Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH LIMA : SELAMAT TINGGAL SELAMANYA
Gita tidak menjawab. Dia menatap sebentar, lalu berbalik menghadap ke depan. Gadis itu melangkah tenang, seakan memberi isyarat agar Mandala mengikutinya.
Lega. Mandala mengembuskan napas pelan, lalu tersenyum kecil. Hanya dengan beberapa langkah, dia berhasil menyusul dan berjalan berdampingan dengan Gita.
“Apa kabar?” tanya Mandala agak sungkan. Tidak biasanya, dia begitu kikuk di hadapan Gita.
“Jauh lebih baik,” jawab Gita. “Mas sendiri” Dia balik bertanya. Ditatapnya Mandala beberapa saat sambil terus melangkah, lalu tersenyum kecil. “Aku hampir tidak mengenalimu, Mas. Sejak kapan Mas memotong rambut?”
“Oh, ini … um ….” Mandala menggaruk pelipis. “Penampilan baru untuk menyambut sesuatu yang baru.”
“Sesuatu yang baru?” ulang Gita. “Dalam hal apa?” tanyanya.
“Segalanya,” jawab Mandala singkat, lalu terdiam sejenak. “Aku hanya ingin meminta maaf, atas segala sikap serta kata-kata kasar yang pasti menyakitkan dan ….” Mandala mengembuskan napas berat. “Aku tahu sudah terlalu sering melakukannya. Sangat memalukan.”
“Tidak ada yang memalukan dari permintaan maaf,” ucap Gita cukup datar. “Sudahlah. Aku berusaha untuk melupakan itu dan …. Meskipun sulit, tapi aku berhasil melakukannya.”
“Apa saja yang kamu lupakan? Apakah semuanya?”
“Aku hanya ingin memulai segalanya dari awal. Jika bisa, aku berharap terlahir kembali sebagai Gita yang terselamatkan.”
Mandala terdiam beberapa saat, mencoba mencerna ucapan Gita. Dia mengangguk samar. “Tidak perlu berharap terlahir kembali. Tuhan sudah menyelamatkanmu dari Rais, dari Wira, dan dariku.”
“Mas Maman … eh, maksudku Mas Mandala ….”
“Apakah nama itu membuat lidahmu terasa aneh?”
Gita tertawa pelan. “Itu nama yang bagus. Terdengar sangat gagah. Mandala Buana.”
Mandala menggumam pelan. “Lalu, bagaimana dengan Nagita Marya Haleema?” Dia sedikit menggoda gadis di sebelahnya.
“Mas masih ingat nama lengkapku.”
“Selalu,” ucap Mandala teramat pelan karena tak ingin Gita mendengarnya.
Sejoli itu terus berjalan menyusuri trotoar, dalam hiruk pikuk napas kota menjelang sore. Setelah perbincangan intens tadi, keduanya saling terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing.
“Mas tidak bekerja?” tanya Gita, memecah keheningan yang bertahta selama beberapa saat.
“Tidak. Aku akan berhenti dari sana,” jawab Mandala.
Seketika, Gita menghentikan langkah, terdiam, lalu menoleh kepada Mandala yang juga ikut tertegun. “Kenapa?” tanyanya.
“Aku berniat pergi dari sini,” jawab Mandala.
“Ke-ke mana?”
“Mencari dunia baru. Entah ke luar kota, atau mungkin luar pulau. Aku tidak terikat dengan siapa pun. Jadi ….”
“Oh.” Hanya itu kata yang keluar dari bibir Gita. Seluruh kata seakan hilang. Tak ada kalimat yang dapat dirangkai. Dia bahkan tak dapat memikirkan sesuatu yang paling sederhana.
Isi hati Gita bergejolak. Sebenarnya, ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikan. Namun, ucapan Mandala telah menghadirkan ganjalan teramat besar, yang membuat dadanya terasa begitu sesak.
“Kamu sudah makan?”
Pertanyaan Mandala membuat Gita tersadar. Dia menoleh, lalu menggeleng pelan. Sejujurnya, tak ada rasa lapar sama sekali.
“Penjual bakso langganan kamu sudah buka. Ayo. Aku yang traktir,” ajak Mandala.
Gita hanya mengangguk lesu. Tanpa banyak bicara, dia menuruti Mandala melanjutkan langkah menuju alun-alun kota.
Setelah tiba di warung bakso yang dituju, Mandala langsung menuliskan pesanan mereka tanpa bertanya terlebih dulu kepada Gita. Setelah itu, dia berlalu ke dekat penjual bakso.
Aneh. Seluruh semangat dalam diri Gita sirna tak tersisa. Dia sengaja membuat jarak dengan Mandala, berharap tak bersinggungan lagi. Namun, tiba-tiba pria itu muncul dengan membawa banyak kejutan.
“Lebih baik seperti kemarin,” ucap Gita dalam hati. “Seharusnya, Kau tidak mempertemukan kami lagi, Tuhan.”
“Maaf karena dulu aku pergi tanpa pamit,” ucap Mandala, setelah kembali ke meja di mana Gita berada.
“Itu sudah lama berlalu,” balas Gita pelan, agak lemas.
“Apa kamu sakit?” tanya Mandala, berhubung melihat ada sesuatu yang aneh dari sikap Gita.
Gita menggeleng pelan.
“Apa karena kita bertemu lagi? Katakan saja jika kamu tidak nyaman.”
Gita kembali menggeleng.
“Lalu?” Mandala menatap lekat penuh selidik.
Lagi-lagi, Gita menggeleng. Dia tertunduk beberapa saat, lalu mengangkat wajah, memberanikan diri membalas tatapan Mandala. “Boleh aku bertanya sesuatu?”
Mandala mengangguk samar.
“Selama kita tidak bertemu, apakah Mas Man bertemu gadis lain dan … dan kalian ____”
“Tidak,” sela Mandala segera. “Tidak ada.”
“Kenapa?”
“Karena aku tidak berminat.”
“Termasuk padaku?” tanya Gita tanpa sadar. Setelah itu, dia langsung menggigit bibir karena sadar sudah melayangkan pertanyaan yang teramat bodoh.
Namun, tidak bagi Mandala. Itu bukanlah pertanyaan bodoh. Dia justru bingung menjawabnya.
“Lupakan. Jangan dipikirkan, Mas.” Gita menggeleng cukup kencang.
Perbincangan mereka tak berlanjut karena pesanan sudah datang. Keheningan kembali menghiasi kebersaman sejoli yang baru bertemu lagi, setelah saling menjaga jarak selama beberapa waktu.
Entah mengapa, waktu terasa begitu lambat berputar. Satu mangkuk bakso dan mie ayam sangat sulit dihabiskan. Makanan itu masih memenuhi wadahnya, meskipun telah beberapa kali diaduk sendok hingga tercampur rata dengan saus dan kecap.
“Gita, aku ….” Mandala bermaksud membuka percakapan. Namun, semua kata yang ingin diucapkan tiba-tiba menghilang dari benaknya.
“Aku sudah meninggalkan pekerjaan sebagai wanita penghibur. Mas lihat sendiri. Sekarang, aku menjadi kasir mini market. Upahku tidak banyak. Namun, itu memberiku kepuasan tak terkira.”
“Aku senang mendengarnya. Semoga kamu tidak berubah pikiran ____”
“Bagaimana denganmu, Mas?” sela Gita.
“Apanya yang bagaimana?”
“Aku tidak tahu apa pun hingga saat ini.”
“Tentang apa?”
“Hubunganmu dengan Mas Wira.”
Mandala langsung memperlihatkan ekspresi tak suka ketika mendengar nama Wira.
“Kalian bukan saudara, tapi pernah tinggal serumah. Aku juga penasaran karena Mas Man sangat membenci Mas Wira.” Tiba-tiba, nada bicara Gita jadi terdengar lebih bersemangat dibanding sebelumnya.
“Aku tidak mau membahasnya,” tolak Mandala. “Tolonglah, Gita. Pembicaraan ini hanya akan membuatku marah dan hilang kendali. Aku tidak ingin menyakitimu lagi,” tegas Mandala. Meski dengan suara cukup pelan, tetapi ada penekanan pada setiap kata yang diucapkannya.
“Kenapa melampiaskan kemarahanmu padaku? Seharusnya, aku mendapat penjelasan yang sepadan. Mas Man menyakitiku hanya karena seseorang bernama Wira. Mas Man melukai perasaanku dengan kata-kata penuh hinaan dan caci-maki, padahal tidak memiliki masalah sedikitpun denganku. Apakah itu pantas?”
Mandala terdiam mendengar kalimat Gita yang meluncur deras, bagai unek-unek yang selama ini terpendam.
“Jika Mas Man ingin pergi mencari dunia baru, maka pergilah. Namun, sebelum benar-benar menghilang dari hadapanku, tolong berikan sedikit saja penjelasan yang bisa membuatku memahami seluruh amarahmu.”
“Jangan memaksaku, Gita,” tolak Mandala pelan, tapi penuh penekanan.
Gita terdiam, seraya menatap lekat. Dia mengangguk penuh percaya diri. “Baiklah. Kalau begitu, selamat tinggal untuk selamanya.” Gita berdiri, kemudian berlalu dari hadapan Mandala.