NovelToon NovelToon
Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:BTS / Selingkuh / Cinta Terlarang / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Adrina salsabila Alkhadafi

Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23: Bau Bunga dan Aroma Dosa

​Beberapa Hari Kemudian

​Jadwal baru Luna berjalan dengan presisi yang menakutkan, seperti mesin jam yang dirancang oleh Raka.

​Setiap Selasa dan Kamis sore, Luna meninggalkan rumah dengan tas kanvas di bahunya, mengucapkan selamat tinggal yang meyakinkan kepada Naira. Ia akan bersepeda ke perempatan, mengambil taksi ke sekitar area Studio Karsa, dan membiarkan alibinya menguat. Tetapi, bukannya memasuki studio seni yang ramai, ia memasuki ruang hampa yang sunyi di Unit 903.

​Setiap kunjungan ke apartemen itu bukanlah perselingkuhan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi; itu adalah sebuah upacara. Di sana, Luna dan Raka tidak terburu-buru, tidak takut ketahuan. Mereka menggunakan waktu tiga jam itu untuk melepaskan topeng mereka, saling merusak dan memuja dalam kejujuran yang telanjang.

​Di rumah, Luna menjadi semakin tenang, dan itu membuat Naira semakin lega.

​"Kamu benar-benar jauh lebih baik, Lun. Lukisan itu membuatmu rileks," ujar Naira suatu sore, saat melihat Luna membersihkan palet cat air di halaman belakang.

​Luna tersenyum, mengamati paletnya yang bersih. "Iya, Kak. Aku harusnya sudah lama cari kesibukan."

​Luna memang melukis di sana. Bukan di Studio Karsa, tapi di Unit 903. Raka membelikannya perlengkapan melukis, meletakkannya di sudut ruangan seolah itu adalah bagian dari dekorasi yang sah. Melukis menjadi jeda yang aneh dan menenangkan di antara pertemuan-pertemuan mereka. Saat Raka pergi lebih dulu, Luna akan menghabiskan sisa waktu satu jam untuk mencampur warna, menciptakan kanvas yang abstrak dan penuh emosi—semua luapan gairah dan rasa jijiknya.

​Lukisan-lukisan itu adalah bukti otentik kebohongannya.

​Kamis Sore, Pukul 15:00.

​Luna memasuki apartemen Unit 903. Raka sudah menunggu.

​Hari itu, Raka terlihat berbeda. Dia tidak lagi mengenakan kemeja biru tua yang sempurna. Dia mengenakan kaus katun abu-abu, pakaian yang jauh lebih kasual. Ia duduk di sofa, pandangannya tidak agresif, tapi mendalam dan penuh perhitungan.

​Di meja kopi, ada kejutan. Sebuah vas kaca kecil berisi beberapa tangkai bunga mawar putih.

​Luna mengerutkan kening. Itu sangat bertentangan dengan estetika dingin dan penuh strategi yang mereka bangun. Bunga terasa terlalu romantis, terlalu suami-istri.

​"Kenapa ada bunga?" tanya Luna, suaranya sedikit curiga.

​Raka tersenyum tipis. "Mawar putih. Mawar terbersih. Untuk menutupi bau dosa. Bukankah kita perlu lapisan alibi yang sempurna?"

​"Itu menjijikkan, Mas," Luna mencibir. "Terlalu teatrikal. Dan itu seperti dari Naira."

​"Bukan. Ini dari florist langganan kantor. Aku membeli buket besar, meninggalkannya di kantor untuk dilihat semua orang. Lalu aku mengambil beberapa tangkai untuk kita," jelas Raka, matanya berkilat. "Mereka akan mengira aku membelikannya untuk Naira karena aku suami yang baik. Padahal, bau ini akan bercampur dengan bau kita di sini."

​Luna merasa jijik, namun gairah itu kembali menyeruak. Raka telah membawa pengkhianatan ke level yang lebih tinggi—dia menggunakan simbol kesetiaan sebagai selimut untuk dosa mereka.

​"Kamu adalah monster yang jenius," kata Luna, melepaskan hoodie-nya dengan kasar.

​Raka berdiri, berjalan ke arah Luna. Dia tidak memeluknya, tidak menciumnya, namun tatapannya menelanjangi Luna dengan perlahan.

​"Aku sudah bilang, aku menciptakan kamu, Luna," ujar Raka. "Tapi kamu juga mengubahku. Aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana caranya membuat kebohongan ini lebih elegan. Aku terobsesi pada rincian."

​Raka meraih tangan Luna, membawanya ke depan vas bunga mawar putih itu. "Bau yang manis, kan? Sangat polos. Tapi kamu tahu apa yang ada di baliknya."

​Dia membiarkan tangan mereka berpegangan di antara bunga, sebuah gambaran yang kontradiktif antara kepolosan dan kegelapan.

​"Kamu tahu, aku hampir melakukan kesalahan kemarin malam," Raka melanjutkan, nadanya rendah, penuh pengakuan yang ia tahu akan memikat Luna. "Naira bertanya tentang lukisanmu, dan dia bilang dia ingin melihat hasil karyamu di Studio Karsa. Aku harus mengingatkannya bahwa itu adalah kelas dasar, dan kamu belum mau dilihat."

​Luna menahan napas. "Apa yang kamu katakan?"

​"Aku mengatakan padanya, 'Biarkan Luna punya ruang. Jangan jadikan hobinya sebagai tanggung jawab kita. Dia perlu kebebasan itu.' Aku membuatnya merasa bahwa dia terlalu mengontrolmu," kata Raka, bangga dengan manipulasinya.

​"Dan dia percaya?"

​"Tentu saja. Dia mencintaiku. Dia percaya bahwa aku adalah pembela kebebasanmu." Raka tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Luna. "Dan kamu, kamu tersenyum saat dia memintamu terus melukis, padahal yang kamu pikirkan adalah bagaimana bauku menempel di rambutmu."

​Kalimat itu adalah pemicunya. Luna menyukai kekejaman yang spesifik itu.

​"Aku membenciku," bisik Luna.

​"Tidak. Kamu mencintaiku," koreksi Raka, dengan suara serak yang penuh kepastian. "Karena aku satu-satunya yang melihat kebenaran itu dan tidak lari. Aku satu-satunya yang memberimu izin untuk menjadi kotor."

​Raka menoleh, melihat sekilas bunga mawar itu, lalu menatap Luna lagi.

​"Bau mawar ini akan menjadi kode baru kita, Luna. Setiap kali kamu menciumnya di manapun, kamu akan ingat Unit 903. Kamu akan ingat bahwa kamu adalah milikku, dan bahwa kita sedang menipu seluruh dunia."

​Ia menarik Luna menjauh dari bunga itu, dari cahaya jendela, ke dalam bayangan kamar, di mana hanya ada kebenaran yang telanjang dan hasrat yang tak terelakkan.

​"Sekarang," Raka berbisik, memegang wajah Luna dengan kedua tangannya, "Aku ingin kamu berjanji padaku. Janji bahwa kamu akan terus melukis, terus tersenyum, dan terus membawa bau ini ke dalam rumah itu. Kita tidak hanya berselingkuh. Kita sedang menciptakan mahakarya kebohongan."

​Luna mengangguk, matanya berkaca-kaca, bukan karena air mata, tapi karena intensitas. Ia telah memilih seniman yang salah, dan kanvasnya adalah kehancuran.

​Pukul 17:50.

​Raka sudah pergi. Luna duduk di tepi ranjang, mengenakan kembali hoodie-nya. Aroma mawar putih itu kini bercampur dengan aroma mereka.

​Ia tahu, alibi ini semakin kuat, dan jalan kembalinya semakin jauh. Bunga mawar itu adalah pengingat bahwa tidak ada lagi batas yang tersisa.

​Luna bangkit, berjalan ke sudut apartemen. Ia mengambil kuas dan palet. Ia harus melukis, untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia benar-benar pergi ke kelas seni.

​Ia mulai menggoreskan cat air. Bukan pemandangan, bukan potret. Hanya warna. Warna merah tua yang bercampur dengan hitam pekat, kontradiksi yang menyakitkan.

​Lukisan itu adalah cetak biru jiwanya.

​Luna melihat jam. Ia harus segera pergi. Ia membuang air kotor ke wastafel, mengunci pintu, dan kembali menjadi 'Luna yang lega dan bersemangat melukis' untuk dunia luar.

​Ia kembali ke rumah, dan di meja makan, ia mencium aroma masakan Naira yang lembut. Di samping itu, ia mencium aroma mawar putih.

​Ia menatap Raka. Raka menatap balik.

​Perang telah memasuki fase yang tenang dan penuh aroma.

1
kalea rizuky
benci perselingkuhan apapun alesannya sumpah eneg bgg
putri lindung bulan: iya kk, aku juga benci,tapi mau apalagi,nasi sudah jadi bubur
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!