NovelToon NovelToon
THE SECRET AFFAIR

THE SECRET AFFAIR

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Cintapertama
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Neon Light

Seharusnya kehidupan Serena sempurna memiliki kekasih tampan dan kaya serta mencintainya, dia semakin yakin bahwa cinta sejati itu nyata.


Namun takdir mempermainkannya ketika sebuah malam kelam menyeretnya ke dalam pelukan Nicolás Navarro—paman dari kekasihnya, pria dewasa yang dingin, berkuasa, dan telah menikah lewat perjodohan tanpa cinta.

Yang terjadi malam itu seharusnya terkubur dan terlupakan, tapi pria yang sudah memiliki istri itu justru terus menjeratnya dalam pusaran perselingkuhan yang harus dirahasiakan meski bukan kemauannya.

“Kau milikku, Serena. Aku tak peduli kau kekasih siapa. Malam itu sudah cukup untuk mengikatmu padaku... selamanya.”


Bagaimana hubungan Serena dengan kekasihnya? Lantas apakah Serena benar-benar akan terjerat dalam pusaran terlarang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Neon Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

8

Mobil hitam berhenti di parkiran belakang kampus yang luas. Barisan kendaraan teratur rapi di bawah terik matahari yang mulai menyengat. Seorang wanita keluar dari mobil dengan langkah ringan, namun wajahnya tampak letih, seolah menyimpan sesuatu yang berat di pikirannya. Udara pagi terasa menekan, menciptakan suasana yang ganjil di antara kesibukan mahasiswa yang berlalu-lalang.

“Gaby.”

Suara berat memanggil dari belakang. Gaby menoleh perlahan. Di sana, seorang pria dengan rambut coklat dan sorot mata tajam melangkah mendekat. Kaos hitam lengan tergulung hingga siku, menampakkan urat tangan yang menegaskan karakter kuat dalam dirinya. Sosok itu adalah Gabriel Alejandro Navarro, pria berusia dua puluh tiga tahun yang selalu berhasil mencuri perhatian di mana pun dia berada.

“Ya, ada apa?” ucap Gaby datar, suaranya tenang namun tersirat kehati-hatian.

“Mana Serena? Dia tidak bersamamu?” tanya Gabriel, matanya menyelidik, mencoba mencari kejujuran di wajah Gaby.

“Tidak. Dia sedang tidak enak badan,” jawab Gaby singkat sambil membenarkan tali tasnya yang hampir melorot dari bahu.

“Bukankah semalam kalian bersama? Mengapa dia tidak mengangkat teleponku? Apa yang sebenarnya terjadi padanya, Gaby?”

Nada suara Gabriel berubah lebih tegas, hampir memohon. Tatapannya tak bisa disembunyikan; ada rasa takut dan curiga yang perlahan muncul di wajahnya. Gaby menghindari pandangan itu, memilih menatap tanah.

“Gabriel, nanti saja. Aku harus masuk kuliah. Sudah hampir terlambat.”

Tanpa menunggu tanggapan, Gaby berbalik dan melangkah cepat menuju gedung fakultas, meninggalkan Gabriel yang berdiri mematung di tengah parkiran. Lelaki itu masih terpaku, ponsel di tangannya menampilkan deretan panggilan tak terjawab dan pesan yang belum dibaca. Hatinya mulai diliputi kecemasan yang tidak bisa dijelaskan. Serena bukan tipe perempuan yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar.

Gabriel menatap layar ponselnya lama, seakan berharap nama Serena muncul dan mengakhiri kekhawatirannya. Namun, yang muncul justru keheningan yang menyesakkan.

Sementara itu, di sebuah kamar apartemen yang sunyi, uap panas memenuhi ruangan kecil yang diselimuti aroma sabun dan air. Pancuran di kamar mandi terus mengalir, memantulkan cahaya lembut dari langit-langit. Di bawah aliran air itu, tubuh Serena terkulai lemah. Rambutnya menempel di leher, kulitnya memucat, dan kedua tangannya bergetar hebat.

Dia terus berdiri tanpa daya, menatap ubin putih di bawah kakinya yang licin. Setiap tetes air terasa seperti menampar kenyataan yang tidak ingin diingat. Bayangan wajah Nicholas muncul silih berganti di kepalanya—wajah yang kini menjadi mimpi buruk terburuk dalam hidupnya.

Serena mengangkat tangannya dan mulai menggosok kulitnya sendiri dengan kasar, seolah mencoba menghapus noda yang tidak terlihat. Namun semakin keras dia berusaha, semakin dalam rasa jijik pada dirinya sendiri tumbuh.

“Aku kotor... Mengapa aku tidak bisa melawan? Mengapa aku begitu bodoh? Aaakkhh!”

Kata-kata itu keluar perlahan, lirih dan penuh penyesalan. Air mata bercampur dengan air pancuran, menelusuri wajah yang dulu selalu terlihat lembut dan bahagia. Sekarang, yang tersisa hanya tatapan kosong dari seorang gadis yang kehilangan cahaya hidupnya.

Mahkota yang selama ini dijaga dengan penuh kehormatan kini sirna dalam satu malam. Bukan karena cinta, bukan karena kerelaan, melainkan karena paksaan yang merenggut kehormatan sekaligus jiwanya.

Serena menatap bayangan dirinya di cermin kamar mandi yang berembun. Wajah itu tampak asing. Mata yang dulu bersinar kini meredup, bibirnya bergetar menahan isak yang tak mampu keluar. Dia tidak mengenali dirinya sendiri lagi.

Dalam hati, Serena tahu segalanya telah berubah. Dunia yang dulu penuh warna kini terasa kelam dan membisu. Luka itu bukan hanya pada tubuhnya, tapi juga di jiwanya yang retak. Dan di balik semua penderitaan itu, ada satu hal yang paling menakutkan—rahasia ini tidak boleh diketahui siapa pun, terutama Gabriel.

Karena jika pria itu tahu, bukan hanya cintanya yang akan hancur, tetapi juga sisa harga diri yang masih berusaha dia pertahankan.

*

*

Jam menunjukkan pukul dua belas siang. Lapangan basket di tengah kampus terlihat begitu panas, permukaannya memantulkan cahaya matahari yang menyilaukan. Namun, teriknya siang sama sekali tidak menggoyahkan langkah Gabriel yang sejak beberapa menit berada di sana. Tubuhnya basah oleh keringat, napasnya berat, tapi pikirannya lebih sesak daripada udara yang membakar kulitnya.

Sejak tadi, hanya satu nama yang terus berputar di benaknya—Serena. Tidak ada pesan, tidak ada kabar, tidak ada panggilan balik. Hal itu sama sekali tidak seperti Serena yang dikenalnya. Biasanya, gadis itu selalu memberi kabar sekecil apa pun.

Gabriel kembali memantulkan bola basket, langkah kakinya ringan namun matanya tajam. Dia berusaha melepaskan semua keresahan lewat setiap lemparan. Tapi, pikirannya yang bercampur antara cemas dan curiga membuat lemparannya meleset jauh keluar dari ring. Bola itu bergulir ke arah luar lapangan, menabrak permukaan lantai yang keras.

Tiba-tiba, seseorang menangkap bola tersebut dengan gerakan cepat dan terlatih. Sosok itu menahan bola di satu tangan, lalu menatap Gabriel sambil tersenyum tipis. Tanpa sepatah kata pun, orang itu melempar bola dari kejauhan—masuk sempurna ke dalam ring.

“Beraninya kau mengambil bolaku. Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah seharusnya kau di kantormu?”

Gabriel menatap tajam pria yang kini berdiri di hadapannya. Nicholas. Lelaki yang selama ini dianggapnya sombong dan licik. Sosok yang bagi banyak orang terlihat sempurna, namun di mata Gabriel hanyalah seorang pencuri kehormatan keluarga.

Nicholas melangkah mendekat dengan tatapan penuh kemenangan. Dalam hatinya, ia menyimpan senyum yang tak tampak di bibirnya.

“Sekarang wanitamu sudah aku kuasai, Gabriel. Akulah yang pertama menyentuhnya. Aku pastikan Serena akan datang padaku, bahkan tanpa aku memintanya.”

“Tidak ada,” ucap Nicholas datar. “Aku hanya ingin memastikan apakah keponakanku masih rajin belajar, mengingat kau akan segera lulus.”

“Terima kasih atas perhatianmu, tapi seharusnya kau tidak perlu datang hanya untuk berpura-pura peduli. Khawatir saja pada bisnismu, sebelum aku mengambil kembali semua yang sudah kau rampas.”

Gabriel melangkah maju, mencoba merebut bola dari tangan Nicholas. Namun, pria itu justru memutar tubuh dan menjauh, menahan bola di antara jarinya.

“Rampas? Kau benar-benar tidak tahu diri.” Nicholas mengangkat dagunya sedikit. “Coba saja ambil kembali apa yang menurutmu sudah aku curi. Aku pastikan kau tidak akan pernah mendapatkannya lagi.”

Setelah berkata demikian, Nicholas melempar bola dengan sekali ayunan. Bola itu meluncur sempurna, menembus ring tanpa ragu. Senyum sinis muncul di wajahnya sebelum dia berbalik.

“Termasuk Serena Salvatierra.”

Gabriel hanya berdiri mematung, menatap punggung pamannya yang menjauh. Urat di lehernya menegang, rahangnya mengeras. Bola yang tadi dilempar Nicholas memantul perlahan ke arah kakinya sebelum berhenti di antara sepatu olahraga yang kotor oleh debu.

Gabriel menunduk, matanya dingin.

“Brengsek. Aku pastikan kau akan kembali menjadi gelandangan, seperti tempatmu seharusnya.”

Suara itu keluar lirih namun sarat dengan tekad. Angin panas yang bertiup di sekitarnya tak mampu menenangkan bara yang kini berkobar dalam dadanya.

To be continued...

1
Haris Saputra
Keren banget thor, semangat terus ya!
𝙋𝙚𝙣𝙖𝙥𝙞𝙖𝙣𝙤𝙝📝: Halo kak baca juga d novel ku 𝘼𝙙𝙯𝙖𝙙𝙞𝙣𝙖 𝙞𝙨𝙩𝙧𝙞 𝙨𝙖𝙣𝙜 𝙜𝙪𝙨 𝙧𝙖𝙝𝙖𝙨𝙞𝙖 atau klik akun profilku ya, trmksh🙏
total 1 replies
Nana Mina 26
Terima kasih telah menulis cerita yang menghibur, author.
riez onetwo
Ga nyangka sebagus ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!