Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.
Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.
Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.
Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita Misterius
Sementara itu, di sebuah gedung pencakar langit kawasan Sudirman yang dinding kacanya memantulkan lembayung senja…
Suasana di ruangan itu sangat kontras dengan kehangatan matahari sore di Dufan. Di sini, udara terasa dingin menusuk, diatur secara presisi oleh pendingin ruangan sentral. Tidak ada suara tawa riang, hanya dengungan halus mesin server dan ketukan langkah sepatu pantofel di atas lantai marmer hitam yang mengilap.
Seorang pria berjas abu-abu berdiri kaku, tangannya tertaut di belakang punggung. Pelipisnya sedikit berkeringat meski ruangan itu sedingin kulkas. Di hadapannya, duduk seorang wanita paruh baya di balik meja kerja raksasa dari kayu mahoni gelap.
Wanita itu membelakangi si pria, menatap pemandangan kota Jakarta dari ketinggian lantai 40.
"Gagal?"
Satu kata itu meluncur dari bibir sang wanita. Suaranya halus, tenang, namun memiliki bobot yang membuat si pria berjas menelan ludah dengan susah payah.
"Bukan gagal total, Bu," jawab pria itu buru-buru, namun tetap menjaga nada hormat. "Unit 'Elang' terpaksa menarik diri dari posisi eksekusi."
Wanita itu memutar kursi kerjanya perlahan. Wajahnya masih terlihat cantik dan terawat, namun kecantikan itu terasa kaku seperti topeng porselen. Matanya tajam setajam silet, dengan garis rahang yang tegas.
"Alasannya?" tanyanya datar.
"Karena adanya distraksi oleh subjek... Little Dandelion."
Mendengar kode nama itu, alis wanita itu terangkat sedikit.
"Hahh... gadis itu..." Ia menghela napas panjang, seolah beban berat baru saja diletakkan di pundaknya. "Hidupnya sejauh ini sudah aman dan tenang, hingga pengganggu itu datang. Kenapa dia harus menampung orang yang begitu merepotkan di rumahnya?"
"Laki-laki itu, Target B, menempel ketat pada Little Dandelion, Bu. Dia sangat waspada. Unit kami di Dufan melaporkan bahwa target menyadari keberadaan mereka bahkan di tengah keramaian."
Wanita itu mengibaskan tangannya pelan, tanda bahwa ia tidak peduli dengan detail teknis itu. "Cukup. Menarik pasukan saat musuh dalam kondisi siaga tempur adalah keputusan logis."
Ia kemudian mengambil sebuah tablet tipis di atas meja. Jemarinya yang lentik menggeser layar, menampilkan foto-foto candid hasil jepretan mata-mata hari ini.
Foto Zoya yang sedang tertawa lebar di Kora-Kora. Foto Zoya yang cemberut saat ditarik Bram. Dan terakhir, foto Zoya yang sedang melamun menatap danau, dengan wajah sendu.
Tatapan wanita itu terpaku lama pada foto terakhir. Ekspresi wajahnya yang dingin perlahan retak, menampilkan sedikit kelembutan yang tersembunyi.
"Gadis itu..." bisik wanita itu, suaranya terdengar lebih rendah dan rapuh. "Tidak kusangka dia sudah tumbuh sebesar ini."
"Apa instruksi selanjutnya, Bu? Apakah perintah sebelumnya masih berlaku, yaitu melenyapkan Target B sekarang juga?" tanya si pria, membuyarkan lamunan bosnya.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Ia memperbesar foto wajah Zoya di layar tablet, menelusuri garis wajah gadis itu dengan ujung jarinya, seolah ingin menyentuhnya secara langsung.
"Tidak," jawab wanita itu akhirnya. Ia meletakkan tablet itu kembali ke meja dengan gerakan hati-hati. "Biarkan laki-laki itu bernapas sebentar lagi. Lagipula, dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyakiti gadis itu. Selama Little Dandelion aman, laki-laki itu bisa kita tunda."
Wanita itu bangkit berdiri, berjalan mendekati jendela besar. Bayangannya terpantul di kaca, bersanding dengan bayangan kota Jakarta yang mulai menyalakan lampu-lampunya.
"Lagipula… ia bukanlah musuh yang mudah," ucapnya sambil menatap pantulan dirinya sendiri, lalu beralih menatap foto Zoya di meja dengan tatapan khawatir. "Tapi yang menjadi masalah sekarang adalah kenyataan bahwa pria itu adalah magnet bahaya. Dia punya musuh di mana-mana. Keberadaannya di rumah itu... akan menyeret Little Dandelion-ku ke dalam lumpur dunia hitam."
Wanita itu menoleh tajam ke arah bawahannya. "Pastikan pengamanan ganda. Bukan untuk laki-laki itu, tapi untuk anak itu."
Pria berjas itu mengangguk tegas. "Tenang saja, Nyonya. Saya sudah memperhitungkan kemungkinan terburuknya. Little Dandelion akan tetap aman dalam pengawasan bayangan kami."
...***...
Sepeninggal Bram, kesunyian kembali merayap di bangku besi itu, namun kali ini tidak terasa menusuk. Zoya masih tersenyum-senyum sendiri mengingat tingkah "tsundere" pengasuh dadakannya itu, ketika tiba-tiba ketenangannya dipecahkan oleh suara derap langkah yang berat dan terburu-buru.
Bruk!
Belum sempat Zoya menoleh sepenuhnya, bangku besi itu berguncang hebat. Seseorang menghempaskan diri tepat di sampingnya dengan kasar.
"Hosh... hosh... anjing banget tuh orang..."
Zoya tersentak mundur, matanya membelat. Di sebelahnya kini duduk seorang remaja laki-laki, mungkin seusia anak kelas dua SMP. Kaos oblong hitam bergambar tengkorak yang kebesaran melekat di tubuh kurusnya, tertutup separuh oleh hoodie hitam yang resletingnya terbuka. Celana jeans belel yang robek di bagian lutut menambah kesan urakan. Wajahnya yang mulai ditumbuhi jerawat pubertas tampak berminyak, dan rambutnya yang dicat pirang sedikit di bagian jambul terlihat lepek oleh keringat.
Napas bocah itu memburu cepat, dadanya naik-turun seolah ia baru saja dikejar satu peleton polisi.
"Waduh," gumam Zoya, alisnya terangkat satu. Ia menggeser duduknya menjauh karena aroma keringat bercampur asap rokok yang menguar dari tubuh remaja itu. "Heh, Bocil. Napas lo kayak knalpot Metromini. Abis dikejar Satpol PP lo?"
Remaja itu tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke belakang dengan panik, matanya yang merah dan sedikit liar memindai kerumunan. Setelah merasa aman, ia kembali menyandar dan menempelkan jari telunjuknya ke bibir.
"Ssttt! Berisik lu, Kak! Diem napa, ntar gue ketauan!" sergahnya dengan gaya bicara ceplas-ceplos yang tidak sopan sama sekali. Matanya melotot, tapi bukan tatapan mengancam, lebih seperti tatapan bocah tengil yang sok jagoan.
Zoya mendengus, rasa gelinya timbul melihat tingkah sok keras anak ingusan ini. "Dih, nyolot. Emang kita lagi ngumpet dari siapa sih? Rentenir? Atau emak lo bawa sapu ijuk?"
Tanpa permisi, bocah itu menggeser duduknya semakin rapat, menyenggol bahu Zoya dengan santainya. Ia seolah menganggap Zoya adalah kawan nongkrongnya di warung kopi.
"Dikejar setan miskin!" jawab bocah itu berapi-api sambil meludah kecil ke samping bangku. "Sialan emang. Udah tau nggak punya duit, masih nekat mau fly."
"Fly?" Zoya mengernyit. "Lo dikejar pilot?"
Bocah itu menatap Zoya dengan tatapan meremehkan, seolah Zoya adalah makhluk paling polos di muka bumi. Matanya kemudian tertuju pada botol air mineral di tangan Zoya yang tinggal setengah.
"Minta, Kak. Kering ni kerongkongan," ucapnya singkat. Tanpa menunggu persetujuan Zoya, tangan kurusnya langsung menyambar botol itu.
Zoya melongo melihat tingkat ke-SKSD-an remaja ini yang sudah di luar nalar. "Eh, buset—"
Glek, glek, glek.
Bocah itu meneguk sisa air Zoya sampai tandas tak bersisa, lalu meremas botol plastiknya hingga penyok dan melemparnya asal ke tanah. Ia menyeka mulutnya dengan lengan hoodie.
"Legaaa..." desahnya panjang, lalu menepuk-nepuk saku celana jeans-nya dengan cemas. "Untung barang gue aman. Nggak jatoh pas lari tadi."
"Barang apaan?" tanya Zoya, kini rasa penasarannya mulai berubah menjadi kecurigaan.
Bocah itu merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah bungkusan plastik klip kecil berisi beberapa butir pil berwarna aneh. Ia menggoyangkannya di depan wajah Zoya sambil menyeringai bangga, memamerkan gigi gingsulnya.
"Nih, 'vitamin' buat ngelupain utang negara," cengirnya tanpa dosa. "Tadi ada pelanggan gendeng. Mau beli ginian tapi kagak mau bayar. Katanya 'ngutang dulu bos, ntar kalo udah enak gue bayar'. Dikira gue dinas sosial kali bagi-bagi sembako gratis?"
Mata Zoya membulat sempurna. Otaknya butuh beberapa detik untuk memproses situasi. Anak SMP. Di Dufan. Jualan narkoba. Dan dikejar pecandu kere.
"Lo... lo jualan narkoba?" bisik Zoya tak percaya. "Lo masih sekolah woy! Belajar wudhu yang bener dulu sana!"
"Yaelah, Kak. Hari gini mah yang penting cuan," balas bocah itu santai, kembali memasukkan barang haram itu ke saku dalam hoodie-nya dengan gerakan ahli. Ia menyandarkan punggungnya ke bangku, mengangkat satu kaki ke atas lutut dengan gaya bos kecil. "Lagian sekolah pusing, Kak. Mending gini, dapet duit, bisa main ke Dufan. Kakak mau? Buat ngilangin stress. Diskon pelajar deh buat Kakak, goceng dapet dua."
Zoya terdiam, antara ingin tertawa miris atau menjitak kepala bocah ini. Namun anehnya, bocah kriminal kecil ini tidak terlihat berbahaya di mata Zoya. Ia hanya terlihat seperti anak jalanan yang tersesat, yang dipaksa dewasa oleh keadaan dengan cara yang salah. Ada sisi 'rusak' dari bocah ini yang entah bagaimana, terasa familiar dengan kekosongan yang Zoya rasakan.
"Dasar bocah sableng," gumam Zoya akhirnya, menggelengkan kepala. "Simpen aja 'vitamin' lo itu. Gue udah cukup pusing liat kelakuan lo."
"Yaaah, payah. Padahal enak lho, Kak. Bisa bikin berasa naik Kora-kora tanpa antri," celotehnya lagi, benar-benar menganggap Zoya seperti teman akrab yang sudah ia kenal tahunan.