Novel ini menggunakan POV 1 (Lydia). Apabila ada yang mengatakan arti keluarga adalah motivator terbaik, tempat memberikan ketenangan, tempat bersandar paling nyaman. Nyatanya itu semua tidak di dapatkan oleh Lydia. Ia terpaksa mengambil keputusan bekerja menjadi pembantu. Bukan karena dia kekurangan uang, hanya saja Lydia merasa bahwa rumah masa kecilnya sudah tidak senyaman dulu.
Lydia adalah anak sulung dari tiga bersodara, usianya kini sudah 36tahun, tiga adik perempunya sudah menikah. Hanya ia sendiri yang belum menemukan jodohnya. Gunjingan dari tetangganya terus ia dengar hingga ia tidak kerasa lagi tinggal dikampung halamannya dan juga keluarga. Mirisnya lagi bukan hanya tetangga, tetapi ketiga adiknya pun seolah memusuhi dirinya dengan alasan ia akan merebut suami mereka. Rumah dan lingkungan yang dulu nyaman, kini menjadi tempat yang ingin ia hindari.
Mampukah Lydia mendapatkan arti keluarga yang sesungguhnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ocybasoaci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keributan, Aku Melawan!
Tanpa terasa aku sudah tiga hari di kampung halaman. Dalam waktu tiga hari lagi juga aku akan menikah. Suasana rumah pun makin ramai. Sanak keluarga yang datang pun semakin banyak.
Bahkan sodara-sodara yang jauh sudah pada kumpul. Hatiku semakin tidak karuan. Karena dari penyambutan dan dari keruwetan yang aku lihat acara pernikahanku adalah yang paling meriah dari pada adik-adikku. Meskipun adik-adiku juga tak kalah meriah tentunya, tetapi untuk acaraku aku duga dan pastikan paling meriah. Bapak juga bilang kalau pernikahan aku adalah yang paling terakhir, sehingga beliau ingin membuat pesta rakyat ala keluarga ningrat, mungkin.
Dari hiburan saja Bapak bilang sampai membuang uang ratusan juta, belum untuk menu prasmanan ada tiga ekor sapi yang di sediakan. Jantungku semakin tidak karuan. Was-was kalau acaraku akan berujung seperti yang sudah-sudah. Tegang yang luar biasa, apalagi Aarav, calon suamiku itu selama aku pulang kampung hanya mengirim pesan sekali yaitu menanyakan sudah sampai belum, dan keadaan di kampung seperti apa. Aku balas pesanya, dan sampai sekarang tidak ada lagi pesan dari calon suamiku.
Aku melihat ponsel yang ada di tanganku. Satu pesan masuk dari Bapak. Sebetulnya aku malas ke luar kamar, kalau bukan yang penting-penting banget. Berhubung ini Bapak yang memanggil aku pun terpaksa menemui Bapak.
Aku menghentikan langkah, tepat di depan ruang keluarga. Kupingku dalam hitungan detik seketika memanas, dadaku juga seprti mau meledak.
"Denger-denger Lydia mau menikah sama duda."
"Pantes kebelet nikah, pasti yang lakinya nggak tahan lagi."
"Lagian nunggu yang perjaka mana ada yang mau sama yang udah tua, tenaganya kurang. Kalau duda kan sama-sama tua." (Suara cekikikan sang penggosip)
"Jadi penasaran kayak gimana calon suaminya. Jangan-jangan seumuran Pak Lurah."
"Aku malah curiga, kalau.Lydia itu udah hamil duluan. Mana tahan duda nggak minta DP, pasti juga dia udah di DP-in duluan, makanya buru-buru kebelet dihalalin biar nggak keburu malu."
"Biar Duda tapi kaya."
"Kaya beneran atau kaya maksa, paling juga ini mah Lydia yang modalin, mana mau dia kalah sama adek-adeknya. Makanya dia bikin pesta pernikahan yang lebih meriah. Nanti abis hajatan pusing bayar cicilan bank."
"Itu sih derita mereka."
Plakkkk... Plaakkkk... Pllaakkk.... Aku yang sudah sangat kesal mendengar gunjingan mereka langsung melampiaskan pada si biang gosip.
"Kalau ngomong kalian di jaga yah, Lyra, Lisa, Lika. Dari mana kalian yakin kalau apa yang kalian katakan itu benar?" tanyaku sembari menunjuk pada ke tiga adikku, dan juga pada tetangga yang tengah membungkusi kue untuk kendurenan.
"Lah, kan memang calon suami Mbak itu duda kan? Jadi mana yang nggak benar," timbal adikku yang paling bungsu, yang selalu membut aku naik darah. Eh bukan aku saja tapi kedua orang tuaku juga sama, memang kelakukan adikku yang nomor tiga itu sedikit sulit untuk dinasihati. Bahkan Bapak, dan Ibu saja kesulitan untuk menasihati Lyra. Apalagi aku udah jelas aku sangat kesusahan untuk membuat dia sadar.
"Memang calon suami aku duda, tapi poin yang lain kalian gosipin tidak benar semua," belaku. Rasanya hati ini sangat panas ketika calon suamiku digosipin yang tidak-tidak. Apalagi soal umur, justru aku minder karena pada kenyataanya umur aku lebih tua dari calon suamiku. Ah, lebih tepatnya aku dapat duren sawit sekaligus Bronis. (Duda keren sarang duit sekaligus berondong manis)
"Ya udah jangan marah, kalau marah tandanya merasa, semua yang kita omongin nyata," balas adikku lagi membuat aku semakin mendidih, isi kepalaku bahkan rasanya mau meletus. Adikku yang lain sudah kembali melanjutkan pekerjaanya, dan juga para tetangga hanya diam, mungkin mereka pada bingung ketika melihat aku marah.
Apalagi dari sekian tahun, baru kali ini aku menanggapi ocehan adikku yang tidak bermutu. Aku juga manusia yang merasa cape ditidas terus. Aku aku juga ingin memberikan mereka pelajaran.
"Yah, ketika aku marah kalian bilang jangan marah karena itu tandanya merasa, tapi waktu aku diam dan pura-pura kuping aku budek kalian juga bilang. Diam karena ngerasa, diam karena salah. Jadi mau kalian apa aku diem terus, tapi tetap digunjingi, aku marah kamu balik marah dan tetap nyebar gosip terus." Aku melebarkan kedua mataku pada adikku yang juga tidak mau kalah. Tanganku dilipat di depan dada.
Entahlah adikku diam saja, mereka kaget lihat aku marah atau justru mereka tengah menghinaku di dalam hatinya.
"Aku sudah cape jadi bahan gosipan kalian. Aku pikir kalau aku pergi dari lingkungan ini aku akan tenang, nyatanya kalian akan terus mengejarku hingga menemukan celah kecil untuk mengunjingku lagi," bentakku dengan suara yang tinggi.
"Itu hanya perasaanmu saja apa selama ini kami pernah menyebut nama, makanya jangan GR," balas Lyra dengan nada yang seolah tidak mau dipersalahkan.
"Yah, aku tahu itu, memang kalian tidak menyebut nama. Itu semua karena salah satu cara kalian agar bisa ngeles," balas Ku. Kami terus berdebat. Bahkan ruang keluarga yang awalanya hanya ada beberapa tetangga saja kini justru ramai oleh tetangga yang kepo dengan keributan di dalam.
Tidak ketinggalan Bapak dan Ibu juga datang dengan langkah yang tergopoh beliau segera melerai aku dan juga Lyra. Malu? Aku bahkan lupa rasa malu itu yang seperti apa. Kejadian seperti ini bukan hanya baru aku alami saat ini, aku sudah sering mengalaminya.
Aku tetap terlihat santai dengan wajah yang tetus menatap lurus pada Lyra dan bergantian pada orang tuaku. Aku lelah menjadi kakak yang selalu sabar dan memaklumi kesalahan adik-adikku yang berakhir mereka tidak bisa menghormati bahkan menghargaiku. Mereka akan dengan bangga bisa membungkan mulutku. Apabila biasanya aku akan menunduk dan mengeluarkan kata sakralku yaitu 'Maaf' kali ini aku tetap dengan wajah kemarahanku dan kekecewaanku, bibirku aku kunci menunggu wejangan dari Bapa dan Ibu.
Meskipun pasti diujungnya akan ada kata "Mbak kamu adalah kakak paling tua tidak bagus mencontohkan adik-adik kamu seperti ini, ayo minta maaf biar adik-adik kamu mencontoh kamu sebagai anak nomor satu." Aku sudah hafal ucapan Bapak dan Ibu.
"Lyra, Lisa dan Lyka ke ruangan Bapak, kamu juga Mbak," titah Bapak dengan nada bicara yang pasrah. Kasihan? Pasti aku merasa kasihan dengan kedua orang tuaku mereka selalu dihadapkan dengan masalah yang sama terus yaitu pertengkaran anak-anaknya.
Aku berjalan paling belakang dengan Ibu di sampingku, tetapi aku tidak sedikit pun mengeluarkan kata-kataku. Aku sengaja mengunci mulutku, karena aku takut kalau membukanya, kesabaranku yang sudah hilang, bisa mengeluarkan kata yang bisa menyakiti hati bagi siapa pun itu terutama kedua orang tuaku.
Yah, aku memang bisa dikatakan pendiam, tetapi sekalinya ngomong bisa membuat hati orang menangis. Aku tidak akan berpikir dua kali kalau sedang marah, ingin aku sekali ngomong tapi mereka sadar, hal ini yang aku takutkan menyakiti hati orang lain dan menjadikan dendam yang tidak berkesudahan.
Aku tetawa getir untuk kesekian kalinya, seolah sudah menjadi tradisi setiap ada acara besar pasti ada keributan. Kalau dulu-dulu sampai berujung ke pernikahanku yang gagal, apakah keributan kali ini akan lebih parah? Atau justru keributan ini tidak berpengaruh dengan acara yang kami adakan, Entahlah sidang baru akan di mulai. Aku menatap wajah adik bungsuku seolah ada senyum kepuasan di wajahnya.
"Tunggu saja Lyra aku tidak akan membiarkan kamu menggosipkan calon suami aku, kamu tidak akan bisa. Aku tidak akan biarkan kamu bahagia di atas penderitaanku. Kalau aku tidak mampu membalikanya, menjadi deritamu adalah kebahagianku, maka setidaknya kita sama-sama menderita," batinku dengan menatap wajah Lyra yang sangat menyebabkan.
"Musuh terberat memang orang terdekat, mereka akan terus berusaha mencari pembelaan. Bahkan yang salah akan terus saja mencari pembelaan hingga sulit membedakan mana salah dan mana benar. "