Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Cahaya matahari menembus tirai tebal, jatuh di meja marmer hitam dengan pantulan keperakan. Bau kopi yang mulai mendingin bercampur dengan wangi logam dari gelas kristal yang retak di tangan Apollo.
Ia duduk di kursi besar kulit hitam, kakinya disilangkan, sikapnya tampak tenang. Tapi semua orang yang cukup mengenalnya tahu , ketenangan itu hanya topeng sebelum badai.
Pintu terbuka.
Lyora melangkah masuk perlahan. Gaun tidurnya masih menampakkan lipatan bekas duduk, rambutnya sedikit berantakan, wajah nya seperti baru terbangun dari mimpi panjang. Namun tatapannya tenang dan teduh.
“Duduk,” ucap Apollo tanpa menatapnya. Suaranya datar, tapi nadanya membawa tekanan yang membuat udara di ruangan itu terasa menebal.
Lyora menuruti. Kursi di hadapannya terasa dingin di bawah jemarinya. Ia bisa mendengar detak jam dinding berdetak nyaris serempak dengan detak jantungnya sendiri.
Apollo baru menatapnya setelah beberapa detik.Tatapannya tajam, terukur, seperti sedang membaca setiap reaksi kecil di wajah istrinya.“Semalam kau tidur di kamar, bukan?” tanyanya pelan.
Lyora mengangguk. “Ya. Bukankah kau sendiri melihatku tertidur?” Nada suaranya lembut, tapi Apollo menangkap sedikit keterlambatan dalam jawabannya.
“Menarik,” gumamnya lirih. “Karena beberapa sistem keamanan mendeteksi gerakan dari lantai bawah tepat setelah pukul satu dini hari.”
Ia memutar gelas di tangannya. Suara gesekan halus kristal di antara jari-jari itu seperti bunyi ancaman halus. “Dan anehnya, hanya satu wajah yang tidak terekam di sistem pengawasan. Kau tahu kenapa?”
Lyora menatapnya , mata beningnya bergetar samar. “Mungkin kamera itu rusak.”
Apollo tertawa kecil, tapi tawanya hambar, tanpa nada humor. “Lucu. Karena kamera itu terhubung langsung ke ruang kerja ini. Tak mungkin rusak… kecuali seseorang sengaja mematikannya.”
Keheningan kembali menekan. Lyora menunduk sedikit, seolah berpikir, tapi sebenarnya ia sedang menenangkan napasnya.
“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Apollo. Aku bahkan tidak pernah keluar kamar malam itu.”
Gelas di tangan Apollo retak dengan suara klik kecil , cukup untuk membuat Lyora menatap ke arah tangannya. Setetes cairan gelap menetes ke meja: bukan darah, melainkan sisa wine yang tumpah dari retakan.
Namun simbolnya jelas , kendali Apollo mulai menipis.
“Hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelum kau datang ke mansion ini,” katanya akhirnya, pelan, tapi nadanya memukul udara seperti cambuk.
Ia berdiri, berjalan mengitari meja perlahan, hingga berhenti di belakang kursi Lyora.
Jaraknya begitu dekat, napasnya bahkan bisa dirasakan di sisi wajahnya.
Lyora menarik napas kecil, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. “Jika kau menuduhku, setidaknya beri aku bukti, Apollo. Aku tidak menyentuh file apa pun semalam.”
Apollo tidak menjawab langsung. Ia hanya menatapnya lama, rahangnya mengeras—urat di sisi wajahnya menegang. “Bukti akan datang,” katanya akhirnya. “Selalu begitu. Aku hanya ingin tahu. mengapa?”
Lyora mengerutkan kening. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.”
Krak!!
.Suara retakan halus kembali terdengar.
Gelas kristal di tangan Apollo mulai retak, serpihannya bergetar halus sebelum pecah perlahan di genggamannya. Cairan wine merah pekat menetes ke meja, tapi ia tidak bergeming.
“Jangan bohong padaku, Lyora.” Nada suaranya turun menjadi lebih berat. “Aku bisa mencium perubahan nada bicaramu sejak pagi. Kau bahkan tidak menatap mataku saat aku menanyakan file itu.”
Lyora menatap balik, matanya lembut tapi tajam, nyaris seperti menantang.“Kalau aku menatap matamu, Apollo… apakah itu akan membuatmu percaya?”
Keheningan menggantung. Detik jam terdengar jelas, setiap tik-tok-nya seperti menekan ruang antara mereka.
Apollo akhirnya berdiri, melangkah perlahan ke depan meja. Setiap langkahnya terdengar mantap, mengandung ancaman yang halus.
Ia berhenti tepat di hadapan Lyora. Tatapan mereka bertemu.
“Aku benci pengkhianatan, Lyora,” katanya dengan nada dingin, setiap kata menekan seperti bilah. “Jika sampai ada satu bukti saja yang mengarah padamu…”
Ia mendekat sedikit, suaranya turun menjadi bisikan mengancam.
“…nama Dragunov tidak lagi tersemat di belakang namamu.
Apollo berdiri sangat dekat kini, hanya sejengkal jarak di antara mereka. Udara di ruangan seolah berhenti bergerak. Hanya suara napas mereka berdua yang terdengar samar.
Lyora menatapnya tanpa bergeming, namun di balik ketenangannya, ada sesuatu yang bergejolak. Tatapan itu bukan sekadar ketakutan,melainkan kehati-hatian yang nyaris seperti sedang menilai medan perang.
“Aku mengerti,” ucapnya pelan, suaranya nyaris berbisik. “Tapi kau seolah lupa, Apollo… aku juga punya nama sebelum menjadi Dragunov.”
Kata-kata itu membuat rahang Apollo menegang lebih keras. Satu detik. Dua detik.
Ia hanya berdiri di sana, menatap wajah Lyora seolah sedang mencoba membedah pikirannya tanpa pisau.
“Apa maksudmu?” tanyanya datar, namun matanya berubah menjadi dingin, curiga, dan sedikit... terguncang.
Lyora tidak menjawab. Ia hanya menurunkan pandangan, membiarkan rambutnya menutupi sebagian wajah.“Tidak ada. Hanya bicara seadanya,” ujarnya datar.
Apollo mengembuskan napas tajam dari hidung, lalu berjalan ke arah jendela besar di belakangnya. Ia menatap keluar, ke halaman mansion yang diselimuti kabut pagi. Suara sepatu kulitnya bergema pelan di lantai marmer, seirama dengan detak jam yang kini terdengar lebih keras dari biasanya.
“Mulai hari ini,” katanya tanpa menoleh, “aku ingin semua akses dokumen di sistem kantor pusat dibekukan. Tidak ada siapa pun yang bisa membuka tanpa izin langsung dariku. Termasuk kau.”
Lyora menatap punggungnya, senyum samar muncul di ujung bibirnya. Senyum yang hanya terlihat sekilas, cukup untuk memberi kesan bahwa ia tahu lebih dari yang ia katakan.
“Seperti yang kau inginkan,” balasnya lembut.
Apollo menoleh sekilas. Tatapannya tajam, namun tidak lagi marah, lebih ke arah curiga yang membara pelan.
“Pergilah. Aku tak ingin berbicara lagi sebelum aku melihat hasil penyelidikan Eliot.”
Lyora berdiri perlahan, gaun sutranya bergesekan lembut dengan kursi. Ia melangkah menuju pintu, tapi sebelum keluar, ia berhenti. Suara langkahnya terhenti di ambang.
“Aku tahu, Apollo,” katanya pelan tanpa menoleh. “Kau tidak takut kehilangan dokumennya. Kau takut kehilangan kendali.”
Pintu tertutup perlahan di belakangnya.
Apollo terdiam. Ia memandangi gelas pecah di mejanya, lalu mengangkat tangan kanannya, ujung jarinya sedikit tergores serpihan kristal, meneteskan darah.
Ia menatap tetesan itu lama, lalu tersenyum tipis, dingin dan pahit “Kalau begitu,” gumam nya, “kita lihat siapa yang lebih dulu kehilangan kendali, Lyora.”
...****************...
Udara di taman belakang mansion Dragunov terasa lembap dan berembun saat itu . Kabut tipis menggantung di antara pohon-pohon pinus, menyelimuti patung air mancur yang memantulkan cahaya lembut matahari.
Langkah Lyora terdengar pelan di atas batu koral, gaunnya bergesekan lembut dengan rumput basah.
Ia berjalan tanpa arah pasti, hanya mengikuti suara burung dan desir angin. Namun di tengah kesunyian itu,sebuah siulan terdengar. Lembut, panjang, seperti melodi yang hanya diketahui dua orang di dunia ini.
Langkah Lyora terhenti.Tubuhnya menegang sesaat. Ia menoleh perlahan ke arah datang nya suara.
Di bawah pohon pinus tua, seorang wanita berdiri bersandar santai pada batang pohon. Gaun merah marunnya kontras dengan kabut putih di sekeliling. Topeng silver di wajahnya berkilau lembut, menutupi separuh ekspresi, tapi senyumnya terlihat jelas, senyum yang identik dengan milik Lyora.
Di tangannya, tergenggam setumpuk berkas bersegel merah dengan lambang Dragunov Corp.
“Mencariku, adikku?”
Nada suaranya lembut, tapi ada sinis halus di baliknya.
Lyora menatapnya tanpa bergerak. Hembusan napasnya membentuk kabut tipis di udara dingin. “Jadi benar, kau yang mengambilnya.”
Wanita bertopeng itu mengangkat alis, menurunkan berkas itu sedikit, menggoyang nya pelan seperti sedang menggoda.
“Aku tidak mengambilnya sendiri, sejujurnya. Aku hanya memindahkan dari tangan yang salah ke tangan yang lebih… tepat.”
Lyora melangkah maju, setiap langkahnya tenang namun mengandung ketegangan seperti tali busur yang ditarik terlalu kuat.
“Kau tahu apa yang kau lakukan bisa menghancurkan semuanya.”
Senyum sang kakak tidak hilang. Ia mencondongkan tubuh sedikit. “Yang kau maksud dengan semuanya itu apa, Lyora? Kekaisaran milik suamimu? Atau kebohongan yang kau bangun di bawah atapnya?”
Tatapan Lyora menajam. “Aku tidak berbohong.”
Wanita itu tertawa pelan, suaranya bergema samar di antara pepohonan.
“Tidak berbohong?” Ia mendekat satu langkah, menatap langsung ke mata Lyora. “Lalu siapa yang berdiri di ruang kerjanya semalam saat sistemnya rusak?. Aku atau kau?”
Lyora terdiam. Jemarinya mengepal, tapi wajahnya tetap tenang. “Berikan berkas itu padaku,” ucapnya akhirnya, pelan tapi tegas.
Sang kakak menatapnya lama, lalu mengangkat berkas itu lebih tinggi, hingga sinar matahari menerobos di sela kertas dan menampakkan cap rahasia bertuliskan:
“Vladivostok Protocol.”
“Berkas ini bukan milik siapa pun di mansion itu, Lyora,” bisiknya pelan. “Ini milik kita. Sejak awal.”
Angin berembus kencang, menggoyangkan dedaunan pinus di atas mereka. Lyora menatap gulungan itu, lalu menatap kakaknya lagi, mata mereka bertemu dalam diam yang panjang, mengandung ribuan kata yang tidak pernah diucapkan.
“Kalau kau tidak memberikannya padaku sekarang,” kata Lyora akhirnya, suaranya bergetar halus tapi berbahaya, “maka untuk pertama kalinya, aku akan menganggapmu musuh.”
Senyum sang kakak perlahan memudar. Ia menatap Lyora dalam-dalam dan untuk sesaat, sesuatu seperti kesedihan melintas di balik matanya. Lalu ia berbalik, berjalan menjauh ke dalam kabut, sambil berbisik:
“Musuh atau bukan, kau tetap darahku, Lyora. Tapi ingat. Dragunov bukan tempat bagi dua bayangan.”
Suara langkahnya lenyap di balik kabut, meninggalkan Lyora sendirian di taman.
Di tangannya, hanya tersisa satu helai kertas kecil yang jatuh dari berkas itu. tertulis dengan tinta merah samar: Λ — Sequence 2 : Awakening.