Di Kota Pontianak yang multikultur, Bima Wijaya dan Wibi Wijaya jatuh hati pada Aisyah. Bima, sang kakak yang serius, kagum pada kecerdasan Aisyah. Wibi, sang adik yang santai, terpesona oleh kecantikan Aisyah. Cinta segitiga ini menguji persaudaraan mereka di tengah kota yang kaya akan tradisi dan modernitas. Siapakah yang akan dipilih Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Balik Tumpukan Kain
Hari ketiga Abi bekerja di gudang Warna Warni Nusantara. Sinar matahari siang menyinari lantai berbeton melalui jendela kecil yang dipenuhi debu, membuat ruangan terasa panas dan lembap seperti gua. Badannya sudah pegal di pinggang dan lutut karena tiga jam lebih terus membongkar, menyusun, dan menyortir tumpukan kain batik yang bertumpuk-tumpuk sampai hampir menyentuh langit-langit. Tapi dia tidak berhenti setiap kain yang dia susun rapi, setiap catatan stok yang dia tulis dengan teliti, adalah bukti bahwa dia sungguh-sungguh ingin membuktikan dirinya setelah semua kesalahan yang telah dia lakukan.
Dia sedang memisahkan kain motif parang rusak warna hitam dan putih motif yang dulu dia suka ubah agar lebih mudah diproduksi, tapi sekarang dia lihat dengan mata yang berbeda: setiap garis melengkung ada artinya, setiap warna ada maknanya. Tiba-tiba, suara teriakan keras yang membuat telinganya berdenging terdengar dari luar gudang.
"Kainku mana? Kain truntum yang sudah aku kerjakan seminggu ini hilang! Gimana ini, Andini? Aku sudah janjiin ke pelanggan!"
Abi berhenti sejenak, tangan yang sedang memegang kain terhenti di udara. Dia menelan ludah dia tahu suara itu. Lalu dia keluar dan melihat Ibu Siti salah satu pengrajin yang paling berpengalaman, disegani, dan juga paling tegas berdiri di depan pintu kantor dengan wajah memerah marah. Di sampingnya, Andini dan Pramudya tampak bingung dan cemas, kertas daftar stok tergeletak di meja sementara.
"Ibu Siti, maaf, kami sudah cek semua rak di gudang tapi belum ketemu," kata Pramudya sambil mengusap kening yang berkeringat lebat. "Kain itu seharusnya sudah masuk stok kemarin sore pas kamu antar."
"Sudah seminggu aku kerja keras buat itu! Setiap hari bangun jam lima pagi, ngecat satu per satu motifnya sampai larut malam!" Ibu Siti mengangkat suaranya lagi, membuat beberapa pengrajin lain yang lewat berhenti untuk melihat. "Kalau hilang, gimana aku dapat uang buat beli beras, baju anak yang sakit? Aku tahu! Karena ada orang baru di sini yang tidak pandai mengatur! Sudah ngacauin motif budaya kita, sekarang ngacauin stok juga!"
Matanya melotot langsung ke arah Abi, yang berdiri di pojok sambil menunduk. Semua orang pun menatapnya. Hatinya terasa kencang seperti mau meledak, dada terasa sesak. Dia ingin lari, ingin menghindari tatapan itu tapi dia ingat kata ibunya: "Jangan sia-siakan kesempatan ini."
Dia mengangkat kepala perlahan, lalu mendekat dengan langkah yang lambat tapi tegas. "Permisi, Bu Siti," ujarnya dengan suara yang tetap tenang meskipun jemarinya gemetar dan suara terasa serak. "Maaf banget kalau ada kesalahan. Semua ini karena salahku kemarin aku yang menyortir stok dan mungkin salah tempatkan. Bolehkah Bu ceritakan lagi detail kainnya? Aku mau cek lagi di gudang dengan cermat, satu per satu."
Ibu Siti menggeram, nafasnya tersengal-sengal karena marah. Tapi dia melihat tatapan Abi yang tulus, dan akhirnya menjawab dengan nada yang sedikit mereda: "Motif truntum warna merah tua, dengan garis emas di pinggir. Kainnya tebal, jenis tulis tangan yang aku beli dari Solo. Ukuran tiga meter, buat baju pengantin buat anak tetangga yang mau nikah minggu depan."
"Baik, Bu. Tunggu sebentar ya. Aku pasti cariin."
Abi kembali ke gudang dan menutup pintu sebentar, agar dia bisa fokus. Dia mulai mencari dari rak paling depan, memisahkan tumpukan kain satu per satu mulai dari kain ceplok warna biru muda, lereng warna hijau tua, sampai parang yang dia soroti tadi. Dia merangkak ke sudut belakang gudang yang lebih sepi, tempat dia memindahkan beberapa tumpukan kemarin karena tempat penyimpanan penuh. Di situ, cahaya lebih redup, dan bau kain lama terasa lebih kental.
Dia memulai dari tumpukan paling bawah. Satu, dua, tiga semua kain bukan yang dicari. Sampai pada tumpukan keempat, dia melihat sehelai kain merah tua yang terlipat rapi di bawah tumpukan kain putih. Dia mengangkatnya dengan hati-hati, dan melihat motif truntum yang indah dengan garis emas yang menyala di tengah kegelapan.
"Ada dia!" teriaknya senang, meskipun hanya sendiri.
Dia membawanya keluar dan memberikannya ke Ibu Siti. Kain itu tidak rusak sama sekali garis emasnya masih sempurna. Ibu Siti melihat kainnya dengan mata yang melebar, lalu mengangkatnya dan mencium permukaannya. Wajahnya yang tadinya marah mulai mereda, digantikan oleh lega.
"Alhamdulillah terima kasih, Abi," ujarnya dengan suara yang lebih lembut. Dia melihat Abi dengan mata yang berbeda tidak lagi marah, tapi ada sentuhan iba dan rasa hormat. "Maaf ya, tadi aku marah-marah. Kamu bekerja keras ya di sini."
Abi tersenyum sedikit. "Tidak apa-apa, Bu. Semua salahku. Nanti aku akan membuat sistem penyimpanan yang lebih rapi agar tidak ada lagi kesalahan."
Ibu Siti mengangguk, lalu berjalan pergi dengan membawa kainnya. Setelah dia pergi, Abi mau kembali ke gudang, tapi tiba-tiba melihat sehelai kain lain yang tergeletak di sudut tempat dia menemukan kain Ibu Siti. Kain itu berwarna coklat muda dengan motif ceplok kembang sepatu yang sangat langka, dengan warna-warna yang sudah memudar karena usia tapi motifnya masih jelas dan indah. Dia mengangkatnya dengan hati-hati teksturnya lembut seperti sutra, seolah menyimpan banyak cerita dari masa lalu.
Dia ingat, dulu ketika Warna Warni baru dibangun, Ibu Siti pernah menceritakan tentang motif ini dibuat oleh neneknya, Mbok Sri, yang merupakan pengrajin batik paling terkenal di daerah Sidoarjo pada masa penjajahan. Motif kembang sepatu itu melambangkan keberanian dan kebahagiaan, tapi sudah jarang dibuat karena sulit dan membutuhkan ketelitian tinggi.
Abi membawanya ke Andini dan Pramudya, yang masih berdiri di depan kantor sambil melihat dia dengan pandangan yang heran. "Kalian lihat ini?" ujarnya, menunjukkan kain itu dengan mata yang menyala. "Ini motif ceplok kembang sepatu dari Mbok Sri, nenek Ibu Siti, kan? Sudah berabad-abad ini, kan?"
Andini mengambil kainnya dengan hati-hati, matanya langsung menyala dengan semangat. "Wah, bener loh, Bi! Aku hanya pernah lihat foto motif ini di buku sejarah batik. Gimana bisa ada di sini?"
"Aku temukan di sudut gudang. Kayaknya sudah disimpan sana lama banget." Abi mengatur napasnya, lalu melanjutkan dengan semangat yang tumbuh: "Kalau kita membersihkannya dengan cara yang benar, dan jadikan koleksi spesial kayak 'Keturunan Nenek' pasti banyak yang mau beli! Kita bisa juga minta Ibu Siti menceritakan cerita Mbok Sri dan makna motif ini untuk promosi. Bukan cuma jual kain, tapi juga jual cerita dan nilai budaya yang kita junjung tinggi."
Pramudya melihat kain itu, lalu melihat Abi dengan pandangan yang semakin hangat. Dia memberikan senyum yang tulus senyum yang Abi tunggu-tunggu sepanjang waktu. "Ide bagus banget, Kak. Sungguh banget. Besok kita bicarakan sama Ibu Siti dan semua pengrajin. Pasti mereka senang banget."
Saat itu, Abi melihat Andini dan Pramudya mulai merencanakan detail koleksi baru bersama-sama mereka berbicara dengan mesra, saling memberi ide, tangan Pramudya menempel lembut di bahu Andini. Hatinya terasa terjepit ada rasa lega yang luar biasa karena ide nya diterima, tapi juga rasa cemburu yang masih tersisa di dalam hati. Tapi dia tahu, ini bukan waktunya untuk itu. Yang penting sekarang, dia sudah membuat langkah pertama yang benar.
"Sudah larut, yuk pulang duluan," kata Pramudya sambil melihat jam di pergelangan tangannya. "Besok kita lanjutkan urusan koleksi dan bikin sistem penyimpanan baru di gudang. Kamu sudah lelah kan?"
Abi mengangguk, senyumnya membesar. Dia keluar dari kantor dan berjalan menuju halte angkutan umum. Langit sudah mulai gelap, bintang-bintang mulai muncul satu per satu. Udara sore Surabaya terasa segar menyentuh wajahnya. Di hatinya, ada cahaya kecil yang muncul cahaya harapan bahwa langkah awal yang sulit ini bisa bawa dia ke jalan yang lebih baik, dan bisa membantu membangun kembali Warna Warni Nusantara yang dulu dia cintai.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*