Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Dara berdiri di dapur dengan celemek sederhana yang baru saja dibelinya sore tadi. Tangannya sibuk memotong wortel dan kentang untuk sup ayam. Meski gerakannya terampil, wajahnya tak bisa menyembunyikan kecanggungannya. ini pertama kalinya ia memasak di dapur yang bukan miliknya sendiri, terlebih di hadapan seorang pria yang kini sah menjadi suaminya.
Rafa duduk manis di ruang tamu, menonton kartun favoritnya di televisi layar datar. Tawa kecil bocah itu kadang terdengar sampai ke dapur.
Arkan melangkah pelan ke arah dapur, menatap punggung Dara yang tengah sibuk di meja dapur dengan rambut yang diikat asal.
“Wangi banget,” suara Arkan terdengar rendah namun cukup membuat Dara menoleh kaget.
“aku cuma masak sup ayam, aku ngga tau kalian suka apa jadi aku mask ini aja. Ngga papa kan" jawab Dara singkat sambil kembali memotong wortel.
" aku ngga milih-milih tentang makanan. Kalo rafa dia mungkin pasti suka"
Ia kemudian mendekat, mengambil pisau cadangan dari rak. “Sini, aku bantu motong.”
Dara cepat-cepat menggeleng. “Nggak usah, pak. Biar saya aja. Lagipula saya udah biasa masak sendiri.”
Arkan menaikkan sebelah alisnya "kyaknya kamu perlu ganti nama panggilanku deh, aku lebih suka kamu manggil aku kyak waktu dirumah mama waktu itu. Daripada pak, terkesan seperti atasan dan bawahannya saja"
Dara terdiam sesaat, jemarinya berhenti di atas talenan. Ia menoleh perlahan menatap Arkan yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya.
"Mas?"
Senyum kecil muncul di wajah Arkan, lalu ia mengangguk pelan. “Nah, itu baru enak didengar.”
Belum sempat Dara menanggapi, Arkan tiba-tiba melangkah lebih dekat. Dalam satu gerakan, kedua lengannya melingkar di pinggang Dara dari belakang.
Tubuh Dara seketika menegang. Pisau di tangannya hampir saja terlepas.
“Mas… ngapain, aku mau masak"
Arkan menunduk sedikit. “Bentar aja, Ra,” bisiknya pelan. “Cuma sebentar.” Ntah dari kapan wanginya dara membuatnya candu.
“Mas, beneran deh… kalau Rafa lihat gimana?” katanya sambil mencoba menepis pelukan Arkan.
Arkan justru tersenyum kecil. Ia tidak melepaskan pelukannya, hanya menurunkan dagunya hingga bertumpu lembut di bahu Dara. “Dia lagi sibuk nonton, Ra. Aku cuma pengen... ngerasain momen kayak gini bentar aja.”
Dara terdiam. Hangat dari dada Arkan menembus kain tipis celemek yang ia pakai, membuat jantungnya berdetak semakin keras.
“Mas…” panggilnya lirih.
Dara menarik napas panjang, mencoba terdengar tenang. “Kalau sup-nya gosong, Mas yang ganti masak, ya.”
Arkan terkekeh kecil, suaranya membuat Dara merinding halus. “Deal. Tapi aku rasa... sup-nya bakal tambah enak, soalnya dimasak sambil dipeluk.”
Akhirnya Arkan perlahan melepaskan pelukannya, tangannya masih sempat menyentuh pelan pinggang Dara sebelum benar-benar mundur. “Oke, lanjut masak. Aku duduk di sini aja, nemenin kamu.”
Dara menunduk sedikit, berusaha menutupi rona merah di pipinya. “Iya, tapi jangan deket-deket lagi. Bikin nggak fokus.”
Setelah makan malam, Dara segera membereskan meja. Arkan sudah membawa Rafa ke kamar untuk tidur, sementara Dara mencuci piring sambil menghela napas pelan.
Begitu semuanya bersih, Dara masuk ke kamar. Ia mengambil handuk dan langsung menuju kamar mandi untuk mandi air hangat.
Dara mengusap perutnya yang sudah menggembung kecil. Kira-kira dia jika dihitung dia sudah memasuki Minggu ke enam.
Setelah selesai mandi, Dara meraih gantungan handuk, namun seketika ia menyadari sesuatu. Ia lupa membawa baju ganti.
“Ya ampun…” gumamnya pelan, menatap cermin. Ia menggigit bibir, lalu akhirnya memberanikan diri membuka pintu pelan-pelan. Kamar tampak sepi. Tak ada Arkan di dalam.
Dengan hati-hati, Dara melangkah keluar hanya dengan handuk yang membalut tubuhnya hingga di atas lutut. Rambutnya masih basah, meneteskan air ke lantai. Ia segera berjalan cepat menuju lemari, hendak mengambil baju tidurnya.
Namun tepat ketika tangannya baru menyentuh gagang lemari—
Clekk
Tubuh Dara langsung menegang. Ia menoleh perlahan, dan benar saja Arkan berdiri di ambang pintu kamar, masih dengan kaus putih dan celana santai. Pandangan matanya jelas terkejut.
“Ma—Mas…” Dara memegangi handuknya lebih erat, pipinya langsung memanas. “Aku… aku lupa bawa baju. Aku kira Mas udah di kamar Rafa.”
Arkan tidak menjawab. Ia menutup pintu kamar dengan pelan, menguncinya, lalu bersandar di pintu. Ia menatap Dara dari ujung kaki hingga ujung kepala, tatapannya penuh gairah yang tak tersembunyikan.
Bagaimanapun Arkan adalah Duda lima tahun yang kurang belaian.
"Jangan lihat!" pinta Dara, berusaha menutupi dirinya dengan tangan.
Arkan maju selangkah. "Kenapa? Kamu cantik, Ra. Cantik sekali," ucapnya, suaranya sangat rendah dan dalam.
Ia terus mendekat, Saat jarak mereka tinggal beberapa langkah, Arkan berhenti. Ia mengangkat tangannya, dan perlahan menyentuh bahu Dara yang terbuka.
"mas, pliss jangan seperti ini" mohon dara yang sudah ketakutan. Bisa dia lihat tatapan Arkan yang penuh hasrat.
Ia lalu melepaskan tangannya dari bahu Dara, namun kali ini tangannya turun, meraih dagu Dara dengan lembut.
Ia menunduk, matanya menatap intens bibir Dara. "Tapi aku juga nggak bisa pura-pura," bisik Arkan, dan tanpa menunggu jawaban, ia melumat bibir Dara lagi.
Dara seketika menegang, matanya tidak bisa berbohong jika dia terlalu kaget.
Kali ini, ciuman itu jauh lebih dalam dan menuntut daripada ciuman mereka semalam. Arkan menggunakan tangannya yang bebas untuk menangkup kepala Dara, memperdalam tautan mereka. Ia mendorong tubuh Dara perlahan hingga punggungnya menempel di dinding lemari.
Arkan mengangkat tubuh Dara, membawanya dengan hati-hati ke ranjang besar. Ia meletakkan Dara di atas seprai yang dingin, lalu menindihnya dengan lembut, menopang berat badannya dengan tangan. Arkan kembali mencium Dara, ciuman itu penuh hasrat.
Namun, saat Arkan memperdalam ciumannya dan tangannya mulai membelai punggung Dara, sebuah kilasan memori muncul di benak Dara malam di mana Arkan mabuk dan melakukan pemaksaan hubungan seksual padanya, yang berakhir dengan kehamilan ini. Sentuhan Arkan yang seharusnya menenangkan, tiba-tiba terasa mencekik.
Tubuh Dara langsung menegang. Ia panik. Semua gairah yang sempat ia rasakan lenyap, digantikan oleh rasa terteror dan trauma yang dalam.
"Mas, stop!" Dara mendorong dada Arkan dengan kuat.
"kenapa" hasrat sebelumnya di gantikan dengan rasa panik.
"Nggak! Aku bilang berhenti!" Dara berteriak, suaranya tercekat. Ia mendorong Arkan lagi, kali ini dengan kekuatan penuh. Ia langsung menarik selimut, menutupi dirinya hingga ke leher, dan meringkuk di sudut ranjang. Tubuhnya mulai gemetar hebat.
Arkan bangkit, langsung terduduk di ranjang. Wajahnya yang semula penuh hasrat, kini berubah pucat. Ia melihat tatapan Dara tatapan yang bukan hanya penolakan, tapi penuh ketakutan, seperti melihat predator.
"Ra... ada apa? Apa aku menyakitimu" tanya Arkan, suaranya dipenuhi kebingungan dan kekhawatiran yang luar biasa.
"aku ngga bisa, aku takut" ucap dara masih menangis dan memegang selimut itu dengan erat.
Seolah tersadar dengan ketakutannya dara, Arkan langsung menjauh.
"Ya Tuhan. Ya Tuhan, Dara. Maaf. Aku... aku benar-benar minta maaf," Arkan berbisik, nadanya hancur. Ia tidak pernah merasa sehina dan sejahat ini. Ia telah melukai wanita itu.
Arkan berbalik, menatap Dara yang masih gemetar dan menangis. "Aku bersumpah, Ra. Aku nggak sadar saat itu. Aku nggak akan pernah mengulanginya. Aku nggak akan pernah menyentuhmu tanpa izinmu. Aku minta maaf. Aku khilaf"
Arkan berjalan perlahan ke arah Dara, berlutut di samping ranjang. Ia hanya menatap, tidak berani menyentuh.
"Tolong, Ra. Jangan takut padaku. Aku akan memberikan waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku janji akan membangun kembali kepercayaanmu, sedikit demi sedikit," ucap Arkan penuh penyesalan matanya bahkan sampai berkaca-kaca.
"Malam ini aku akan tidur di kamarnya Rafa kamu tenangin diri kau yaa, aku minta maaf"