NovelToon NovelToon
Cinta Untuk Nayla & Nando

Cinta Untuk Nayla & Nando

Status: tamat
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:204
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23: Rumah Kaca yang Dingin

​Mobil SUV hitam berlapis baja membelah jalanan Jakarta yang mulai macet sore itu. Di dalamnya, keheningan terasa mencekam.

​Nayla duduk di kursi belakang, memeluk Nando yang tertidur pulas di pangkuannya. Di sebelahnya, Nenek Ijah—yang baru saja dijemput paksa dari kontrakan oleh tim keamanan—masih bingung dan memegang tas berisi baju ganti seadanya.

​Adit duduk di kursi depan, di samping sopir kepercayaannya. Matanya terus waspada melihat spion, memastikan tidak ada kendaraan mencurigakan yang mengikuti.

​"Kita mau ke mana, Dit? Kenapa harus ninggalin rumah?" tanya Nenek Ijah cemas.

​Adit menoleh ke belakang. Wajahnya lelah tapi sorot matanya menenangkan. "Rumah kontrakan Nenek lagi ada perbaikan listrik darurat, Nek. Bahaya kalau ditinggalin. Jadi sementara Nenek, Nayla, sama Nando nginep di tempat saya dulu ya. Aman kok."

​Adit berbohong demi menjaga jantung Nenek. Nayla hanya diam, mengerti kode Adit. Ia menggenggam tangan Nenek, mengisyaratkan untuk percaya saja.

​Mobil memasuki lobi private sebuah apartemen mewah di kawasan Senopati. Bukan lobi umum, tapi akses khusus penghuni Penthouse.

​"Mari, Bu," sekuriti berseragam safari membukakan pintu.

​Mereka naik lift pribadi yang langsung menuju lantai 50. Tanpa tombol, hanya scan retina mata Adit.

​Ting!

​Pintu lift terbuka langsung ke ruang tamu yang luasnya mungkin tiga kali lipat luas kontrakan Nayla. Lantai marmer putih, dinding kaca setinggi langit-langit yang menampilkan panorama kota Jakarta, lampu gantung kristal modern, dan perabotan yang terlihat sangat mahal tapi kaku.

​"Wah..." mulut Nenek Ijah menganga. "Ini rumah apa lobi hotel, Dit?"

​"Ini rumah saya, Nek. Anggap aja rumah sendiri," Adit tersenyum tipis. "Nenek hati-hati ya, lantainya agak licin buat sendal jepit."

​Nayla melangkah masuk dengan ragu. Rumah ini indah, sangat indah. Tapi dingin. Udaranya terlalu sejuk, aromanya seperti showroom furnitur baru, bukan aroma rumah yang ditinggali manusia. Tidak ada foto keluarga, tidak ada hiasan dinding personal, tidak ada jejak kehidupan.

​Hanya kemewahan yang sunyi.

​"Kamar Nenek di sebelah sana ya, yang pintu cokelat. Ada kamar mandi dalemnya. Nando sama Nayla bisa pake kamar tamu di sebelahnya," tunjuk Adit.

​"Makasih ya, Nak Adit. Nenek mau rebahan dulu, pinggang Nenek encok kaget dibawa ngebut tadi," Nenek berjalan tertatih menuju kamar yang ditunjuk, meninggalkan Nayla dan Adit berdua di ruang tengah.

​Nayla meletakkan Nando perlahan di sofa kulit Italia yang empuk. Ia menyelimuti anaknya dengan jaket.

​"Maaf," ucap Adit pelan, berdiri di belakang Nayla. "Maaf harus bawa kalian ke sini. Ini satu-satunya tempat yang aksesnya nggak bisa ditembus orang luar tanpa izin saya."

​Nayla berbalik, menatap Adit. Di bawah lampu kristal yang terang, ia bisa melihat kantung mata hitam di wajah pria itu. Adit tampak rapuh.

​"Nggak usah minta maaf, Mas. Harusnya aku yang makasih. Kalau nggak ada Mas, aku nggak tau nasib Nando gimana tadi," suara Nayla tulus. Egonya sudah ia tinggalkan di gerbang sekolah tadi.

​"Kamu laper? Saya pesenin makanan ya? Mau steak, pasta, atau..."

​"Di kulkas ada apa?" potong Nayla.

​Adit garuk-garuk kepala yang tidak gatal. "Eh... kayaknya cuma ada air mineral, soda, sama mungkin telur sisa minggu lalu. Saya jarang makan di rumah. Dapur cuma pajangan."

​Nayla tersenyum kecil. Senyum pertamanya hari ini. "Ya udah. Mas Adit duduk aja. Biar aku yang masak. Mas pasti belum makan dari siang kan ngurusin kita?"

​"Tapi Nay, kamu capek..."

​"Masak itu healing buat aku, Mas. Daripada aku diem terus mikirin Vina, mending aku sibuk di dapur."

​Nayla berjalan menuju dapur bersih yang super modern itu. Ia membuka kulkas dua pintu yang besar. Benar saja, isinya menyedihkan. Hanya ada rak telur, sosis beku, bawang bombay, dan nasi putih sisa kemarin di rice cooker kecil yang sepertinya jarang disentuh.

​Nayla menyingsingkan lengan bajunya. Dengan cekatan, ia mulai meracik bahan seadanya.

​Adit duduk di bar stool (kursi tinggi) dapur, memperhatikan Nayla.

Suara pisau memotong bawang di atas talenan kayu.

Suara kompor dinyalakan.

Aroma bawang tumis yang gurih mulai mengusir aroma "showroom" yang dingin itu.

​Untuk pertama kalinya dalam lima tahun Adit tinggal di sana, penthouse ini terasa seperti rumah.

​"Nasi Goreng Sosis Spesial ala kadarnya," Nayla menyajikan piring berisi nasi goreng hangat di depan Adit sepuluh menit kemudian.

​Adit menatap piring itu. Uap panas mengepul.

Ia mengambil sendok, menyuap satu kali.

Rasanya sederhana. Asin, gurih, hangat.

​"Enak," gumam Adit. Tanpa sadar, matanya berkaca-kaca.

​"Kenapa Mas? Nggak enak ya?" Nayla panik.

​"Enak banget, Nay. Cuma... aneh rasanya," Adit meletakkan sendoknya. "Selama ini meja makan ini cuma dipake buat naruh laptop atau berkas kerjaan. Nggak pernah ada masakan rumah di atasnya."

​Nayla menatap sekeliling ruangan yang luas itu. "Mas Adit sendirian terus di sini?"

​"Iya. Kadang rasanya kayak tinggal di dalam kotak kaca. Orang bisa liat saya dari luar, mikir hidup saya enak, padahal di dalem sepi, nggak ada suaranya."

​Nayla merasakan kesepian itu. Ia sadar, selama ini ia mengira orang kaya itu hidupnya sempurna. Ternyata, Adit sama miskinnya dengan dia—miskin kehangatan.

​"Sekarang udah nggak sepi lagi kok," ujar Nayla lembut. "Tuh, denger."

​Dari kamar Nenek, terdengar suara dengkuran halus Nenek Ijah. Dan dari sofa, Nando mengigau pelan, "Robot... robot..."

​Adit tertawa kecil. Tawa yang renyah. "Iya. Berisik yang indah."

​Mereka makan dalam diam yang nyaman. Tidak ada lagi tembok kasta. Hanya dua manusia yang saling mengisi kekosongan.

​Selesai makan, Adit menerima telepon dari Kevin (Tim IT). Wajahnya kembali serius. Ia menjauh ke balkon.

​Nayla membereskan piring, lalu menyusul Adit ke balkon. Angin malam di lantai 50 sangat kencang, mempermainkan rambut Nayla. Di bawah sana, Jakarta gemerlap seperti lautan berlian.

​"Gimana, Mas?" tanya Nayla cemas.

​Adit mematikan ponselnya. Ia menatap Nayla, lalu melepaskan jasnya dan menyampirkannya ke bahu Nayla agar tidak kedinginan.

​"Polisi sudah gerebek kosan Vina di Grogol sejam yang lalu," lapor Adit.

​"Terus? Dia ketangkep?"

​Adit menggeleng, rahangnya mengeras. "Dia kabur sebelum polisi dateng. Tapi polisi nemuin banyak foto kamu dan Nando ditempel di dinding kamarnya. Dia obsesi, Nay. Dia sakit jiwa."

​Nayla merinding. "Terus gimana Mas? Kita nggak bisa sembunyi selamanya di sini."

​"Nggak akan selamanya," Adit menatap mata Nayla tajam, penuh keyakinan. "Tim saya nemuin jejak digital dia pesen tiket bus ke arah Merak. Dia mau kabur ke Sumatera. Polisi udah blokade pelabuhan. Cuma masalah waktu, Nay. Satu atau dua hari lagi, dia pasti ketangkep."

​"Aku takut, Mas..."

​"Ada saya," Adit melangkah maju, memangkas jarak di antara mereka. Ia memegang kedua bahu Nayla. "Selama kamu di sini, di belakang pintu saya, malaikat maut pun harus ngelangkahin mayat saya dulu buat nyentuh kamu atau Nando."

​Nayla menatap pria di hadapannya.

Pria yang rela meninggalkan pekerjaannya, mempertaruhkan nyawanya, dan mengubah rumah mewahnya menjadi tempat pengungsian demi dirinya.

​Rasa itu tidak bisa dibendung lagi.

​"Mas..." bisik Nayla.

​"Ya?"

​"Makasih. Makasih udah jadi pangeran buat upik abu yang keras kepala ini."

​Adit tersenyum lembut. Tangannya terulur, menyelipkan anak rambut Nayla ke belakang telinga.

​"Kamu bukan upik abu, Nay. Kamu ratu di istana ini. Mulai malam ini, dan seterusnya... kalau kamu izinkan."

​Wajah mereka berdekatan. Jantung Nayla berdegup kencang. Ia memejamkan mata, menunggu.

​Tapi Adit berhenti. Ia mengecup kening Nayla. Lama dan hangat. Sebuah ciuman hormat dan janji perlindungan, bukan nafsu.

​"Tidur gih. Kamu pasti capek. Saya jaga di sini," bisik Adit.

​Nayla membuka matanya, tersenyum haru. "Mas juga istirahat. Jangan begadang."

​Nayla masuk ke dalam, meninggalkan Adit yang kembali menatap Jakarta dengan tatapan nyalang.

​Adit tidak akan tidur malam ini.

Sampai Vina tertangkap, dia adalah penjaga malam bagi keluarga kecilnya.

​Namun, Adit tidak tahu, Vina tidak pergi ke Merak.

Informasi tiket bus itu hanya pengalihan isu.

Vina masih di Jakarta. Dan dia sedang berdiri di lobi apartemen seberang, menatap ke arah penthouse Adit dengan teropong, sambil memegang botol berisi cairan yang mudah terbakar.

​"Nikmati malam terakhir kalian," bisik Vina pada angin malam.

...****************...

Bersambung.....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!