NovelToon NovelToon
Amorfati

Amorfati

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Keluarga / Trauma masa lalu / Tamat
Popularitas:368
Nilai: 5
Nama Author: Kim Varesta

Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa

Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam

Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya

Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23. Kejadian Yang Sebenarnya

🦋

Edwin berhenti di sebuah gang sempit, tak jauh dari rumah Mbah Santoso. Ia sengaja tidak mendekat terlalu jauh. Matanya menyapu lingkungan sekitar, sepi. Jendela rumah itu tertutup rapat, tanda sang pemilik tak ada di dalam.

Puk!

"Shibal...!" Edwin tersentak ketika sebuah tangan tiba-tiba menepuk pundaknya.

"Diam!" Sebuah telapak tangan menutup mulutnya, menahan teriakan. Tubuhnya ditarik ke sisi tembok, tersembunyi dari pandangan jalan.

Begitu genggaman itu terlepas, pria itu menatap tajam. "Apa yang kau lakukan di sini, Edwin?"

"Kiran bermimpi buruk lagi. Tapi dia bahkan tak tahu apa yang dia mimpikan."

"Mimpi… seperti waktu itu?" suara Roman merendah.

Edwin mengangguk tipis. “Iya. Apa kakekku sudah menemukan tubuh yang cocok untuk jiwa itu?"

Roman langsung to the point. "Sudah. Anak itu dibawa oleh Wira, salah satu klien kakek. Sekarang dia ada di lapangan, siap diserahkan ke tante Shara," jelas Roman, nadanya datar namun matanya mengandung sesuatu yang lebih dalam.

Bagi Roman, ini bukan sekadar kabar biasa. Ia punya alasan kenapa, dari dulu, ia diam-diam berpihak pada Valora. Sejak SMP, Valora adalah satu-satunya orang yang mau mendengarkan keluhannya tentang profesi sang kakek sebagai dukun. Valora mengerti, tak menghakimi dan itu membuat Roman menganggapnya seperti kakak sendiri.

Namun amarah mulai tumbuh ketika ia tahu Valora pernah hamil… lalu bayinya dibunuh. Awalnya Roman tak tahu dalangnya adalah kakeknya sendiri. Begitu mengetahui kebenaran, ia bersumpah melindungi jiwa bayi itu, satu-satunya peninggalan Valora dengan segala cara.

"Baik. Aku akan kembali dan memberi kabar ini pada Kiran," ucap Edwin, lalu berbalik pergi.

Roman menatap punggungnya yang menjauh, matanya sendu. Tugasnya menjaga jiwa putra Valora telah selesai. Selama ini dialah yang menghalangi penyatuan jiwa itu dengan tubuh mana pun… hingga hari ini.

"Mbak Lora… tugasku selesai. Semoga suatu hari kita bisa bertemu lagi," gumamnya lirih.

Keesokan Pagi

Shara sudah berdiri di ujung ranjang Gavriel. "Nak, bangun. Ada yang ingin Ibu tunjukkan."

Gavriel mengerang, menarik selimut menutupi kepalanya. "Bu… masih subuh."

"Tidak bisa. Ini penting." Tanpa ampun, Shara meraih selimut dan menariknya.

Gavriel menyerah. Dengan mata setengah tertutup, ia masuk kamar mandi. Tiga puluh menit kemudian, ia sudah berpakaian, masih bertanya-tanya kenapa ibunya begitu tergesa.

Shara hanya berkata singkat, "Ayo ikut Ibu."

Mereka berhenti di depan kamar Valora. Gavriel mengerutkan kening.

"Kenapa ke sini?"

"Masuk saja."

Klik.

Pintu terbuka, dan Shara mendorongnya masuk. Gavriel melangkah masuk… tidak ada yang aneh, sampai ia melihat gumpalan selimut di ranjang. Gumpalan itu bergerak.

Jantungnya berdetak kencang. Tangannya terulur, menarik selimut itu pelan-pelan… dan napasnya tertahan.

Seorang anak laki-laki, tak lebih dari lima tahun, tidur pulas di sana. Kulitnya pucat dengan pipi bersemu merah, rambut hitam tebal, alis rapi, dan mata cokelat tajam yang kini membuka perlahan.

Anak itu menguap, lalu tersenyum kecil senyum yang entah kenapa terasa familiar. "Ayah… kenapa ambil selimutku?"

Kata 'ayah' itu menghantam telinga Gavriel seperti palu.

Shara melangkah masuk, duduk di sofa. "Dia putramu. Putra Valora."

Gavriel membeku. "Bu… putraku sudah tiada."

Shara menarik napas panjang, lalu mulai bercerita tentang jiwa Zayn yang diselamatkan, tubuh barunya, dan Mbah Santoso yang merawatnya. Tentu saja, sebagian besar cerita itu adalah kebohongan yang dirangkai agar Gavriel tak membencinya.

Air mata menggenang di mata Gavriel. Ia mendekati anak itu, lututnya lemas hingga ia terduduk di lantai.

"Zayn… Ayah merindukanmu," bisiknya, memeluk erat.

"Ibu tinggal dulu, ibu akan menyiapkan sarapan untuk kalian" ucap Shara meninggalkan Gavriel bersama putranya

Zayn membalas pelukan itu, tapi matanya menatap sesuatu di sudut kamar, seorang wanita misterius, duduk anggun di sofa. Rambut hitamnya jatuh lembut di bahu, dress putihnya berkilau di cahaya pagi. Matanya cokelat cerah menatap Zayn penuh arti, lalu sosok itu lenyap menjadi serbuk putih.

Gavriel menggendong putranya, meletakkannya di tengah ranjang, lalu mengeluarkan sebuah foto besar dari lemari. "Zayn… ini bundamu."

Anak itu menatap foto Valora lama sekali. "Bunda… di mana?" suaranya bergetar.

"Bunda sedang… jauh. Tapi Ayah janji, kita akan menjemputnya."

***

Kiran membuka mata dengan senyum lembut. Ia merasa hangat dan nyaman dalam pelukan seseorang. Matanya mengerjap untuk menyesuaikan cahaya matahari yang menyinari wajahnya, ia melihat wajah tampan Jevano. Rambut Jevano yang kini lebih panjang membuatnya terlihat lebih dewasa

"Aku tau aku tampan" ucap Jevano membuka matanya, sebenarnya ia sudah bangun sedari tadi untuk menikmati wajah yang selama ini sangat ia rindukan

"Apaan sih!"

"Selamat pagi cintaku" Jevano tersenyum dan memeluk Kiran erat

"Jevan..."

"Sebentar saja. Jika Edwin sudah datang aku tidak bisa berdekatan denganmu lagi" keluh Jevano, ia kesal pada Edwin yang selalu menjauhkannya dari Kiran

"Apa kau takut pada Edwin?"

"Hufftt... aku tidak takut padanya tapi aku takut dia membawamu pergi lagi" Jevano semakin erat memeluk Kiran

Kiran tau jika Edwin sengaja menjauhkannya dari Jevano agar Jevano jera dan merasakan bagaimana rasanya mencintaimu namun di abaikan.

"Jangan cemburu, kau kan sudah punya Auliandra" sindir Kiran melepaskan tangan Jevano yang melingkar di pinggangnya. Kiran duduk untuk meregangkan otot-ototnya.

"Tetap saja berbeda, Jiwanya memang sama tapi tubuhnya berbeda,"

"Yang pentingkan jiwanya pernah satu tubuh" Kiran berdiri dan menuju walk in closet

Jevano menatap Kiran yang sudah masuk ke dalam walk in closet. Bibirnya menyunggingkan senyum yang manis, setelah sekian lama akhirnya ia bisa memeluk kembali kekasih tercintanya. Ia mengingat kembali 5 tahun yang lalu, dimana Valora jatuh dari gedung AS Grup. Semua ini adalah rencana Maura

Flashback – Malam di Rooftop AS Grup

Langit malam itu kelam, awan menutupi bulan, dan angin berhembus menusuk tulang. Jevano berdiri di lantai 29, memantau dengan mata penuh waspada. Di telinganya, suara Zeno terdengar melalui earphone.

"Tempat pendaratan siap. Karet sudah terpasang di lantai 25. Tidak akan ada yang curiga," lapor Zeno.

Jevano menarik napas panjang. Semua harus berjalan sempurna malam ini. Ia melirik tangga darurat menunggu satu orang datang lebih dulu.

Suara langkah tergesa mulai terdengar. Gavriel berlari menaiki tangga, napasnya memburu. Setiap anak tangga yang dilewati membuat dadanya semakin sesak. Ia tidak peduli peluh yang mengalir, hanya satu tujuan: menemukan Valora di rooftop.

Ketika pintu darurat terbuka, Gavriel terpaku. Di tepi pembatas rooftop, Valora berdiri. Angin malam membuat rambutnya berkibar liar. Earphone kecil hitam terpasang di telinganya, detail yang segera ditangkap Jevano.

"Sayang… kau siap?" tanya Jevano lembut, suaranya seperti penenang badai.

Valora mengangguk tanpa menoleh. "Aku siap."

Langkah-langkah cepat memecah ketegangan.

"VALORA!" suara Jevano memanggil lantang, bukan untuk menyelamatkan, tapi memberi kode. Valora segera melepas earphone di telinganya sebelum Gavriel sempat melihatnya.

"Turun! Jangan bodoh!" bentak Gavriel, suaranya penuh amarah dan panik. Ia melangkah mendekat, tangannya sedikit terangkat, siap meraih. "Kau pikir mati akan menyelesaikan semua?!"

Jevano mencoba mendekat dengan langkah hati-hati. "Lora, ayo turun. Nanti kau jatuh. Biarkan aku bantu."

Valora menggenggam tangannya sendiri, kukunya menekan kulit hingga berdarah. Rasa sakitnya memicu air mata, tapi bukan rasa sakit itu yang membuatnya menangis.

"BERHENTI DI SANA!" teriaknya. Tubuhnya sedikit bergetar di atas pembatas sempit itu. Satu gerakan salah, ia akan terjatuh.

Gavriel menahan napas. "Lora, hentikan. Kau bunuh diri, Lucas tetap tidak bebas. Dia mengancam adikku, ya, tapi..."

"DIAM, PENGECUT!" Suaranya memotong tajam, seperti belati menusuk malam. "Mas ucas hanya mengancam… sedangkan KAU..."

Kata-kata berikutnya memecahkan udara.

"Kau merenggut mahkotaku, Gav! Kau banting tubuhku, kau sayat kulitku, kau cekik leherku… kau tendang aku sampai lebam. Aku ini sepupumu, bukan jalangmu!" Suaranya pecah, namun tegas. "Aku bahkan tak sadar waktu itu… tapi kau tetap melakukannya!"

Gavriel membeku. Napasnya tercekat.

"Aku harus menanggung malu… hamil di luar nikah karena perbuatanmu. Dan untuk bertanggung jawab pun kau tak mampu. Lalu untuk apa kau sandang nama Wardana yang katanya menjunjung tinggi kehormatan?!"

Air mata Valora membanjir, tapi amarahnya lebih deras.

"Ibumu membunuh putraku, Gavriel. Zayn… anakku yang baru melihat dunia 24 jam… mati di depanku! Aku bertaruh nyawa demi dia… tapi ibumu merenggutnya!" Suaranya pecah di ujung kalimat.

Angin malam makin kencang, mengibarkan dressnya peach-nya. Di mata Gavriel, Valora terlihat seperti sosok rapuh yang dipaksa bertahan di tepi jurang, dan ia sendiri berdiri di sisi yang sama sekali tak bisa ia capai.

Jevano melirik ke gedung seberang, Edwin, Lyra, Theo, dan Maura sudah siap di pos masing-masing. Malam ini, setiap detik adalah pisau bermata dua.

🦋To be continued...

1
eva lestari
🥰🥰
Nakayn _2007
Alur yang menarik
Sukemis Kemis
Gak sabar lanjut ceritanya
Claudia - creepy
Dari awal sampe akhir bikin baper, love it ❤️!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!