Rumah tangga yang baru dibina satu tahun dan belum diberi momongan itu, tampak adem dan damai. Namun, ketika mantan istri dari suaminya tiba-tiba hadir dan menitipkan anaknya, masalah itu mulai timbul.
Mampukah Nala mempertahankan rumah tangganya di tengah gempuran mantan istri dari suaminya? Apakah Fardana tetap setia atau justru goyah dan terpikat oleh mantan istrinya?
Ikuti kisahnya yuk.
IG deyulia2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Niat Yang Gagal
Keesokan paginya masih di rumah Bu Nadia.
Bu Nadia, Nala dan Naya, sudah berada di dapur. Mereka duduk bersama dalam satu meja makan. Menikmati sarapan pagi yang berbeda dari biasanya.
Tadi malam, Nala tiba-tiba nyeletuk pengen makan model. Salah satu makanan dari olahan ikan tenggiri sama seperti adonan pempek, akan tetapi model merupakan makanan jenis kuah, dengan toping bihun, dan timun.
Makanan itu berasal dari Provinsi Sumatera Selatan. Semalam Nala terbayang-bayang ingin menikmati makanan khas itu yang jarang dia nikmati.
Demi sang anak, Bu Nadia setelah melaksanakan sholat Subuh, ia bergegas pergi ke pasar membeli bahan-bahan untuk membuat model.
Meskipun bukan orang keturunan provinsi tersebut, Bu Nadia akhirnya bisa mengeksekusi olahan makanan khas tersebut. Tentunya sebagian didapatnya dari bantuan google.
"Wangi banget kuah modelnya." Nala sangat senang kala kuah model itu langsung memasuki hidungnya.
"Iya, Mbak. Wangi dan enak kayaknya." Nala ikut bicara sembari menuangkan kuah model ke dalam mangkuknya.
"Hati-hati, Nay. Kuahnya bisa tumpah kena seragam sekolahmu," peringat Nala. Naya mengangguk.
Mereka menikmati sarapan pagi dengan suasana hangat, sesekali diiringi obrolan kecil, lalu setelahnya, suara deru motor terdengar di halaman rumah.
Nala mengerutkan keningnya dalam. Dia bertanya-tanya motor siapakah di depan?
"Siapa itu, Bu?"
"Bu, Mbak Nala, aku pergi dulu, ya." Naya tiba-tiba berpamitan, saat bersamaan sebuah ketukan di pintu depan terdengar.
"Itu pacarnya Naya. Dia pria tentara itu," sahut Bu Nadia kemudian, lalu ia berdiri mengikuti Nala menuju pintu depan.
Bu Nadia mengantarkan Naya sampai depan sekaligus menyapa pacarnya Naya.
Nala bangkit dari kursi makannya, dia merasa penasaran dan ingin tahu juga seperti apa pacarnya Naya yang katanya sudah serius ingin segera meminang Naya itu.
Nala mengintip dari sela jendela yang terbuka. Di luar terlihat sesosok pria bertubuh tegap bernama Nagi Trilaksana.
Nala mengamati gerak-geriknya, pria 28 tahun itu terlihat sopan. Menghampiri Bu Nadia lalu menyambut tangannya, yang kemudian diciumnya.
"Sopan juga orangnya. Semoga saja kalau dia memang serius dan jodohnya Naya, dia merupakan laki-laki yang baik dan tanggung jawab serta kedua orang tuanya sayang sama Naya.
Tidak lama dari itu, Naya dan kekasihnya pergi. Deru motor terdengar berjalan dan menjauh.
Nala kembali menuju meja makan, menghabiskan sisa sarapan modelnya.
"Barusan pacarnya Naya. Dia memang sudah sering menjemput Naya dan mengantar Naya ke sekolah. Ibu sebetulnya sudah larang, tapi Nak Nagi tidak mendengar. Dia tetap datang menjemput Naya," tutur Bu Nadia.
"Tidak apa-apa, Bu. Toh bukan kita yang menyuruh. Sepertinya pria itu memang serius sama Naya. Dia juga terlihat sopan."
"Iya. Sikapnya memang sopan dan lembut. Semoga saja dia memang benar-benar tulus mencintai adikmu," harap Bu Nadia.
Naya mengaminkan harapan sang ibu terkait doanya barusan.
"Ngomong-ngomong, kamu mau pulang jam berapa? Ibu tidak mau dituduh yang tidak-tidak oleh suamimu kalau ibu menahanmu."
"Nanti, Bu. Nala maunya Mas Dana menjemput. Nala pengen tahu, apakah dia menjemput atau tidak," ujar Nala.
"Oh begitu? Kamu mau menunggu suamimu menjemput?"
Nala mengangguk, ia ingin membuktikan kalau Dana benar-benar masih menganggapnya atau tidak.
Siang menjelang di kediaman Dana, Dana sudah kembali dari kantor. Dia pulang lebih cepat dari biasanya. Hari ini dia teringat terus dengan Nala.
Saat baru saja mobilnya tiba di depan halaman rumah, Raina sudah menyambutnya dan menodong Dana meminta jalan-jalan.
"Papaaaa, Papa sudah pulang," teriaknya menghampiri Dana dengan gembira. Wajah Dana berseri mendapat sambutan riang dari sang putri. Sungguh itu kebahagiaan yang tidak terkira baginya.
"Raina sudah makan?"
"Belum, Pa. Raina ingin makan di luar bersama Papa dan Mama," cetusnya.
Dana melepaskan rangkulan tangannya di bahu Raina perlahan. Permintaan Raina, sontak membuatnya terpaku. Permintaan Raina bagai belenggu yang mengikatnya dan tidak bisa ditolaknya.
Dana tersadar kembali, rencana dia pulang siang sebenarnya mau menjemput Nala di rumah mertuanya.
"Papa, kita makan siang di luar bersama Mama, ya?" rengek Raina sembari memegang lengan Dana.
"Tidak sekarang, ya, Sayang. Lagipula Bi Marni sudah memasak banyak. Sayang banget sudah masak banyak kalau tidak di makan."
"Ahhhh, Papa." Raina merengut.
"Habis ini, Papa mau jemput Mama Nala. Jadi, makan di luarnya bisa lain kali, ya," bujuk Dana sembari melangkahkan kaki menuju tangga kemudian menaikinya.
Siang ini dia tidak boleh gagal menjemput Nala. Kalau tidak menjemput, pasti Nala akan berpikir kalau dirinya tidak perhatian.
"Papaaa."
Raina mengikuti dan masih merengek. Dana membalikkan badan, dia tidak tega melihat wajah memelas Raina yang disertai raut sedih.
"Raina, tolong kali ini saja, ya. Papa mau jemput Mama Nala pulang," bujuk Dana lagi sembari menatap putri semata wayangnya dengan penuh permohonan.
"Atau kalau Raina mau, Raina bisa ikut Papa jemput Mama Nala. Nanti setelah itu, kita mampir ke rumah makan bareng Mama Nala."
"Raina nggak mau," balas Raina merengut. Dana bingung kembali. Baru saja pulang, tapi sudah direcokin Raina.
Dana tidak bicara apa-apa lagi. Dia langsung memasuki kamarnya, lalu mengganti seragam dinasnya. Sejenak ia melepas lelah dengan membaringkan tubuh di atas ranjangnya.
"Kalau aku tidak jemput Nala, maka aku yakin Nala akan marah berlanjut," gumamnya. Tidak terasa, Dana justru tertidur saking lelahnya.
Sehingga sampai waktu hampir menunjukkan ke angka lima, Dana terbangun. Dia terkejut ternyata sudah sore. Rencana mau menjemput Nala tadi siang gagal.
Dana buru-buru ke kamar mandi membersihkan diri. Mumpung masih keburu dan belum jam enam sore, dia harus ke rumah mertuanya untuk menjemput Nala.
Tepat jam setengah enam sore, Dana menuruni tangga. Baru saja tiba di bawah tangga, Raina sudah muncul dan berteriak.
"Papa, Papa jadi bawa Raina makan, kan?"
Dana menatap Raina, lalu mengangguk.
"Ok. Masuklah ke dalam mobil," suruhnya.
"Tapi, bagaimana dengan Mama? Mama belum menghubungi Raina sampai sekarang," ujarnya.
"Sudahlah. Sekarang sebaiknya kita pergi dulu. Papa takut terlambat menjemput Mama Nala." Dana keluar rumah tergesa, lalu menuju mobil yang kini sudah dinaiki Raina.
Ketika mobil itu baru saja dinyalakan, tiba-tiba sebuah motor memasuki halaman rumah. Ternyata Nala yang pulang.
Dana terkesiap, niatnya mau menjemput Nala, tapi Nala sudah keburu pulang.
"Sayang, kamu sudah pulang. Tadinya aku...."
"Mas Dana mau ke mana? Mas sepertinya bersiap-siap akan pergi dengan Raina dan Mbak Devana? Bagus banget, ya. Istri sendiri dibiarkan tanpa diingat sedikitpun," ujarnya lalu bergegas menuju ke dalam dengan raut wajah yang kesal.
"Sayang, sebentar." Dana mengejar Nala yang sudah dalam mode kecewa.
kuncinya dana harus tegas dan mertua g ikut campur
bener2 mertua jahat bisa2nya GK bisa bedain mana wanita terhormat dan wanita bar2.