersamaan dengan Serena yang sedang menyesap kopi,

"Aku... Janu Baskara. Lama tak jumpa, Serena Awahita."

Cairan hangat beraroma pekat yang sedang diminum otomatis naik ke hidung. Serena tersedak.

***

1
Mamaqilla2
udah end kah ini cerita nya 🤧
Sriza Juniarti
kereenn, saya suka ,alur dan penggalan ktanya bagus
Mamaqilla2
missyuuuu somuch much sama couple ini 🥰
sehat selalu ya othor biar bisa update tiap hari 😍
Mamaqilla2
ternyata udah end ya kak ceritanya 🥴
Sabir kecelakaan kereta dahlah gabisa dilanjutkaaah selallu menunggu lho update mu🤦‍♀️
wattpad: maaf baru balas, kak. akhir-akhir ini lagi sibuk banget sampai lupa update :) hari ini aku post bab baru deh ya...
total 1 replies
Mamaqilla2
kq tumben belum up akak 😌
Nining Chili
wkwkwkwkwkwk....mmg pasangan ini luarr biasaaa 😁
Nining Chili
pstiii si ningsih yg moto 😴😴
Nining Chili
terytaaaaa.... januuu dtgg sabirrr 😁😁
Nining Chili
hahahahaahahahh😂😂😂
Nining Chili
senengnx 🥰
Mamaqilla2
ga usah datanglah Sab ngapain juga aelaaah pikir2 lagiii dah mending berkabar sama bu Eren gasih 😌
Mamaqilla2
hwaaaa ada gasih laki2 seperti Sabir demi apa idaman sekali 🥲
jadinya berkhayal kan akunya🤣
eh btw thor km nulisnya di PF mana nih aku mau baca karya2 mu nih masha allah 😍
Mamaqilla2
eh aku udh suudzon aja nih sma si Ning 🤣
maapkeun ya Ning ternyata km anak baik2 weei 🤣🔨
Mamaqilla2
taraaaa mak jrreeennngggg 😂
akankah terjadi huru hara.. semoga tyduuck😂
Mamaqilla2
boleh lebay gasih ini dibikin drama series tu baguuuussss😂🥰🥰
wattpad: Waduhh, Kak... jadi salting aku😂 makasihhh dukungannya🥰
total 1 replies
Mamaqilla2
keren kata aku mah nih novel duuuuuh sip lah kata2nya 👏
good job thor sukses selalu yaaakk🤗
Mamaqilla2
finally up jugaaa 😂
beruntung nya kamu Serena dapet Sabir duuuuh pak suami idaman istri dan menantu idaman mertua weeeiii 🤣
Mamaqilla2
tumben belum update kaka
Mamaqilla2
𝒘𝒊𝒅𝒊𝒊𝒊𝒊𝒉 𝒌𝒆𝒓𝒆𝒏 𝒂𝒉 𝒑𝒂𝒌 𝑺𝒂𝒃𝒊𝒊𝒊𝒓𝒓𝒓𝒓 😍
𝒂𝒌𝒖 𝒚𝒈 𝒃𝒂𝒄𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒂𝒋𝒂 𝒎𝒍𝒆𝒚𝒐𝒐𝒐𝒕𝒕... 𝒂𝒑𝒂𝒍𝒈𝒊 𝑺𝒆𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒉𝒊𝒉𝒊 😂
𝒃𝒂𝒊𝒌𝟐 𝒚𝒂 𝒉𝒖𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒍𝒊𝒂𝒏.. 𝑺𝒖𝒌𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒆𝒕 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒑𝒂𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒊 𝒘𝒂𝒍𝒂𝒖𝒑𝒖𝒏 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒏𝒐𝒗𝒆𝒍 𝒕𝒑 𝒌𝒆𝒌 𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂 𝒂𝒔𝒕𝒂𝒈𝒂𝒂𝒂 🥰
𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒐𝒕𝒉𝒐𝒐𝒓 𝒖𝒑𝒅𝒂𝒕𝒆𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒉𝒂𝒕 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒍𝒖 ❤
Mamaqilla2
𝒔𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒏𝒊𝒌𝒂𝒉𝒂𝒏 𝑺𝒆𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝑺𝒂𝒃𝒊𝒓 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒃𝒂𝒊𝒌𝟐 𝒔𝒂𝒋𝒂..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!