Keris Mpu Gandring menghilang usai berhasil menggenapi tujuh korban sesuai kutukan sang pembuat saat Ken Arok membunuhnya.
18 tahun setelah Pusaka Penebar Petaka itu menghilang, seorang pendekar muda yang baru turun gunung menggegerkan dunia persilatan dengan memegang Pusaka Penebar Petaka itu di tangan nya.
Siapakah dia? Apa hubungannya dengan bayangan hitam yang mencabut keris pusaka itu di tubuh sang korban terakhir saat Seminingrat menghabisi nyawa Apanji Tohjaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa Buru-buru Pergi?
Para murid Padepokan Gunung Hijau langsung mengepung Iblis Golok Pucat di halaman rumah makan itu segera. Mereka tidak ingin kecolongan lagi karena meremehkan kemampuan kanuragan dari lelaki berkulit pucat di depan mereka.
Seorang anak murid Padepokan Gunung Hijau segera melesat menyerang Iblis Golok Pucat seraya babatkan pedangnya ke arah leher lawan.
Shreeeeettttthhh..
Namun Iblis Golok Pucat hanya menggeser tubuhnya sedikit ke samping hingga sabetan pedang anak murid Padepokan Gunung Hijau hanya meleset 4 lebar jari dari lehernya.
Tangan kanannya dengan cepat memutar golok besar, hingga menciptakan putaran angin dingin. Dalam sekejap mata kemudian, dengan memakai kedua tangan nya Iblis Golok Pucat membabat perut sang lawan memakai golok besar nya.
Chrraaasssshhh..
Aaaarrrgggggghhhhh!!
Jerit keras memilukan hati terdengar dari mulut anak murid Padepokan Gunung Hijau saat golok besar Iblis Golok Pucat membabat perut nya hingga isi perutnya terburai keluar. Dia tewas bersimbah darah.
Usai menghabisi nyawa seorang pengepung, Iblis Golok Pucat melesat cepat salah satu dari mereka. Golok besarnya membabat leher seorang anak murid Padepokan Gunung Hijau yang salah langkah.
Chhreepppppph!
Sedangkan tangan kirinya menghantam dada orang di samping nya dengan pukulan bertenaga dalam tinggi.
Dhiiieeeessshh..
Aaauuuuggggghhhhh!!
Dua orang pengepung langsung terkapar bersamaan. Melihat kawannya tewas, tiga orang pengepung lainnya langsung membabatkan pedang nya ke Iblis Golok Pucat.
Dengan memakai golok besar nya, Iblis Golok Pucat menangkis sabetan pedang para anak murid Padepokan Gunung Hijau.
Thrrraaannnnggggg!
Dengan cepat, Iblis Golok Pucat menendang perut orang paling ujung.
Bhuuukkkhhh..
Ooouuugggghhhhh!
Orang yang menerima tendangan keras dari Iblis Golok Pucat terpelanting sedangkan dua lainnya yang tak kuat senjata nya beradu dengan golok besar pendekar menakutkan itu goyah kuda-kuda nya.
Iblis Golok Pucat segera hantamkan tangan kirinya yang di lambari tenaga dalam tingkat tinggi pada dua orang yang menyerangnya. Angin dingin menderu kencang berbarengan dengan hantaman tangan kiri Iblis Golok Pucat.
Blllllaaaarrrrrrrhhhh!!
Dua orang anak murid Padepokan Gunung Hijau langsung roboh. Mereka tewas dengan dada remuk dan darah segar mengalir dari mulut dan hidungnya.
Empat orang anak murid Padepokan Gunung Hijau yang tersisa termasuk si kepala plontos segera merangsek ke arah Iblis Golok Pucat.
Namun dengan gerakan cepat bagai kilat menyambar, Iblis Golok Pucat membabatkan goloknya ke arah perut 4 orang itu sekaligus. Menggunakan jurus Golok Kilat Membelah Bumi, dalam satu tebasan mampu menyerang beberapa orang sekaligus.
Shhhrreeeetttthhhh!!!
Aaaarrrgggggghhhhh!!!
Jerit kesakitan terdengar dari mulut keempat anak murid Padepokan Gunung Hijau. Tiga dari mereka menderita luka robek pada perutnya. Usus mereka terburai keluar dan tak lama kemudian mereka tewas.
Si kepala plontos yang masih bertahan karena luka nya tak sampai menembus perut terus membekap luka nya. Ada raut ngeri di wajah si kepala plontos saat tatapan mata Iblis Golok Pucat beradu dengan dirinya.
"Katakan pada guru mu,
Jika dia ingin menuntut balas kematian Kuda Maruta, jangan mengutus para murid berilmu rendah seperti kalian.
Hanya mengotori Golok Awan ku saja", teriak Iblis Golok Pucat sambil membersihkan darah di golok besar nya dengan mengusapkan golok besar itu pada mayat anak murid Padepokan Gunung Hijau.
Sekejap mata kemudian Iblis Golok Pucat melesat meninggalkan tempat itu menyisakan murid Padepokan Gunung Hijau yang berkepala plontos itu dengan luka di perutnya, menghilang di kegelapan malam. Dengan tertatih-tatih, si kepala plontos berjalan menuju ke kuda tunggangan nya yang tertambat di geladakan kuda warung makan. Susah payah dia naik ke kudanya, lalu bergegas menuju ke arah Padepokan Gunung Hijau di Utara Pakuwon Binangun.
Iblis Golok Hijau adalah salah satu Pendekar dunia persilatan dari golongan putih, namun tindakan nya yang kejam membuat dia banyak mempunyai musuh. Dia pernah membantai Ketua Perguruan Pedang Keadilan karena berselisih paham saat pertemuan para pendekar tempo dulu, hingga dia banyak di buru banyak pendekar yang mengatasnamakan kepentingan golongan putih. Namun sesungguhnya mereka hanya mencari cara agar bisa terkenal dengan mengalahkan Iblis Golok Pucat. Salah satunya adalah Kuda Maruta, murid utama Padepokan Gunung Hijau dari Kurawan.
Tapi bukan nya terkenal, nyawa Kuda Maruta justru melayang di tangan Iblis Golok Pucat. Satu julukan yang menakutkan walaupun dia tidak pernah menerima julukan itu.
Di sisi lain Kadipaten Kurawan, tepatnya di barat kota yang merupakan markas Kelompok Kelabang Ireng terjadi kehebohan.
Kabar tentang Kebo Gunung yang merupakan satu dari 12 sesepuh Kelompok Kelabang Ireng tewas di tangan para prajurit Kadipaten Kurawan sampai di telinga Ronggo Geni yang juga salah satu dari 12 sesepuh.
Pria bertubuh tegap itu kira kira berusia 5 warsa. Rambutnya yang merah seperti api merupakan ciri tersendiri dari penguasa markas Kelompok Kelabang Ireng di Kurawan. Diantara 12 sesepuh, dia termasuk 4 orang dengan kesaktian tinggi hingga memegang satu markas Kelompok Kelabang Ireng.
Kebo Gunung adalah salah satu bawahannya yang pernah ikut memporak-porandakan beberapa wilayah Kadiri pada masa pemerintahan Guningbhaya yang membuat nama Kelompok Kelabang Ireng menjadi terkenal di kalangan masyarakat Tumapel waktu itu. Kebo Gunung juga berjasa ikut membangun kelompok itu hingga mampu menjadi pasukan bawah tanah yang di segani oleh para Adipati wilayah Singhasari sekarang.
"Kurang ajar!
Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Walang Sangit, apa kau tahu siapa yang berani membunuh Kebo Gunung?
Kesaktian Kebo Gunung lumayan tinggi, tidak mudah untuk membunuh nya. Setahu ku para punggawa Kadipaten Kurawan, hanya Senopati Dandang Mangore saja yang berilmu tinggi", tanya Ronggo Geni sambil gemeretuk gigi nya karena menahan marah. Tangan pria paruh baya itu juga meremas pegangan kursi nya hingga kayu jati itu hancur.
"Menurut beberapa anggota, di rombongan prajurit itu hanya Tumenggung Jaran Gandi saja yang ada, Kakang Ronggo..
Kalau hanya dia, aku pun yakin pasti Kebo Gunung baik baik saja. Namun yang membunuh Kebo Gunung bukan Tumenggung Jaran Gandi, Kakang. Menurut kabar yang aku terima dari Bango Ireng, pembunuh nya adalah seorang pemuda tampan berbaju putih", jawab Walang Sangit segera.
"Jadi cecunguk bangsat itu masih hidup.
Panggil dia kemari Sangit. Aku ingin menanyainya langsung", Ronggo Geni geram dengan Bango Ireng karena pernah membangkang terhadap perintah nya. Kali ini adalah kesempatan untuk menyingkirkan nya. Walang Sangit segera mundur dari tempat nya untuk memanggil Bango Ireng.
Walang Sangit segera mundur dari beranda kediaman Ronggo Geni yang ada di tengah markas Kelompok Kelabang Ireng. Tempat itu sangat terpencil. Untuk mencapainya, harus melewati bukit berbatu yang curam. Satu satunya jalan keluar adalah harus menyeberangi sungai kecil berarus deras yang banyak di huni ular berbisa.
Markas Kelompok Kelabang Ireng berpagar kayu gelondongan yang di tata setinggi satu setengah tombak hingga orang biasa tidak mungkin sanggup untuk melompatinya. Di tengah markas berdiri sebuah rumah besar yang menjadi pusat pergerakan kelompok itu di wilayah Kurawan. Lalu tiga rumah sedang yang merupakan tempat tinggal Kebo Gunung, Walang Sangit dan Mahesa Paku. Kemudian puluhan rumah kecil dan gubuk kayu yang di huni para anggota Kelompok Kelabang Ireng lainnya.
Tak berapa lama kemudian, Walang Sangit datang bersama Bango Ireng.
"Salam hormat Sesepuh", ujar Bango Ireng sambil membungkukkan badannya.
"Hemmmmmmm, tak perlu banyak basa-basi.
Cepat ceritakan pada ku siapa yang membunuh Kebo Gunung? Bagaimana kalian bisa bentrok dengan prajurit Kadipaten Kurawan?", tanya Ronggo Geni segera.
Bango Ireng mulai bercerita tentang awal kepulangan Jurang Grawah yang terluka dari menyatroni Desa Karangan untuk mengamankan jalur menuju ke Kadipaten Anjuk Ladang sampai penyerbuan ke Desa Karangan yang mengakibatkan tewasnya 30 anggota Kelompok Kelabang Ireng termasuk Kebo Gunung di tangan Arya Pethak dan para prajurit Kadipaten Kurawan.
"Jadi yang membunuh Kebo Gunung masih pemuda berusia 2 warsa?", tanya Ronggo Geni segera.
"Benar Sesepuh,
Ilmu kanuragan pemuda itu sangat tangguh. Saya saja sampai babak belur di hajar oleh dia", jawab Bango Ireng sambil menunduk. Pria bertubuh kurus itu malu untuk mengakui kehebatan ilmu kanuragan Arya Pethak.
"Kalau Kebo Gunung saja di bunuh oleh nya, lantas apa yang membuat dia melepaskan mu ha? Jawab jujur Bango Ireng!", hardik Ronggo Geni yang sudah curiga dengan Bango Ireng yang membocorkan rahasia keberadaan markas Kelompok Kelabang Ireng berada.
"Itu... Itu anu sesepuh..
Saya anu", Bango Ireng tergagap saat di cecar pertanyaan oleh Ronggo Geni.
"Sudah ku duga kau pasti membocorkan keberadaan markas kita ini bukan?
Dasar pengkhianat, mati saja kau bajingan!", tangan kekar Ronggo Geni langsung menyambar leher Bango Ireng dan mencengkeram kuat kuat.
"A-ampuni a-aku Sesepuh..
Am-ampuni nyawa-ku", ucap Bango Ireng dengan tangan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Ronggo Geni.
"Pengkhianat seperti mu pantas mati!", ucap Ronggo Geni yang segera menyalurkan tenaga dalam tingkat tinggi ke tangan kanannya.
Dan...
Krrreeettttuuuukkk!!
Terdengar bunyi seperti tulang patah di leher Bango Ireng, lalu pria bertubuh kurus itu langsung terkulai tak bernyawa. Ronggo Geni mematahkan tulang leher Bango Ireng.
Melihat Bango Ireng tewas, Ronggo Geni segera melemparkan mayat Bango Ireng ke halaman rumah kediaman nya.
"Buang mayat penghianat itu ke sungai. Biar menjadi makanan ikan.
Walang Sangit,
Ajak Mahesa Paku untuk menghadang rombongan pasukan Kadipaten Kurawan itu. Bawa beberapa anggota kita. Aku tidak mau keberadaan markas besar Kelompok Kelabang Ireng ini di ketahui oleh orang orang Kurawan.
Habisi mereka semua nya", perintah Ronggo Geni dengan cepat.
"Baik Kakang,
Perintah mu akan aku lakukan", ujar Walang Sangit yang segera mundur dari tempat itu.
Dengan geram, Ronggo Geni kembali duduk di kursi kayu nya. Pikiran nya menerawang jauh kemana-mana.
**
Sudah tiga hari sejak peristiwa penyerangan terhadap Desa Karangan terjadi, namun tidak ada serangan susulan ke tempat itu lagi. Ini membuat Ki Lurah Tondowongso yakin bahwa Desa Karangan telah aman dari gangguan para pengacau keamanan.
Di samping itu, para prajurit Kadipaten Kurawan yang terluka juga sudah berangsur membaik. Itu sangat melegakan hati lurah sepuh itu.
Selepas senja menghilang dan berganti malam yang gelap, Ki Lurah Tondowongso beserta seluruh prajurit Kadipaten Kurawan yang tersisa dan Arya Pethak juga kawan-kawannya berkumpul di serambi kediaman Lurah Desa Karangan.
"Terimakasih atas bantuan mu Ki Lurah..
Kami merasa sangat terbantu dengan pengobatan yang kau berikan kepada kami", ujar Tumenggung Jaran Gandi sambil tersenyum tipis. Luka dalam perwira tinggi prajurit Kadipaten Kurawan itu memang belum pulih sepenuhnya namun sudah lebih baik dari sebelumnya.
"Ah Gusti Tumenggung bisa saja. Justru harusnya kami yang berterima kasih atas bantuan Gusti Tumenggung dan Pendekar muda Arya Pethak.
Jika tanpa bantuan Gusti Tumenggung dan Pendekar muda, pasti Desa Karangan tinggal sejarah saja hari ini", puji Ki Lurah Tondowongso seraya tersenyum tipis.
"Itu sudah kewajiban kami selaku abdi negara, Ki Lurah. Menjaga keamanan dan ketertiban umum warga Kadipaten Kurawan adalah tugas wajib bagi perwira dan prajurit seperti ku.
Kau tidak usah merasa berhutang budi pada kami.
Oh iya, besok pagi kami bermaksud untuk kembali ke Kadipaten Kurawan. Mohon maaf jika selama kami disini terlalu merepotkan Ki Lurah Tondowongso sekeluarga", ujar Tumenggung Jaran Gandi yang disambut anggukan kepala dari para prajurit Kadipaten Kurawan.
"Tapi luka dalam Gusti Senopati masih belum pulih benar. Bagaimana kalau ada masalah di perjalanan nanti?", ada nada kekhawatiran di ucapan Lurah Desa Karangan itu.
"Ki Lurah Tondowongso tenang saja. Kalau untuk menghadapi begal atau perampok, kami masih sanggup untuk menghadapi nya", sahut Bekel Menjangan Kalung yang tetap saja tak berubah wataknya.
"Baiklah kalau begitu, hamba tidak akan menahan lagi kepergian Gusti Tumenggung dan rombongan.
Sekali lagi sebagai Lurah Desa Karangan, hamba hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada Gusti Tumenggung dan Pendekar muda Arya Pethak.
Sudah malam, mari kita beristirahat Gusti Tumenggung", ucap Ki Lurah Tondowongso yang pamit undur diri dari serambi depan rumahnya. Lelaki sepuh bergeser menuju ke bilik tempat tidur nya.
Semua orang segera membubarkan diri dan beristirahat di tempat masing-masing. Sekarwangi dan Paramita juga melangkah menuju ke kamar tidur mereka yang terletak di samping tempat tidur Rara Saraswati.
Hanya Klungsur, Arya Pethak dan Gajah Wiru yang masih di depan rumah Ki Lurah Tondowongso.
Klungsur langsung menyalakan api ke tumpukan kayu kering yang dia dapat dari samping kandang kuda di belakang rumah. Perlahan api mulai membakar ranting ranting kecil kemudian semakin membesar melahap seluruh kayu di perapian. Gajah Wiru yang tadi sore sempat mencabut singkong di belakang rumah, langsung menaruhnya di perapian.
Tak berapa lama kemudian terdengar suara langkah kaki dari belakang mendekati mereka. Klungsur, Gajah Wiru alias Pendekar Pedang Merah dan Arya Pethak segera menoleh ke arah suara langkah kaki.
Ternyata yang datang adalah Rara Saraswati, putri bungsu Ki Lurah Tondowongso. Gadis cantik itu datang dengan membawa nampan berisi beberapa makanan dan sekendi air minum untuk pelepas dahaga.
"Eh Nimas Saraswati,
Kog belum tidur? Sudah malam loh", sapa Klungsur saat perempuan cantik itu meletakkan nampan di dekat mereka berdiang.
"Ah belum mengantuk aku, Kang Klungsur. Malam ini banyak sekali nyamuk di bilik kamar ku. Makanya aku sulit sekali tidur", ucap Rara Saraswati sambil ikut meletakkan bokong nya ke sebelah Arya Pethak.
"Ya silahkan kalau Nimas Saraswati mau ikut bergabung dengan kami disini. Masih luas kog tempat nya", tawar Klungsur sambil kembali melemparkan kayu kering ke perapian.
Rara Saraswati segera menatap wajah tampan Arya Pethak sebelum berbicara pelan.
"Tadi aku dengar dari Romo, besok pagi kalian akan pergi dari desa ini. Benar itu Kakang Pethak?", tanya Rara Saraswati dengan harap-harap cemas.
"Itu keputusan Gusti Tumenggung Jaran Gandi. Lagipula urusan kami disini sudah selesai, Nimas Saraswati", jawab Arya Pethak sambil tersenyum tipis.
Ada raut wajah tidak rela terpampang jelas di wajah cantik Rara Saraswati.
"Kenapa buru buru pergi?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ikuti terus kisah selanjutnya kak 😁
Yang suka silahkan tinggalkan jejak kalian dengan like 👍, vote ☝️, favorit 💙 dan komentar 🗣️ nya yah 😁
Selamat membaca 🙏😁😁🙏