Emma tak pernah menyangka akan mengalami transmigrasi dan terjebak dalam tubuh istri yang tak diinginkan. Pernikahannya dengan Sergey hanya berlandaskan bisnis, hubungan mereka terasa dingin dan hampa.
Tak ingin terus terpuruk, Emma memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri tanpa berharap pada suaminya. Namun, saat ia mulai bersinar dan menarik perhatian banyak orang, Sergey justru mulai terusik.
Apakah Emma akan memilih bertahan atau melangkah pergi dari pernikahan tanpa cinta ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Eleanor memijat pelipisnya pelan, matanya sedikit terpejam. Efek alkohol mulai merayapi tubuhnya, membuat kepalanya terasa berat dan pikirannya sedikit kabur.
Ia menyesali keputusannya untuk minum lebih banyak, tapi di sisi lain, rasa pusing itu justru membuatnya merasa lebih tenang mungkin lebih tepatnya, mati rasa.
Sergey memperhatikan perubahan ekspresi istrinya. "Kamu baik-baik saja?"
Eleanor membuka matanya perlahan dan menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Aku baik," jawabnya pelan, lalu tersenyum kecil. "Atau setidaknya, aku tidak lebih buruk dari biasanya."
Sergey menghela napas, lalu bersandar di kursinya. Ia meraih botol minuman di meja, tapi kemudian ragu sebelum menuangkan lagi ke dalam gelasnya.
"Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Sergey?" suara Eleanor tiba-tiba terdengar, lirih tapi menusuk.
Sergey menghentikan gerakannya. Ia menatap istrinya, mencoba memahami arah pertanyaan wanita itu. "Maksudmu?"
Eleanor menegakkan tubuhnya, meskipun kepalanya masih terasa berat. Dan, tenggorokannya panas karena alkohol.
"Kamu menawarkan saham, mengajakku minum, berbicara tanpa bertengkar… itu semua bukan seperti dirimu." Ia menyeringai kecil, matanya sedikit kabur karena alkohol. "Atau mungkin ini adalah dirimu yang sebenarnya, yang selama ini kamu sembunyikan?"
Sergey diam, jarinya mengetuk perlahan permukaan gelasnya.
Eleanor tertawa pelan, tapi tidak ada kebahagiaan di dalamnya. Seperti jiwa yang sudah mati.
"Atau jangan-jangan... kamu hanya butuh seseorang di sini malam ini?" Ia memiringkan kepalanya, ekspresinya seperti seseorang yang baru saja menyadari sesuatu. "Bukan aku, tentu saja. Tapi seseorang."
Sergey menegang.
Eleanor memperhatikan reaksinya dengan penuh minat. "Benar, kan? aku tidak tahu siapa yang muncul di kepalamu saat ini, tapi aku bisa menebak jika itu bukan diriku."
Sergey mengalihkan pandangannya. "Kamu sudah mabuk, Eleanor."
Eleanor tersenyum tipis. "Ya, aku mabuk." Ia menatap gelasnya dengan tatapan kosong. "Tapi itu tidak membuatku salah."
Keheningan menyelimuti ruangan. Sergey merasakan dadanya semakin sesak, seolah ruangan itu tiba-tiba menjadi lebih kecil.
Eleanor menghela napas panjang, lalu menopang dagunya dengan satu tangan. "Aku lelah, Sergey."
Sergey menatapnya. "Lelah karena apa?"
Eleanor menatapnya lama sebelum menjawab. "Lelah berpura-pura bahwa hubungan kita dalam keadaan yang sehat."
Dan kali ini, Sergey tidak bisa mengatakan apa-apa. Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu Eleanor hanya mengatakan kebenaran yang selama ini mereka coba hindari.
Eleanor masih menatap kosong ke dalam gelasnya ketika Sergey akhirnya bergerak. Perlahan, ia bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat, menghentikan jarak di antara mereka.
Tangannya terangkat, lalu dengan lembut menangkup wajah Eleanor, ibu jarinya mengusap pelan pipi istrinya yang terasa hangat karena efek alkohol.
Eleanor mengerjap pelan, napasnya sedikit memburu. "Sergey... apa yang kamu lakukan?"
Sergey tidak langsung menjawab. Matanya mengamati setiap inci wajah Eleanor, seolah mencari sesuatu mungkin jawaban, kepastian, atau mungkin sekadar keberanian untuk melakukan apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Eleanor meracau, kata-katanya tidak jelas. "Aku lelah... lelah mencoba memahami kamu, lelah menjadi seseorang yang tidak pernah kamu lihat..."
Eleanor tertawa kecil, suara tawanya dipenuhi kepedihan. "Lucu, kan? aku ini istrimu, tapi rasanya seperti orang asing di sisimu."
Sergey menghela napas pelan. Entah kenapa, mendengar kata-kata itu membuat dadanya terasa lebih sesak dari sebelumnya.
Dan sebelum Eleanor bisa berkata lebih banyak, Sergey menarik tengkuknya dengan lembut, mendekatkan wajah mereka. Lalu bibirnya menyentuh bibir Eleanor.
Ciuman itu bukan paksaan, bukan pula penuh gairah yang membara. Tidak. Itu adalah ciuman yang lembut, hampir seperti permohonan yang tak terucapkan, seperti keinginan untuk menemukan kembali sesuatu yang sudah lama hilang.
Eleanor terkejut sesaat, tapi ia tidak bisa menolak. Mungkin karena alkohol, atau mungkin karena ia terkejut dengan tindakan suaminya itu.
Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam ciuman itu, membiarkan Sergey menariknya lebih dalam, menghapus segala kata-kata yang tak perlu.
Sesaat, waktu seakan berhenti. Tidak ada masa lalu, tidak ada bayangan siapa pun. Hanya mereka berdua, larut dalam sesuatu yang sulit dijelaskan.
Namun, seiring detik berlalu, kesadaran mulai merayap kembali. Eleanor perlahan menjauh, matanya mencari jawaban di wajah Sergey.
"Kenapa?" bisiknya, nyaris tak terdengar.
Sergey menatapnya, masih mendekap wajahnya di kedua tangannya. "Aku... minta maaf Eleanor."
"Maaf?" Eleanor memiringkan kepalanya ke samping kiri. "Untuk apa? untuk luka yang kamu berikan? atau untuk janji manis yang dulu kamu ucapkan?"
Sergey terdiam. Tatapan Eleanor sangat menusuk, penuh dengan rasa kecewa yang mendalam, luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
"Aku..." Sergey mencoba bicara, tapi kata-katanya terhenti di tenggorokan.
Ia sendiri bahkan tidak yakin untuk apa ia meminta maaf. Untuk semua yang telah ia lakukan? atau untuk semua yang tidak pernah ia lakukan?
Eleanor tersenyum kecil, tapi senyum itu sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan.
"Aku sudah lama berhenti mengharapkan maaf darimu, Sergey," katanya pelan, tapi tajam. "Karena aku tahu, itu tidak akan mengubah apa pun."
Sergey mengusap wajahnya, frustrasi. "Aku tidak tahu harus mengatakan apa."
Eleanor tertawa pelan, getir. "Tentu saja. Kamu tidak pernah tahu, bukan? bahkan setelah semua ini, kamu masih berdiri di sana, mencoba mencari alasan, mencoba membenarkan dirimu sendiri."
Sergey mengeratkan rahangnya. "Aku tidak sedang mencari alasan, Eleanor."
Eleanor menatapnya dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. "Lalu katakan, Sergey. Ciuman itu... apa artinya?"
Sergey tidak langsung menjawab. Ia ingin mengatakan bahwa itu adalah perasaan yang nyata, bahwa mungkin di dalam hatinya masih ada tempat untuk Eleanor. Tapi sesuatu di dalam dirinya seakan menahan ia mengatakannya.
Bayangan Aria kembali muncul di benaknya. Kata-kata wanita itu menggema lagi, semakin kuat.
"Jika aku bukan bagian dari hidupmu lagi, kenapa kamu tidak bisa mengatakan kalau kamu mencintai Eleanor?"
Sergey merasakan dadanya semakin sesak. Kenapa ia tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana ini? kenapa Eleanor harus bertanya? dan kenapa, bahkan setelah menciumnya, ia masih merasa kosong?
Eleanor tersenyum pahit melihat kebisuan Sergey. "Aku mengerti."
Ia meraih gelasnya, meneguk sisa alkoholnya dalam satu tegukan sebelum meletakkannya kembali ke meja.
"Aku lelah, Sergey," katanya dengan suara yang hampir bergetar. "Lelah berharap kamu akan mencintaiku seperti dulu aku mencintaimu."
Sergey terhenyak, tapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Eleanor sudah bangkit dari kursinya. Langkahnya sedikit goyah karena alkohol, tapi sorot matanya begitu tegas.
"Aku akan tidur," katanya singkat. "Selamat malam, Sergey."
Dan tanpa menoleh lagi, Eleanor melangkah pergi menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua, meninggalkan Sergey yang masih berdiri di tempatnya, membiarkan keheningan yang dingin menyelimuti pikiran Sergey.
Ketika Eleanor sudah masuk ke dalam kamarnya, Sergey menghela napas panjang. "Haa... semuanya sangat membingungkan."
thor 😄😄😄😄😄😄