Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dingin yang menyimpan Cemas
"Nilai tertinggi untuk tugas kelompok hari ini adalah milik Calista dan Xavier." ucap Ibu Mawar setelah selesai memeriksa hasil kerja murid-murid. "Selamat untuk kalian berdua."
Ruangan kelas langsung dipenuhi suara tepuk tangan. Namun, di sela riuh itu, ada juga tatapan sinis yang mengarah pada Xavier.
"Ah, Xavier mah cuma numpang sama Calista. Pantas aja nilainya bagus."
"Iya betul, kalau gak bareng Calista, mana mungkin dia bisa dapat nilai segitu."
"Gayanya aja sok rajin, padahal numpang kerjaan."
"Hahaha, cuman modal duduk dekat doang."
Bisik-bisikan itu menusuk di telinga Xavier. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal di bawah meja. Panas menyelimuti dadanya, dorongan untuk berdiri dan membalas semakin kuat. Namun sebelum amarah itu sempat meledak, Calista lebih dulu menyentuh tangannya—sentuhan ringan tapi cukup kuat untuk menahannya.
"Gak usah didengarin mereka," ucap Calista pelan namun tegas.
Xavier mendongak, menatapnya dengan sorot dingin yang bercampur getir. "Mereka gak salah. Gue emang gak sepintar itu. Nilai gue bagus cuman karena duduk dekat lo."
Calista menggeleng pelan. "Itu salah, Vier. Nilai kamu dapat dari hasil kerja kamu sendiri. Aku memang bantu jelasin, tapi tetap kamu yang ngerjain."
Keraguan masih tergambar jelas di wajah Xavier.
Calista tersenyum kecil, suaranya lembut namun penuh keyakinan. "Kalau mereka gak percaya, biarin aja. Yang penting aku lihat sendiri usaha kamu bisa. Karena aku lihat sendiri usaha kamu."
Xavier terdiam. Untuk pertama kalinya, ucapan seseorang terasa begitu tulus. Bukan sekedar simpati, tapi benar-benar pengakuan atas dirinya. Sesuatu yang sudah lama ia rindukan.
♡♡○♡♡
Seperti biasa, jam istirahat Calista memilih duduk di taman dengan sebuah novel di tangannya. Di sampingnya terletak kotak bekal makan siang sederhana. Bukan karena tak ingin berteman, hanya saja ada trauma yang masih membekas—pengalaman pahit di sekolah lamanya ketika teman-temannya menjauhinya setelah tahu tentang penyakitnya. Ia tak ingin hal yang sama terulang. Bahkan ketika Citra sempat mengajaknya ke kantin, Calista hanya bisa menolak dengan halus, sambil beralasan ingin membaca.
Ia begitu serius menyusuri halaman novel itu, sesekali menyuap potongan buah dari bekalnya. Tenang, polos, dan sederhana begitulah dirinya. Namun ketenangan itu buyar seketika, brugh! sebuah bola menghantam kepalanya cukup keras hingga tubuh mungilnya terjatuh ke tanah. Untung saja ia tidak langsung kehilangan kesadaran.
"Calista!" suara panik terdengar. Kevin, teman sekelasnya, segera lari menghampiri. Dengan tergopoh ia membantu Calista untuk duduk kembali, wajahnya penuh rasa bersalah.
"Calista, maafin gue ya... gue nggak sengaja," ucap Kevin tulus.
Calista mengusap kepalanya pelan, lalu tersenyum tipis. Wajahnya agak pucat, tapi matanya tetap jernih seperti anak kecil yang tak ingin merepotkan.
"Iya, gue nggak apa-apa, Vin," jawabannya lembut, seolah ingin meyakinkan.
Kevin masih ragu. "Serius lo nggak apa-apa? Kita ke UKS aja, siapa tahu ada cedera dalam."
Namun Calista menggeleng cepat, senyum polosnya tetap terukir. "Nggak usah, Vin. Aku beneran nggak apa-apa kok."
Kevin akhirnya menghela napas, lalu menepuk bahunya ringan. "Kalau lo kenapa-napa, panggil gue, ya."
Calista hanya mengangguk patuh, senyum tipis kembali menghiasi wajahnya. Setelah itu Kevin pamit dan kembali ke lapangan.
Tak jauh dari situ, di bawah pohon rimbun, Xavier memperhatikan semuanya. Sejak tadi ia sebenarnya ingin menghampiri saat bola mengenai Calista, tapi langkahnya kalah cepat oleh Kevin. Hatinya mendadak terasa aneh, entah kenapa ia hanya bisa terdiam menyaksikan interaksi itu dari kejauhan.
Saat hendak ia berbalik pergi, pandangannya menangkap sesuatu yang membuat dadanya terkejut. Calista perlahan limbung, lalu tubuhnya terjatuh tak sadarkan diri. Tanpa pikir panjang, Xavier langsung berlari.
"Calista!" serunya, nada suaranya terdengar panik. Ia segera mengangkat tubuh lemah gadis itu dalam gendongannya dan membawanya menuju UKS.
Para murid yang melihat kejadian itu sontak terkejut. Bukan hanya karena Calista tiba-tiba pingsan, tetapi juga karena orang yang begitu panik dan peduli padanya Xavier. Sosok yang selama ini dikenal dingin, tertutup, dan tak pernah mempedulikan siapapun—apalagi seorang perempuan.
••
"Dokter!" suara bariton Xavier menggema ketika ia menerobos masuk ke UKS sambil menggendong Calista. Dokter Agnes, yang sedang berjaga, segera memberi isyarat agar Calista dibaringkan di brankar.
"Tolong, kamu tunggu di luar," ucap Dokter Agnes sambil memeriksa Calista dengan cepat.
"Tapi, Dok—"
"Tolong, pengertiannya," potong Dokter Agnes, nada suaranya tegas tapi tetap lembut.
Xavier terdiam, rahangnya mengeras. Dengan berat hati, ia melangkah keluar dan berdiri di depan pintu UKS. Tubuhnya tegak, tapi jemarinya terus mengepal dan mundur, seolah menyalurkan keresahan yang tak bisa ia kendalikan.
Koridor di sekitar ramai oleh langkah-langkah murid lain, tapi telinga Xavier seakan tuli. Pandangannya tak bergeser sedikit pun dari pintu UKS yang tertutup rapat. Sesekali ia menunduk, mengusap wajah dengan kasar, lalu menarik napas panjang seolah ingin menenangkan diri, namun tetap gagal.
Setiap detik terasa menyesakkan, waktu berjalan begitu lambat. Dalam diamnya, hanya satu hal yang memenuhi pikirannya: keadaan Calista.
♡♡○♡♡
Kelopak mata Calista perlahan terbuka. Cahaya lampu putih membuatnya menyipit, sementara obat-obatan langsung memenuhi hidungnya.
"Kamu sudah sadar?" tanya Dokter Agnes lembut sambil menghampiri.
Calista hanya mengangguk pelan. Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya masih lemah. Dengan sigap Dokter Agnes membantu agar ia bisa duduk bersandar. Pandangannya berkeliling, mencoba mengenali tempat itu.
"Siapa yang bawa saya kesini, Dok?" tanyanya ragu.
"Xavier," jawab Dokter Agnes singkat, lalu menatap Calista penuh arti. "Calista, penyakit kamu—"
"Gak usah sebut, Dok," potong Calista cepat. Matanya menunduk, wajahnya jelas menolak membicarakan hal itu.
Dokter Agnes menarik napas, lalu mengangguk maklum. "Baiklah. Tapi ingat, kamu harus lebih banyak istirahat dan jauhi pantangannya."
"Iya, Dokter," ucap Calista sambil tersenyum tipis. "Tapi... saya boleh minta tolong?"
Alis Dokter Agnes sedikit berkerut. "Minta tolong apa?"
"Tolong rahasiakan penyakit saya, Dok." Nada suara Calista terdengar memohon, matanya sedikit berkaca. "Saya nggak mau orang lain tahu... saya takut nanti malah dikasihani. Atau... dibully."
Dokter Agnes menatapnya sejenak, sebelum akhirnya menghela napas dan mengangguk pelan. "Baiklah, saya mengerti."
Klik. Pintu UKS terbuka. Xavier muncul, masuk begitu saja tanpa permisi. Sedari tadi ia memang sudah menunggu di luar, dan begitu mendengar Calista siuman, ia segera masuk meski tak sempat mendengar percakapan barusan.
"Bagaimana keadaan dia, Dok?" tanyanya cepat.
Sebelum menjawab, Dokter Agnes sempat melirik Calista, lalu mengalihkan pandangannya kembali pada Xavier.
"Keadaannya sudah membaik, hanya pingsan karena kelelahan." ucapnya tenang, ia kemudian menatap Calista dengan penuh arti. "Ingat pesan saya, ya."
"Iya, Dokter," jawab Calista sambil tersenyum polos, meski wajahnya masih sedikit pucat.
Dokter Agnes mengangguk pelan, lalu beranjak pergi meninggalkan ruangan. Ia memilih tak banyak bicara lagi, urusan hati anak muda ini bukanlah ranahnya untuk ikut campur.
"Xavier, makasih ya... kamu udah nolong, aku," ucap Calista pelan, senyumnya sederhana tapi tulus.
"Hm." Xavier hanya berdehem singkat lalu menarik kursi dan duduk di samping brankar. Ia bersandar, kedua lengan terlipat di dada. Tatapannya lurus ke arah Calista, seolah tak peduli, tapi ada bayangan rasa cemas yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
Beberap detik hening, hanya suara detak jam dinding terdengar. Lalu, dengan nada rendah dan datar, Xavier akhirnya bertanya, "Lo benaran gak ngerasa apa-apa lagi?"
Nada suaranya terdengar dingin, tapi jari-jarinya yang mengetuk pelan di lengan menunjukkan ketegangan yang berbeda—sebuah perhatian yang ia bungkus rapat agar tak terlihat jelas.
Calista menggeleng pelan. "Aku benaran udah nggak apa-apa, kok." jawabnya polos, matanya jernih, menatap Xavier seolah tak menyadari kegelisahan kecil yang pria itu sembunyikan.