Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Air yang Dingin di Malam Hari
Malam menutup mansion dengan sunyi yang terasa berat.
Lampu-lampu taman menyala temaram, memantulkan cahaya ke permukaan kolam renang yang tenang. Angin malam berhembus pelan, cukup untuk membuat air beriak halus. Athaya duduk di pinggir kolam, sepatu dilepas sembarangan, ujung celananya digulung sampai betis. Kedua kakinya terendam air, dinginnya merambat perlahan—menusuk, tapi tidak cukup untuk membungkam pikirannya yang berisik.
Gio duduk di sampingnya. Jarak mereka tidak terlalu dekat, tidak juga jauh. Ia ikut merendam kaki, membiarkan air kolam menyentuh kulitnya. Tangannya turun ke perutnya tanpa sadar, mengusapnya pelan dengan gerakan yang nyaris refleks. Ada sesuatu di sana yang membuat tubuhnya ingin melindungi, meski kepalanya sendiri masih penuh kebingungan.
Mereka diam cukup lama.
Hanya suara air yang sesekali bergoyang, dan napas yang tertahan.
“Aku salah,” ucap Athaya akhirnya, suaranya datar tapi rapuh.
Gio menoleh sedikit, lalu kembali menatap air. Tangannya tetap di perut, mengusap perlahan.
“Harusnya gue gak libatin lu,” lanjut Athaya. “Gue kira semua bisa gue kontrol. Rencana, orang, bahkan perasaan.”
Ujung jarinya menyentuh air, mengaduknya kasar. Riak menyebar, memecah pantulan cahaya lampu.
Gio menarik napas dalam-dalam. Mual itu datang lagi, tapi ia menahannya. “Aya,” ucapnya pelan.
“Ini bukan salah lu,” Athaya memotong cepat. “Ini salah gue. Semua.”
Ia tertawa kecil, pahit. “Gue selalu terlalu yakin. Terlalu percaya sama hitungan sendiri.”
Gio mengusap perutnya sedikit lebih lama, seolah menenangkan sesuatu—atau mungkin menenangkan dirinya sendiri. “Aku masih di sini,” katanya lembut.
Athaya menoleh. Untuk sesaat, tatapan mereka bertemu. Mata Athaya tidak setajam biasanya—lelah, terbuka, nyaris kosong.
“Lu gak seharusnya ngerasain ini,” ucap Athaya. “Lu gak seharusnya… hamil.”
Gio mengangguk pelan. “Aku tau ini gak ada di rencana kamu.” Ia berhenti sejenak. “Tapi ini hidupku.”
Athaya membuang pandangannya lagi, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal di pinggir kolam.
“Gw masih gak ngerti caranya luapin kasih sayang. Besar di keluarga yang selalu mainin perasaan bikin gw lupa caranya.”
Kalimat itu keluar begitu saja—tanpa pertahanan, tanpa strategi.
Gio memejamkan mata sebentar. Dadanya terasa sesak. Ia bergeser sedikit lebih dekat, bahunya menyentuh bahu Athaya. Tidak ada pelukan. Tidak ada paksaan. Hanya kehadiran.
“Kalau gitu,” ucap Gio pelan, “kita gak usah ngerti apa-apa malam ini.”
Athaya menatap air kolam. Napasnya mulai tidak stabil.
“Kita duduk aja,” lanjut Gio. “Rendemin kaki. Dengerin air. Itu juga bentuk… peduli.”
Athaya tertawa kecil, tapi suaranya bergetar. “Lu selalu bisa bikin hal sederhana kedengeran masuk akal.”
“Karena kadang memang sesederhana itu,” jawab Gio.
Hening kembali turun. Tangannya tetap di perutnya, mengusap pelan, protektif. Athaya memperhatikan dari sudut mata—gerakan kecil itu menghantam dadanya lebih keras dari teriakan apa pun.
“Aku takut,” suara Athaya turun, nyaris berbisik. “Takut salah lagi.”
“Takut berarti kamu peduli,” balas Gio.
Kalimat itu cukup.
Athaya menunduk. Bahunya jatuh. Napasnya tersendat, lalu pecah. Tangisnya keluar tanpa suara keras—hanya getaran kecil, bahu yang naik turun. Tangannya menutup wajah. Untuk pertama kalinya, ia tidak menahan.
Gio tidak berkata apa-apa. Ia hanya tetap di sana. Bahu mereka bersentuhan. Satu tangannya masih mengusap perutnya, satu lagi menopang tubuhnya di pinggir kolam, seolah menjaga keseimbangan dunia kecil mereka.
Dari balik pintu kaca di dalam mansion, dua sosok mengamati.
Revan berdiri paling dekat, tangannya terlipat di depan dada. Wajahnya lembut, matanya penuh pengertian. Ia mengenali gerakan Gio. Mengenali rasa itu. Di sampingnya, Rajendra berdiri tegak, diam, ekspresinya keras tapi tidak bergerak.
“Biarkan mereka,” ucap Revan pelan.
Rajendra mengangguk sekali. Tidak ada perintah malam itu. Tidak ada teguran.
Di luar, air kolam terus bergoyang pelan. Dua sepupu duduk berdampingan, kaki terendam dingin, satu menangis, satu bertahan. Dan untuk malam itu, itu sudah cukup.
-bersambung-