Karena sering dibuli teman kampus hanya karena kutu buku dan berkaca mata tebal, Shindy memilih menyendiri dan menjalin cinta Online dengan seorang pria yang bernama Ivan di Facebook.
Karena sudah saling cinta, Ivan mengajak Shindy menikah. Tentu saja Shindy menerima lamaran Ivan. Namun, tidak Shindy sangka bahwa Ivan adalah Arkana Ivander teman satu kelas yang paling sering membuli. Pria tampan teman Shindy itu putra pengusaha kaya raya yang ditakuti di kampus swasta ternama itu.
"Jadi pria itu kamu?!"
"Iya, karena orang tua saya sudah terlanjur setuju, kamu harus tetap menjadi istri saya!"
Padahal tanpa Shindy tahu, dosen yang merangkap sebagai Ceo di salah satu perusahaan terkenal yang bernama Arya Wiguna pun mencintainya.
"Apakah Shindy akan membatalkan pernikahannya dengan Ivan? Atau memilih Arya sang dosen? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Shindy keluar dari kamar Clara ketika suami istri itu mendesaknya agar meninggalkan Arkan. Kedua orang tua Clara ternyata tidak sebaik yang Shindy kira. Egois dan berniat merampas milik orang lain.
"Tunggu" Eric mengejar Shindy yang belum jauh dari kamar Clara.
"Ada apa Om? Jika tujuan Om ingin memisahkan saya dengan Arkan, saya tegas menolak. Arkan bukan boneka Om, begitu saya bosan kemudian memberikan kepada orang lain. Sekarang saya mau tanya, seandainya istri Om diminta orang lain apakah Om akan memberikan begitu saja?" Shindy mengajukan pertanyaan yang menohok hati Eric.
"Jangan lancang kamu!" Eric bukan menjawab pertanyaan Shindy, tapi justru emosi. Ia pikir Shindy berani membalikkan kata-katanya.
"Maaf Om, saya permisi" Shindy menangkupkan telapak tangan di depan dada, lalu pergi meninggalkan Eric.
Shindy melanjutkan perjalanan dengan hati dongkol, karena kecewa dengan kedua orang tua Clara. Sudah tahu anaknya sedang kritis bukan berdoa justru mencari perkara.
Shindy masuk ke toko roti, memilih roti kesukaan Alexander, dan untuknya. Setelah ambil beberapa kemudian kembali ke lantai tiga. Ia tidak ke kamar Arkan terlebih dahulu melainkan ke kamar Adisty.
Setelah mengucap salam Shindy mendorong pintu hingga tampak Adisty sedang disuapi oleh Alexander.
"Shindy... bagaimana Arkan, Nak?" Adisty tidak bisa berpikir tenang. Sebenarnya ia ingin segera menjenguk Arkan untuk pagi ini, tapi Alexander minta agar Adisty sarapan terlebih dahulu.
"Arkan sudah saya mandikan, sudah saya suapi juga kok, Ma" Shindy menceritakan agar Adisty makan dengan tenang. "Terus saya tinggal sebentar membeli sarapan."
"Gitu ya" Adisty sedikit lega, ia percaya jika Shindy perhatian dengan putranya, walaupun Adisty sering memergoki anak dan menantunya itu sering kali bertengkar seperti anak kecil.
"Papa sarapan dulu, biar saya yang menyuapi Mama" Shindy meletakkan roti di atas meja lalu mendekati mertuanya. "Tapi maaf Pa, sarapannya kesiangan" imbuh Shindy karena saat ini hampir jam 10 pagi, gara-gara drama kedua orang tua Clara yang menahan langkahnya.
"Boleh" hanya itu jawaban Alexander.
Shindy ambil alih tempat makan dari tangan Alexander, kemudian duduk di kursi samping Adisty setelah Alex berdiri.
"Terima kasih" Alexander yang memang lapar segera ambil roti dan air mineral kemudian pindah ke tempat lain.
"Sama-sama Pa..." Shindy pun menyuapi mertuanya.
"Biar Mama makan sendiri, terus kamu sarapan juga" Adisty tidak mau merepotkan menantunya.
"Saya nanti dulu sarapannya, Ma" Shindy tetap menyuapi mertuanya sambil ngobrol. "Pasti Mama tadi tidak mau makan" tebaknya. Seharusnya Adisty sarapan jam 8 bareng Arkan.
"Mama itu tidak lapar Shindy, tapi dipaksa Papa" adu Adisty melirik suaminya yang sedang menggigit roti di sofa.
"Papa benar Ma" Shindy tahu jika Adisty tidak selera makan seperti dirinya, karena banyak yang dipikirkan. Apa lagi sang mertua sedang sakit.
"Oh iya Ma, Tuan Tristan sama Istrinya tadi menjenguk Arkan."
"Benarkah?" Adisty menyesal karena tidak bisa menemui Tristan. Dia dan suaminya mengenal Tristan karena pernah datang ke kantornya minta desain gambar ketika hendak memperluas pt Al Grup.
"Iya Ma, tapi hanya sebentar" Shindy membenahi tempat makan yang sudah kosong. Mungkin karena sambil ngobrol hingga makanan pun habis.
"Emmm... Tante Reta itu sahabat Mama sejak kapan?" Shindy ingin tahu lebih jelas, sikap Reta seperti itu sudah sejak dulu atau baru-baru saja karena stres memikirkan Clara.
"Dia itu teman Mama sejak SMA hingga kuliah Shy, tapi Mama kecewa" Adisty menceritakan perubahan sikap Reta, setelah menikah dengan Eric menjadi mudah marah dan egois. Untuk itu, Alexander melarang Adisty agar jangan terlalu dekat dengannya. "Makanya waktu kalian menikah Mama tidak mengundang" imbuh Adisty, wajahnya berubah sedih memikirkan persahabatannya hancur seperti sekarang.
"Sudah Ma" Shindy mengusap punggung tangan mertuanya.
Muncul lagi Alexander yang sudah selesai sarapan, gantian Shindy yang makan roti hingga habis lalu menemui Arkan.
"Maaf Ar, aku lama" ucap Shindy tapi tidak bercerita apapun yang ia alami di luar tadi karena khawatir menganggu pikiran Arkan.
"Tidak apa-apa" Arkan tidak mau menahan Shindy di ruangan ini hanya untuk menunggui dirinya, walaupun sebenarnya ia menahan pipis.
"Kamu pasti mau pipis" Shindy sudah paham bahasa tubuh Arkan.
"Kok kamu tahu" Arkan tersenyum kikuk.
Seperti biasanya Shindy membantu Arkan pipis. Bersamaan dengan itu, Alexander masuk mengantar istrinya yang hendak menjenguk Arkan.
"Lihat menantu kita Pa" Adisty tersenyum dari kejauhan, ia sekarang percaya kepada Shindy yang sangat perhatian kepada putranya.
"Makanya, Mama jangan banyak memikirkan Arkan" Alexander menasehati istrinya. Kondisi Adisty pun saat ini mengkhawatirkan, jika banyak berpikir jantungnya menjadi taruhan.
"Namanya juga anak Pa, mana bisa begitu" Adisty sebenarnya ingin berpikir santai agar jangan sakit dan merepotkan banyak orang, tapi rasanya sulit sekali.
"Tapi sekarang Arkan sudah dewasa Ma, sudah ada Shindy" Alexander sekarang mulai bisa menilai, usia dewasa tidak menjamin kedewasaan. Contohnya Clara, wanita itu menghalalkan segala cara hanya demi obsesi. Sedangkan Shindy, diusianya yang masih 21 tahun bisa ngemong Arkan.
Adisty mengangguk ketika kursi roda sudah tiba di pinggir ranjang Arkan.
"Eh, Mama" Shindy tersipu ketika Adisty menatap tangannya yang memegangi pispot, pucuk burung Arkan pun masih bersembunyi di ujungnya.
Adisty hanya tersenyum saja, ketika Shindy merapikan celana Arkan lalu membawa pispot ke toilet.
Adisty bertanya kepada Arkan badan bagian mana saja yang saat ini masih terasa sakit.
"Sudah lebih baik Ma" Arkan menceritakan jika lebam-lebam di tubuhnya sudah tidak begitu sakit setelah dikompres Shindy pagi dan sore dengan air hangat.
"Makanya Ar, sekarang kamu sadar kan, wanita seperti apa Shindy itu. Mama mohon jangan pernah lagi menyakiti hatinya" Adisty menasehati putranya.
"Iya Ma."
Begitu Shindy ke luar dari toilet, Alexander mengajak istrinya kembali ke kamar.
Sementara Shindy mengurus Arkan hingga waktu berganti siang. Menyuapi dan lain sebagainya sampai Arkan tidur. Shindy ambil laptop di dalam tas, kemudian duduk di lantai memangku benda tersebut. Tentu saja melanjutkan menggarap skripsi yang sudah beberapa hari tidak ia kerjakan.
Begitulah kesibukan Shindy selama tiga hari di rumah sakit, ia tidak pernah pulang. Baju ganti pun diantar supir sekaligus ambil yang kotor.
Pagi harinya, dengan kursi roda Shindy mendorong Arkan ke taman rumah sakit. Tiba di tempat, Shindy membantu Arkan turun dari kursi lalu latihan berjalan atas suruhan dokter Hery. Ketika Arkan mulai lelah, Shindy membantunya duduk beristirahat.
"Ya Allah... kuku kamu itu loh, Ar" Shindy ambil gunting kuku yang ia gantung diujung tas kemudian memotong kuku Arkan.
Arkan terharu, tangannya mengusap kepala Shindy yang menunduk fokus ke jempol kakinya. Arkan semakin merasa bersalah karena Shindy segitu perhatian kepadanya.
Selesai menggunting kuku, Shindy menyisir rambut suaminya hingga klimis.
Shindy tidak tahu jika tidak jauh dari tempat itu ada hati yang terluka melihat keromantisan itu.
...~Bersambung~...
laah dia nekaad, kenapa nda di kasih KOid ajaa siiih