Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERGESERAN RANTAI HIERARKI
Auditorium meledak dalam bisik-bisik yang riuh, seperti ribuan lebah yang tiba-tiba menemukan sarang mereka telah dirusak. Mata semua orang terpaku pada ponsel mereka, membaca berita eksklusif yang baru saja dilepaskan Dimas. Di atas panggung, aku berdiri sendirian, memegang kartu argumen yang kini terasa usang, karena kebenaran ternyata lebih kuat daripada retorika yang sudah dipersiapkan.
Rendra masih membeku di podiumnya. Wajahnya tidak lagi memancarkan kebanggaan Ketua BEM, tetapi kebingungan seorang anak yang baru menyadari bahwa mainan kesayangannya adalah bom waktu. Serena telah menghilang, tetapi aku tahu tatapan kebenciannya yang terakhir akan membayangiku selama beberapa hari ke depan.
Aku berjalan mendekati Rendra, mengabaikan juri yang mulai berdiskusi tegang. Tubuhku lelah, tetapi adrenalin dari kemenangan moral ini membuatku tetap tegak.
“Bagaimana bisa?” Rendra berbisik, suaranya serak. Dia tidak menatapku, melainkan layar ponselnya yang menampilkan berita tentang dana taktis BEM. “Data ini... data internal. Kau tidak mungkin mendapatkannya secepat ini.”
“Kau meremehkan seorang Antagonis Terbuang, Rendra,” jawabku, suaraku rendah agar tidak didengar mahasiswa yang mulai mengerumuni. “Kami punya banyak waktu luang untuk mempelajari sistem yang membuang kami.”
“Kau meretas server kami. Itu tindakan ilegal!” Dia kembali ke mode formalnya, mencoba menarik garis batas hukum, namun gagal. Garis itu sudah kabur.
“Dan aku mengakuinya, Rendra. Aku sudah mengaku di depan publik. Aku menukarkan integritas hukum Amara yang lama dengan otoritas moral Amara yang baru. Sekarang, giliranmu. Mengapa BEM membutuhkan ‘dana taktis’ yang tidak diawasi, yang berujung pada publikasi memalukan ini? Apa yang kau tutupi?”
Rendra mendongak. Matanya yang biasanya penuh dengan keyakinan kini dipenuhi keraguan yang menyakitkan. “Aku tidak menutupi apa pun. Aku... aku hanya mengikuti prosedur yang ditetapkan. Klausa anggaran itu disetujui oleh SPU. Itu adalah bagian dari sistem efisiensi yang kami yakini.”
“SPU. Sistem Pengendali Universitas,” aku mengulang, menunjuk ke arah pintu tempat Serena menghilang. “Dia yang membuatmu terlihat bersih, Rendra. Dia yang membuatmu terlihat efisien. Dan dia yang memegang pisau di punggungmu, siap menusukmu saat kau mulai terlalu sukses. Kau tidak membela sistem, Rendra. Kau hanya pion terbaik mereka.”
Kata-kata itu menghantamnya telak. Rendra adalah orang yang bangga dengan posisinya, dengan statusnya sebagai Ketua BEM yang efisien. Menyebutnya 'pion' adalah penghinaan terbesar.
“Aku bukan pion siapa pun!” bantahnya, tetapi nadanya lebih lemah. “Aku membangun BEM ini dengan keringat dan dedikasi.”
“Dedikasi pada siapa? Pada mahasiswa yang kau wakili, atau pada sistem ranking yang memuji kepatuhan butamu? Kau baru saja merilis klausa anggaran baru untuk menjebakku, Rendra. Kau mengirim *malware* ke laptop presentasiku. Kau mencoba menghapus kebenaran secara fisik. Itu bukan tindakan seorang pemimpin idealis. Itu tindakan seorang operator yang ketakutan.”
Rendra terdiam lama. Dia menghela napas, gestur yang sangat manusiawi, jauh dari aura Ketua BEM yang sempurna.
“Aku tidak tahu tentang *malware*,” katanya akhirnya, dan entah kenapa, aku merasa dia jujur. “Aku hanya diminta untuk memastikan kau tidak menggunakan ‘data fiktif’ dari pihak luar. Aku yakin kau dibayar oleh Surya.”
“Surya? Konglomerat itu?” Aku pura-pura terkejut. “Rendra, utang judi online-ku adalah bukti bahwa aku adalah seorang amatir yang bodoh, bukan mata-mata korporat. Aku tidak dibayar oleh siapa pun. Aku dibayar oleh kelelahan Kinara, jiwa yang mendiami tubuh ini, yang menolak mati karena sistem yang kejam.”
Keheningan kembali melanda. Rendra menatapku dengan tatapan baru—bukan lagi sebagai rival, tetapi sebagai anomali. Dia mulai melihat Kinara, bukan Amara.
“Jika kau tidak dibayar, mengapa kau melakukan ini?” tanyanya. “Kau sudah mendapatkan nilai A dari Pak Arka. Kau sudah melunasi utangmu. Kau bisa berhenti. Kenapa harus menghancurkan fondasi ini?”
Aku melangkah maju. “Karena fondasi ini busuk, Rendra. Dan kau, yang berdiri di atasnya, adalah orang pertama yang akan terseret jika fondasi itu runtuh. Aku tidak ingin menghancurkanmu. Aku ingin membebaskanmu dari ilusi bahwa kekuasaanmu adalah milikmu. Serena yang memegang kendali. Serena yang mengatur panggung ini.”
Rendra terlihat seperti baru saja menerima pukulan yang paling menyakitkan. Bukan pukulan fisik, tetapi pukulan eksistensial. Posisi yang dia perjuangkan dengan susah payah ternyata adalah rantai yang mengikatnya.
“Lalu, apa yang kau inginkan dariku sekarang?” Dia bertanya, suaranya nyaris menyerah. “Aku kalah debat, reputasiku hancur, dan BEM akan menghadapi investigasi. Kau menang.”
“Aku belum menang, Rendra. Aku baru saja memenangkan babak pertama,” ujarku, kembali ke terminologi debat. “Aku ingin kau melihat kebenaran. Aku ingin kau tahu bahwa klausa anggaran taktis itu bukan untuk efisiensi, tetapi untuk menyalurkan dana kotor dari pihak luar yang ingin mengontrol kampus ini. Pihak luar itu mungkin Target 4, Bapak Surya. Dan orang yang memfasilitasinya adalah Serena.”
Tiba-tiba, suara Pak Arka terdengar di belakangku. Dia berhasil menyelinap melalui kerumunan yang kini mulai bergerak menuju pintu keluar.
“Amara, kita harus pergi. Administrasi kampus sudah panik,” Pak Arka berbisik, tetapi matanya memuji. “Kau tampil brilian. Kau menciptakan konflik dialektis yang sempurna: Keteraturan Hukum versus Keteraturan Moral.”
Aku mengangguk, lalu menoleh kembali ke Rendra. “Pikirkan ini, Rendra. Siapa yang memberimu informasi tentang upayaku mengakses data BEM? Siapa yang mengirimmu pesan anonim itu?”
Rendra memproses pertanyaan itu. Matanya melebar lagi. Dia melihat ke belakangnya, ke arah podium yang kini kosong.
“Aku... Aku tidak tahu. Nomor anonim. Itu memperingatkanku bahwa kau mencoba masuk, memberitahuku untuk menyiapkan jebakan.”
“Maka kau harus berpikir lebih dalam. Siapa yang memiliki akses ke informasi bahwa aku mencoba meretas, dan pada saat yang sama, memiliki motif untuk membuatmu terlihat sebagai orang yang menekan kritik mahasiswa? Siapa yang ingin kita berdua saling menghancurkan?”
Rendra terdiam. Kecerdasannya mulai bekerja, melacak pola di balik peristiwa. Dalam sekejap, dia menyadari bahwa dia bukan hanya dimanipulasi oleh SPU, tetapi juga oleh orang yang memberinya informasi anonim—mungkin orang yang sama yang mengirimiku peringatan. Lingkaran pengkhianatan ini rumit.
“Kau harus segera mencari tahu, Rendra. Sebelum mereka menjadikanku musuhmu berikutnya. Atau sebelum Serena membuangmu, seperti dia membuang Amara,” kataku, memberikan pukulan terakhir.
Pak Arka menarik lenganku, mendesakku untuk pergi.
Saat kami berjalan menuju pintu keluar panggung, Rendra memanggilku lagi.
“Amara! Jika yang kau katakan benar… tentang dana taktis itu,” Rendra menelan ludah. “Aku tidak pernah tahu tujuan akhirnya. Aku hanya disuruh menanda-tangani. Aku tidak tahu bagaimana cara membongkar ini. Server SPU itu… sangat aman. Bahkan BEM tidak punya akses penuh.”
Sebuah lampu merah berkedip di panel Sistem Koreksi. [KINERJA SISTEM: Target 2 (Rendra) menunjukkan kerentanan dan potensi kolaborasi. Aktifkan Misi Sekunder: Akses Data BEM Lanjutan.]
“Tentu saja kau tidak punya akses. Kau hanya produk. Tapi kau tahu di mana kuncinya berada, bukan?” tanyaku, memberinya tatapan penuh harapan.
“Mungkin. Ada satu pintu belakang yang hanya diakses oleh… Serena,” Rendra mengakui. “Tapi untuk itu, kau harus membuktikan bahwa kau bukan lagi Amara yang lama. Kau harus menunjukkan kepadaku bahwa kau benar-benar ingin reformasi, bukan hanya pembalasan.”
“Reformasi membutuhkan data, Rendra. Jika kau benar-benar ingin membuktikan bahwa kau bukan pion, bantu aku mendapatkan data yang akan membongkar Serena,” kataku. “Tunjukkan kepadaku jalan pintas untuk mengakses data BEM yang tidak dia ketahui. Kita tidak punya waktu.”
Pak Arka yang mendengar percakapan itu, mengangguk setuju. “Ini adalah titik balikmu, Rendra. Pilihan antara patuh pada hirarki yang korup, atau berani pada kebenaran yang revolusioner.”
Rendra mengambil napas dalam-dalam, menatap ke arah tempat Serena duduk tadi, seolah-olah dia sedang memutuskan untuk memutuskan hubungan yang selama ini mendefinisikan dirinya.
“Baiklah,” katanya. “Aku akan memberimu kuncinya. Aku punya salinan *keycard* untuk ruang arsip BEM lama. Itu terhubung ke server cadangan. Serena tidak tahu itu masih aktif. Tapi ini sangat berisiko. Jika kau tertangkap di sana, aku akan menyangkal segalanya.”
Aku tersenyum. “Itu lebih dari cukup, Ketua BEM. Itu adalah awal dari pertobatan sejatimu.”
Rendra memberikan *keycard* kecil itu kepadaku. Jari-jari kami bersentuhan sebentar. Aku merasakan kehangatan yang kontradiktif dari tangan seorang rival yang baru saja kutinggalkan dalam kehancuran.
Kami segera meninggalkan auditorium. Kami baru saja mencapai lobi ketika ponselku berdering. Nomor tak dikenal. Kali ini, bukan anonim yang ramah. Jantungku mencelos.
“Halo?”
Suara di seberang sana sangat dingin, datar, dan mematikan. Itu adalah suara Serena.
“Kinara. Atau siapa pun kau yang mencuri tubuh adikku,” suara itu mengawali, memotong keheningan di lobi yang mulai sepi. “Kau pikir kau pintar. Kau pikir dengan menghancurkan pion seperti Rendra, kau bisa mencapai SPU? Kau baru saja membuat kesalahan terbesar dalam hidup barumu. Kau membongkar data yang seharusnya tidak kau sentuh. Dan karena kau memaksa, aku akan memastikan bahwa kali ini, kegagalanmu tidak hanya berakhir dengan IPK 0.9. Itu akan berakhir dengan penghapusan total.”
“Kau tidak bisa menghapusku, Serena,” aku membalas, berusaha menjaga suaraku stabil. “Aku sudah memeluk kegagalanku. Aku tidak takut apa pun.”
“Oh, kau akan takut. Kau baru saja mendapatkan sekutu baru yang rapuh. Mari kita lihat seberapa lama aliansi itu bertahan,” Serena tertawa pelan, tawa yang menusuk tulang. “Aku akan membuatmu menyesal telah memilih arena politik, Kinara. Aku akan membawamu kembali ke tempatmu seharusnya berada: di tumpukan sampah digital yang tidak diinginkan siapa pun.”
Panggilan terputus. Pak Arka menatapku khawatir.
Aku melihat *keycard* Rendra di tanganku. Serena tahu aku bergerak. Serena tahu aku punya sekutu baru. Misi untuk membongkar SPU baru saja meningkat dari debat menjadi perang terbuka. Dan untuk memenangkan perang itu, aku harus segera menggunakan kunci yang baru kuterima ini sebelum Serena sempat memutus koneksi terakhir Rendra ke sistem.
Aku menoleh pada Pak Arka. “Pak, kita butuh rencana untuk malam ini. Saya harus masuk ke ruang arsip BEM itu.”
Pak Arka mengangguk, sorot matanya tajam. “Baik. Tapi kita tidak akan masuk sendiri. Kita butuh seseorang yang ahli dalam mengamankan bukti digital, seseorang yang integritasnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Kita harus segera menghubungi Target 3: Jurnalis Mahasiswa itu.”
Malam itu, perburuan data dimulai.