Bara tak menyangka bahwa ią menghabiskan malam penuh gelora dengan Alina, yang ternyata adalah adik kandung dari musuhnya di zaman kuliah.
"Siaap yang menghamili mu?" Tanya Adrian, sang kakak dengan mulai mengetatkan rahangnya tanda ia marah.
"Aku tidak tahu, tapi orang itu teman kak Adrian."
"Dia bukan temanku, tapi musuhku." cetus Adrian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Danira16, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Buang Janin Itu
Kedatangan pria yang bernama Bara yang mencari keberadaan ayahnya itu membuat Alina mengingat kejadian saat kehormatannya direnggut paksa oleh pria yang baru saja memasuki rumah.
Bara, dengan kaos oblong hitam bergambar tengkorak dan celana jeans sobek, melangkahkan kakinya masuk ke rumah. Dengan setiap langkah yang terdengar berat, jantung Alina semakin berdebar. Tubuhnya merinding, mengingatkan pada malam yang kelam saat kehormatannya direnggut.
Mata Alina tak lepas memandang anting yang tergantung di telinga Bara dan tato misterius di bahu kanannya. Dia menelan ludah, mencoba menyembunyikan rasa takut yang menguasainya.
Ketegangan mengisi ruangan, dan Alina berusaha keras untuk tidak membiarkan kenangan buruk menguasai dirinya.
Bara membeku sejenak, jantungnya berdebar kencang ketika ia mendapati Adrian berdiri dengan tatapan tajam di depan pintu rumahnya. Aura muram terpancar dari wajah Adrian, dengan kedua tangan yang terkepal keras seakan menahan amarah yang siap meledak. Sebuah kemarahan yang terpendam, terpatri dalam setiap garis wajahnya.
Alina, yang berdiri di samping Bara, bisa merasakan getaran ketegangan di udara. Ia menggigit bibirnya, cemas akan ledakan emosi yang akan terjadi. Matanya tidak lepas dari Adrian, dan ia bisa melihat kakaknya itu mengumpulkan kekuatan untuk mengendalikan diri.
Sedangkan Bara, alisnya berkerut, matanya menyipit tidak percaya. Ingatan tentang pertengkaran hebat yang terjadi tiga tahun lalu kembali membanjiri pikirannya. Adrian, teman lama yang kini menjadi sumber kebenciannya, tiba-tiba muncul tanpa diundang, membawa kembali luka-luka lama yang belum sempat terobati.
"Adrian....," suara Bara bergetar, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ada campuran rasa takut dan amarah dalam intonasi suaranya yang retak.
Adrian mempertahankan pandangan tajamnya, kedua tangan masih terkepal, seolah siap untuk pertarungan yang mungkin terjadi. Atmosfer di ruangan itu begitu tebal, seakan mampu memotong dengan pisau.
Bara berdiri di hadapan Adrian, pandangan matanya terkunci pada sosok yang sudah tiga tahun tak dilihatnya. Di sisi Adrian, Alina, adik perempuan Adrian, tampak cemas namun tetap berusaha menenangkan suasana.
"Ternyata kamu pulang juga akhirnya...." Adrian berkata dengan suara yang berat dan langkah yang tergesa-gesa mendekati Bara, menunjukkan campuran emosi gembira dan marah.
Alina, yang berdiri disamping Adrian, segera mengapit lengan kakaknya lebih erat, matanya memohon agar kakaknya tidak memulai pertengkaran. "Tenang, Kak," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
Bara, yang masih terkejut, menatap Alina yang berdiri di samping Adrian. Dia mengernyitkan dahi, seakan-akan mencoba mengingat. "Siapa dia?" tanyanya, suaranya mencerminkan kebingungan dan rasa ingin tahu.
Alina menatap Bara dengan pandangan yang penuh arti, seolah ada ia berusaha mengenyahkan keadian yang sudah merenggut dirinya. Atmosfer di antara mereka bertiga menjadi tegang, penuh dengan emosi yang terpendam dan pertanyaan yang belum terjawab.
"Dia adikku, dan kedatanganku kesini hanya untuk ini ....."
Bugh....
Bugh.....
Bugh.....
Adrian pun yang sudah emosi pun memukuli Bara tanpa ampun, bahkan Alina syok saat itu juga.
Bara berusaha melindungi wajahnya dengan kedua tangan, namun Adrian yang sudah kehilangan kendali terus melepaskan amarahnya. Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Bara, membuatnya terhuyung ke samping.
Nafas Adrian memburu, matanya memerah, seolah-olah setiap pukulan adalah pelepasan dari semua rasa frustrasi yang telah lama tertahan. Alina yang berdiri beberapa langkah di belakang, matanya terbelalak tak percaya melihat kakaknya menjadi begitu ganas.
"Sudah cukup kak," teriaknya dengan suara bergetar, mencoba melerai. Namun suaranya seakan tenggelam di tengah deru emosi yang meluap-luap.
Di kejauhan, Robert, ayah mereka, hanya bisa memandang dengan rasa penyesalan yang mendalam. Dia berdiri terpaku, tanpa bergerak sedikit pun untuk mencegah kekerasan itu. Dalam hati kecilnya, Robert mungkin merasa Bara memang pantas menerima hukuman itu jika apa yang Adrian katakan adalah benar.
Karena sejatinya ia tidak ingin puteranya lepas dari tanggung jawab yang telah ia perbuat, cukup ia hanya menjadi penonton sembari mengamatinya saja.
Bara pun terkejut dan tak persiapan akan pukulan tiba-tiba yang Adrian layangkan padanya kini mulai terlihat memerah matanya.
Sorot mata yang penuh kemarahan karena ia yang tidak tahu apa kesalahannya itu, mulai berkobar, dan sejujurnya Alina takut akan sorot mata itu.
Bara mengusap jejak darah pada hidung dan sudut bibirnya, lalu ia mencoba berdiri dihadapan Adrian yang kini sudah dijauhkan oleh Alina dari Bara.
"Adrian.....apa salah gue? Kenapa Lo tiba-tiba mukulin gue?" Desis Bara.
Adrian tersenyum menyeringai. "Karena itu adalah balasan untukmu karena sudah merusak adikku."
"Adikmu."
"Iya, kau lupa.?" Seru Adrian.
Bara kemudian menatap Alina dari ujung rambut hingga kepala, lalu sejenak ia memejamkan matanya seakan ia ingin mencoba mengingatnya.
Alina tertunduk dengan tangan tubuh bergetar hebat disertai meremas tangannya sendiri. Ada rasa takut saat bola mata tajam tadi tertutup.
Bara membuka matanya lalu menatap kembali Alina dan mendekatinya, ia tersenyum tipis.
"Kamu gadis yang semalam aku ti_duri bukan? Ada apa?" Jawab Bara dengan santainya
Mendengar jawaban Bara yang bikin kesal, membuat Adrian tambah emosi lalu ia memukul kembali Bara hingga 2 kali pukulan.
"Sialan kamu Adrian, kenapa mukuli gue lagi njiir!!" Umpat Bara kesal.
"Karena Lo udah menodai Alina asik gue, dan sekarang dia hamil anak Lo si4l*n." Jawa Adrian dengan suara melengking.
Deg
Seketika itu jantung Bara bergemuruh, belum lagi bola matanya seakan lepas dari kelopaknya dengan menatap Alina.
Sedangkan Alina hanya bisa menunduk, ia begitu ketakutan.
"Kak ayo kita pulang, aku takut." Tangis Alina.
Adrian menoleh pada adiknya lalu ia menepuk pundaknya, kemudian ia berganti menatap Bara.
"Tidak adikku, aku tidak akan pulang sebelum ini....."
Bugh.....
Bugh.....
Bugh ....
Bara adalah seorang pria yang sangat menghargai nilai persahabatan, meskipun ia baru saja mendapatkan tiga pukulan dari Adrian, sahabat lamanya, Bara memutuskan untuk tidak membalasnya.
Bagi Bara, mengingat masa-masa mereka berteman bersama saat kuliah dulu, hingga ia tak terpikirkan untuk menyakiti Adrian sebagai pembalasan. Kejutan lain menghampirinya saat Bara menyadari bahwa gadis yang telah ia dekati semalam ternyata adalah adik kandung Adrian.
Hal ini menambah alasan bagi Bara untuk menahan diri dan tidak membalas pukulan yang Adrian layangkan padanya.
Bara merasa berat dengan situasi ini, namun ia tetap berpegang teguh pada prinsip tidak membalasnya, terlebih kepada seseorang yang memiliki tempat khusus di hatinya karena masa lalu mereka.
Walaupun kini hubungan keduanya rumit dan menjadikan keduanya bagai musuh, namun tidak bagi Bara. Bagi pria itu semuanya yang terjadi di masa lalu adalah kesalahpahaman semata.
"Kak sudah cukup, ayo pulang." Ajak Alina yang tidak ingin memperkeruh suasana.
Alina terlihat ketakutan dan memeluk kakaknya, lalu Adrian pun merengkuh badan kecil adiknya itu.
"Ya sudah kita pulang sekarang!!" Ajak Adrian yang terlihat tidak tega melihat wajah pucat Alina.
Apalagi ia cukup puas melihat Bara telah babak belur karena pukulannya. Namun tatapan Alina yang seolah ia tak ingin kakaknya bertindak lebih jauh untuk menghakimi pria yang telah merenggutnya itu.
"Tunggu!" Sela Bara yang mencegah Adrian dengan memegang pergelangan mantan temannya itu.
Adrian otomatis menghentikan langkahnya, lalu ia terpaksa menatap tajam pada Bara yang telah menahan dirinya. Alina tak berani menatap sosok yang sudah membuat dirinya ternoda dan kini hamil benihnya.
"Maafkan saya Adrian, semalam aku melakukannya dengan mabuk." Ucap Bara dengan tulus. Seraya menjelaskan situasinya saat ia pertama kalinya bertemu dengan Alina.
"Tapi kamu sudah merusak adikku Bara, masa depannya masih panjang. Bahkan lulus kuliah pun masih lama." Keluh Adrian yang kini telah mengenyahkan tangan Bara.
"Jika itu anakku, pasti aku akan bertanggung jawab."
Seketika Adrian membulatkan matanya.
"Hey.... adikku bukan gadis gampangan, bahkan kamu yang pertama baginya." Sindir Adrian.
Adrian tak terima bahwa ucapan Bara tadi seakan-akan merendahkan adik kandungnya. Adrian paham banget Alina itu seperti apa, adiknya itu selalu menurut dan tidak pernah pacaran diluar batas.
Baginya Alina sosok adik yang baik, bahkan selama Alina berpacaran dengan Bram pun mereka selalu menghabiskan waktunya dirumah Alina. Bahkan Adrian selalu ada dirumah saat mantan pacar Alina itu setiap malam Minggu ngapelin adiknya.
Untuk itu ia tak terima akan jawaban Bara, dan pria itu tanpa sadar mengucapkan kalimat yang menyindir Adrian.
"Adrian, maksud gue bukan gitu."
"Cukup!! Gue disini gak minta tanggung jawab Lo si4lan, karena gue ke sini cuma mau buat perhitungan ke Lo." Jawab Adrian.
"Hanya itu? Apakah kamu tidak menginginkan Bara bertanggung jawab pada adikmu?" Kini Robert mulai angkat bicara.
Robert tidak ingin puteranya menjadi pria yang tidak bertanggung jawab, terlebih jika benar itu adalah anak Bara otomatis anak yang dikandung Alina juga cucunya.
Bahkan saat Adrian marah dan memukuli Bara pria tua itu telah merencanakan sesuatu untuk membuat putranya tunduk padanya dan ia arahkan untuk memegang perusahaannya kelak.
Karena tidak mungkin Robert memberikan perusahaannya pada anak tirinya, karena memang sebagian aset sahamnya atas nama mendiang isterinya, yang tidak lain adalah ibu kandung Bara.
Adrian menoleh pada pria yang usianya 50 Tahuna itu, ia kemudian menatap adiknya. Namun saat itu Alina menggeleng tanda tidak tahu.
"Lupakanlah, aku akan mengurus adikku. Dan anda cukup ajari putera anda untuk bisa menghargai wanita." Jawab Adrian yang rasanya ingin segera keluar dari rumah panas itu.
"Alina, ayo kita pulang." Ajak Adrian lembut pada adiknya.
Alina pun mengangguk, namun Bara pun menghalangi jalan keduanya. Membuat Alina dan Adrian terpaksa menatap pria besar yang berdiri dihadapannya.
"Minggir!!" Seru Adrian mendorong Bara.
"Aku akan bertanggung jawab Adrian." Ucap Bara penuh keyakinan.
Namun kemudian Adrian menyeringai pada Bara.
"Lupakan, karena aku mau membuang janin itu."
"Apa...!!" Seru Robert dan Bara bersamaan.
"Kak Adrian." Lirih Alina dengan sorot mata yang telah berkaca-kaca.
"Masa depanmu masih panjang adikku, lebih baik buang saja janin itu, toh ayahnya macam begitu." Sarkas Adrian yang kini jika berbicara kejam bagai pisau yang menusuk hati.