CEO dingin Ardan Hidayat harus bertunangan dalam tiga bulan demi warisan. Ia memilih Risa Dewi, gadis keras kepala yang baru saja menghancurkan kuenya, untuk kontrak pertunangan palsu tanpa cinta. Tapi saat mereka hidup bersama, rahasia keluarga Risa sebagai Pewaris Tersembunyi keluarga rival mulai terkuak. Bisakah kepura-puraan mereka menjadi kenyataan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ᴛʜᴇ ꜱᴀᴅɪᴇ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Liburan Palsu di Pulau Rahasia
Kemenangan Risa di Gala Amal mengguncang pasar. Keesokan harinya, saham Hidayat Group melonjak tajam, dan artikel tentang kisah cinta Risa dan Ardan mendominasi semua media. Risa, si gadis yang menolak warisan berlian demi cinta, telah menjadi idola baru publik.
Ardan sangat puas. Proyek Taiwan telah diamankan, dan Bima terdiam karena kekalahan telak. Ardan memutuskan untuk mengambil langkah strategis berikutnya: mengabadikan citra cinta mereka di lokasi yang benar-benar pribadi dan romantis.
"Kita akan pergi," kata Ardan, saat Risa sedang sarapan di penthouse.
"Pergi ke mana?" tanya Risa.
"Liburan. Kita butuh foto-foto liburan yang intim untuk menjaga momentum. Aku sudah menyiapkan pulau pribadi di timur Indonesia. Hanya kita, beberapa staf keamanan, dan juru foto," jelas Ardan.
Risa terkejut. "Pulau pribadi? Bukankah itu berlebihan?"
"Tidak ada yang berlebihan untuk menjaga investasi triliunan rupiah," balas Ardan, meskipun ada sedikit senyum di matanya. "Kemasi tasmu. Kita berangkat sore ini."
Dalam hitungan jam, mereka terbang dengan jet pribadi Ardan. Perjalanan itu terasa sureal bagi Risa. Hanya beberapa bulan lalu, ia berjuang untuk membayar sewa motornya; sekarang, ia terbang melintasi kepulauan di atas permadani mewah.
Pulau itu adalah surga tropis—pasir putih murni, air laut biru kristal, dan sebuah vila kayu mewah yang menghadap ke laut. Suasana di sana sangat berbeda dari tekanan Jakarta.
Saat matahari terbenam, Risa dan Ardan berdiri di teras vila. Risa mengenakan gaun tipis musim panas, dan Ardan mengenakan kaus polo, terlihat jauh lebih santai dari biasanya.
"Pemandangan yang indah," bisik Risa.
"Fokus, Risa," kata Ardan, tiba-tiba kembali ke mode CEO. "Juru foto akan datang sebentar lagi. Kita harus tampak rileks, tetapi mesra. Ingat, honeymoon prakontrak."
Sesi foto itu dimulai dengan canggung. Mereka harus berpelukan di pantai, tertawa sambil berpegangan tangan, dan bahkan berbagi es kelapa dengan ekspresi penuh kasih. Semuanya adalah akting, tetapi dengan Ardan yang begitu dekat, Risa sulit bernapas.
Dalam salah satu adegan, Ardan harus memeluk Risa dari belakang saat mereka berjalan di tepi pantai. Risa merasakan lengan Ardan melingkari pinggangnya, kepalanya bersandar di bahunya. Kali ini, Ardan tidak mengeluarkan instruksi. Ia hanya memeluk Risa. Kehangatan tubuh Ardan, aroma laut, dan kesunyian di sekeliling mereka menciptakan momen yang terasa benar-benar intim.
"Kenapa kau begitu pendiam?" tanya Ardan pelan di telinga Risa.
"Saya... saya hanya merasa ini sangat nyata. Pura-pura yang terlalu sempurna," jawab Risa jujur.
Ardan menghela napas, dan Risa merasakan dadanya bergetar. "Memang begitu. Itulah mengapa kita ada di sini."
Juru foto mengambil gambar. Ardan tiba-tiba membalikkan Risa, menatap matanya. Wajahnya begitu dekat hingga Risa bisa merasakan napasnya. Ardan tidak menciumnya, tetapi tatapannya begitu intens, begitu penuh pertanyaan, sehingga Risa merasa ia sedang ditelanjangi secara emosional.
"Kau menolak warisan berlian," bisik Ardan. "Apakah itu sepadan?"
"Ya," jawab Risa tanpa ragu. "Saya memilih diri saya sendiri."
"Bagus," kata Ardan, lalu melepaskannya. "Cukup untuk hari ini. Aku butuh istirahat."
Selama sisa liburan palsu itu, batas-batas kontrak mereka menjadi semakin kabur. Mereka makan malam berdua di bawah bintang-bintang, Risa menceritakan kisah-kisah lucu tentang masa lalunya yang miskin, dan Ardan, yang biasanya tertutup, sesekali tertawa—tawa yang langka dan mengejutkan.
Suatu malam, badai tropis datang tiba-tiba. Listrik di vila mati. Risa, yang takut petir, secara refleks meringkuk di sofa ruang tamu.
Tidak lama kemudian, ia mendengar langkah kaki. Ardan duduk di sebelahnya dalam kegelapan.
"Kau takut badai?" tanya Ardan, suaranya tenang.
Risa mengangguk. "Sedikit."
Tanpa kata, Ardan mengulurkan tangan. Risa ragu sejenak, lalu meraihnya. Genggaman Ardan sangat kuat dan menenangkan.
Mereka duduk dalam keheningan selama berjam-jam, hanya ditemani suara hujan deras dan gelegar petir. Risa merasa aman. Dalam kegelapan itu, Ardan Hidayat yang dingin menghilang, digantikan oleh seorang pria biasa yang hanya menawarkan kenyamanan.
"Ardan," panggil Risa pelan.
"Hmm?"
"Terima kasih."
"Ini masih bagian dari kontrak. Tunangan yang takut akan menimbulkan masalah," balas Ardan, tetapi genggamannya tidak melembut.
Namun, beberapa saat kemudian, Ardan berkata, "Aku tahu Bima akan menyerang lagi. Dia akan menyerang titik terlemahmu."
"Nenek Wulan?"
"Tidak. Pak Jaya. Dia akan memanfaatkan fakta bahwa kau masih cucunya. Kita harus lebih cepat." Ardan memutar tangan Risa, menyentuh bekas luka kecil di pergelangan tangannya yang didapat saat ia dulu terjatuh dari motor. "Ketika kita kembali ke Jakarta, kita akan mengumumkan tanggal pernikahan. Kita harus mengakhirinya lebih cepat dari kontrak."
Risa terkejut. "Menikah? Tapi kontrak kita baru berjalan beberapa minggu!"
"Itu satu-satunya cara untuk membuktikan kepada dewan direksi, dan kepada Pak Jaya, bahwa kau tidak akan pergi. Kita harus membuat komitmen ini permanen di mata hukum. Setelah itu, kita bisa memikirkan jalan keluarnya."
Risa menatap Ardan, tangannya masih dipegang erat oleh pria itu di tengah kegelapan. Ia tahu pernikahan ini hanya akan menjadi babak baru dari sandiwara mereka. Tapi, gagasan untuk secara resmi menjadi istri Ardan, bahkan palsu, membuat jantungnya berdebar kencang, bukan karena ketakutan, tetapi karena keinginan yang terlarang.