Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ulang tahun Alma
Keesokan harinya, Barra sudah kembali beraktivitas di depan laptop. Meskipun Kirana sudah melarang, tapi Barra bersikukuh ingin bekerja. "Ada rapat penting dengan salah satu investor via online yang tidak bisa dibatalkan," dalih Barra. Kirana akhirnya menyerah.
Kirana memilih menyelesaikan lukisannya yang terbengkalai sejak Barra sakit. Ia melukis di halaman belakang.
"Cantik sekali, Kak."
"Eh, iya Alma. Tapi aku lagi bingung mau pakai teknik apa biar warnanya lebih dalam dan efek cahayanya keluar," tutur Kirana.
"Kenapa gak pakai teknik glazing terus diakhir baru di-blending," saran Alma.
Kirana menoleh, menatap lurus pada Alma. Bagaimana dia bisa tahu nama-nama teknik lukis?
"Aku juga belajar melukis. Kakak yang ngajarin sebelum aku diterima di I** teknik seni rupa. Bisa dibilang kak Kirana yang memberiku inspirasi untuk menekuni seni lukis."
Kirana tidak berkedip. "Apakah kita sedekat itu?"
Alma mengangguk. "Aku tinggal bersama Kak Barra saat masih di SMA, dan di saat baru menjalin hubungan dengan Kakak."
"Di saat itu juga, aku sering memasak untukmu?"
"Iya. ketika kakak dan Kak Barra menikah, aku pindah ke kota xxx untuk kuliah."
"Maaf aku tidak bisa mengingatmu saat pertama kali----"
"Tidak apa-apa, Kak. Aku sangat bersyukur kakak selamat dari kecelakaan mengerikan itu. Dan, sekarang bisa pulih dan melukis lagi. Kakak tidak tahu betapa senangnya aku," Alma memeluk Kirana.
Mata Kirana berkaca-kaca.
Alma kemudian mengambil kanvas dan kuas. "Aku juga mau melukis, ah. Tapi pakai teknik wet to wet biar cepet selesai."
Keduanya tertawa riang menggoreskan garis demi garis, warna demi warna, membuat karya lukis sesuai imajinasi mereka.
Sore harinya, Alma berpamitan. Ia harus menjemput suaminya di bandara. Kemudian, kembali ke rumah bu Tanti. Bu Tanti terus menghubunginya untuk pulang.
"Besok, kak Barra tahu kan hari apa?" Alma bergelayut manja di lengan Barra.
"Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu akan mengulitiku kemudian melemparkan badanku pada buaya di sungai kalau sampai lupa."
Alma tersenyum lebar.
"Besok malam, datanglah ke rumah. Kita makan malam bersama merayakan hari ulang tahunku. Kak Kirana harus datang ya!"
"Al, mama...," Kirana menunduk. Ia tahu bu Tanti pasti tidak mau dirinya di sana.
"Aku akan bicara sama mama supaya bersikap baik. Gencatan senjata dulu. Ya Kak?"
"Mas...?" Kirana meminta pertimbangan Barra.
"Baiklah... Kami akan datang," putus Barra.
**********
Kirana menatap rumah besar berwarna putih di hadapannya. Hawa dingin menyergapnya, membuat tubuhnya menggigil. Kirana menggigit bibirnya.
"Kita bisa putar balik kalau kamu mau. Aku yakin Alma akan mengerti," ujar Barra.
Kirana menggunakan dress putih bermotif bunga. Rambutnya diikat sederhana. Sementara Barra menggunakan kemeja putih dan celana panjang coklat.
Kirana menggeleng. "Aku ingin hadir, Mas."
"Baiklah, ayo!"
"Mas, apakah aku pernah ke sini sebelumnya?"
Barra menatap Kirana. Cukup lama. Ia seperti sedang menimbang akan menjawab pertanyaan Kirana atau tidak.
"Iya, kamu pernah ke sini," ungkap Barra seraya menggenggam jemari Kirana.
Kirana sama sekali tidak mengingatnya.
Mereka memasuki rumah besar itu. Terpampang foto bu Tanti bersama seorang pria. Kirana menduga itu adalah ayahnya Barra. Keduanya masih tampak muda.
Kirana terus memandangi wajah foto pria itu. Ia merasa pernah bertemu dengannya. Tapi di mana dan kapan.
"Mas, itu ayahnya Mas Barra?"
"Iya, kenapa?" suara Barra mendadak dingin.
Kirana tidak menyadarinya. Ia masih terus memandangi foto itu.
"Aku merasa pernah bertemu dengannya."
Kirana terkesiap saat menoleh pada Barra. Sorot mata Barra tajam ke arahnya. Tidak terbaca. Kirana merasa Barra kembali membuat jarak dengannya.
"M-mas..."
"Mas, Mba, kalian sudah datang. Kenapa di sini? Ayo, masuk," bu Wulan mendekat. Sejak pagi, ia sudah berada di rumah bu Tanti. Meminta izin memasakkan makanan untuk hari ulang tahun Alma.
"Ayo!" Barra menarik tangan Kirana. Entah kenapa, hati Kirana membeku.
Barra membawa Kirana masuk ke halaman belakang. Kirana melihat di sana ada Alma.
"Kak!" Alma berlari menyambut Kirana dan Barra. "Terima kasih sudah mau datang."
"Selamat ulang tahun, Alma," ucap Kirana.
Seorang pria muda mendekati mereka. Barra langsung menjabat tangannya dan berpelukan.
"Kak Kirana, kenalkan ini suamiku. Mas Rafli," ujar Alma.
"Halo, Kak Kirana. Senang melihat kakak sudah sehat," Rafli menjabat tangan Kirana.
"Tentu saja dia sudah sehat. Barra terus merawatnya. Dia tidak mau meninggalkan wanita itu. Entah mau sampai kapan!"
Bu Tanti.
"Ma... Mama udah janji," mohon Alma.
Bu Tanti menjauh lalu duduk di meja makan.
"Hai, Mas Barra," suara wanita menyapa dengan lembut.
Semuanya menatap ke arah sumber suara. Raisa hadir. Ia mengenakan gaun hitam yang membalut ketat tubuhnya.
Raisa mendekati Barra. Mencium pipi kiri dan kanannya.
Kirana mematung. Ia mengepalkan tangannya.
"Mas sudah sehat? Aku dengar Mas sakit. Aku ingin menjenguk tapi tidak bisa, karena ada...," Raisa melihat Kirana.
Barra menatap dingin ke arah Kirana. Tidak menjawab pertanyaan Raisa ataupun membela Kirana.
"Ma...," teriak Alma.
"Apa? Kamu gak bilang mama tidak boleh mengundang Raisa."
"Selamat ulang tahun Alma. Aku tidak tahu kau pulang. Tapi, gak apa-apa. Ini hadiah untukmu."
Alma memandang Kirana. "Maaf... " ujarnya tanpa bersuara.
Kirana hanya bisa mengangguk.
Makan malam itu menjadi makan malam terpanjang bagi Kirana. Bu Tanti meminta Raisa melayani Barra. Mengambilkan makanan dan minuman untuknya. Kirana diminta diam saja, dengan alasan ia tidak boleh terlalu lelah.
Kirana, Barra dan Alma tidak bisa membantahnya.
Bu Tanti juga tidak berhenti menyindir Kirana. Meski kata-katanya tidak kasar seperti sebelumnya, namun berhasil mengiris hati Kirana.
Di depan Kirana, bu Tanti tidak ada habis-habisnya memuji Raisa. Memanding-bandingkan dengan dirinya.
Bagaimana Raisa membangun karirnya sebagai foto model kemudian merintis perusahaan fashion dari nol hingga besar. Raisa adalah contoh wanita pintar, mandiri dan sukses. Cocok jika bersanding dengan Barra.
Sementara dirinya, hanya bisa bergantung pada Barra tanpa bisa melakukan apa-apa. "Kamu dari dulu hanya bisa menghabiskan uang Barra."
"Ma!!" Barra dan Alma berteriak bersamaan.
"Ma, tolong. Kak Kirana di sini untuk merayakan ulang tahunku," Alma berkata sambil menahan marah pada mamanya.
Kirana menahan air matanya keluar. Ingin rasanya ia membantah dan membalas ucapan ibu mertuanya. Tapi, ia bahkan tidak ingat dengan kehidupannya sendiri. Apa yang sudah dilakukannya selama 10 tahun? Mungkin bu Tanti benar, Kirana hanya bisa bergantung pada Barra.
Mereka meneruskan makan dalam diam.
Setelah makan, Alma mendekati Kirana. Alma tidak henti-hentinya meminta maaf atas nama mamanya.
Kirana tersenyum lemah sambil berkata, "Tidak apa-apa."
Barra tengah mengobrol dengan Rafli di halaman belakang. Tak berapa lama, Rafli menjauh sambil berbicara di ponselnya.
Kirana melihat Raisa mendekati Barra. Mereka terlihat berbincang serius. Kirana tidak bisa mendengar mereka.
Lalu, tiba-tiba Raisa menangis dan memeluk Barra. Tubuh Kirana memanas. Ia menahan marah. Dan, cup, Raisa mengecup bibir Barra. Barra mendorong Raisa menjauh dari tubuhnya.
Kirana mengambil gelas berisi air, lalu bergegas mendekati Raisa.
Byur. Kirana menyiram wajah Raisa. Nafasnya terengah-engah.
Raisa dan semua orang terkejut dengan perbuatan Kirana. Wajah Kirana merah padam. "Kamu sudah keterlaluan, Raisa!" teriaknya.
"Aku tidak tahu apa hubunganmu dengan Mas Barra. Tapi, aku di sini adalah istrinya. Jika kau memang wanita terhormat, kau tidak akan mencium suami orang lain di depan istrinya. Aku jadi ragu apakah yang dikatakan mama mertuaku tentangmu itu benar."
Semuanya terdiam. Raisa baru akan membuka mulutnya saat Barra tertawa dengan keras.
Sontak Kirana dan Raisa menoleh pada Barra. Barra masih terus tertawa, lalu menggenggam tangan Kirana. "Ayo, kita pulang, Kira."
Barra pamit pada mamanya dan Alma. "Selamat ulang tahun Alma, hadiahmu akan kukirim besok."
Di dalam mobil, keduanya tidak bersuara. Masing-masing tenggelam dengan pikirannya sendiri. Tidak ada yang membuka pembicaraan mengenai apa yang baru saja terjadi.
Sesekali, Kirana melirik ke arah suaminya. Barra fokus menatap jalanan. Ekspresinya datar. Kirana hanya bisa menghela nafas.
Sesampainya di rumah. Kirana segera masuk ke kamar. Ia ingin segera beristirahat. Kepalanya sedikit berdenyut. Mungkin karena tadi marah berlebihan. Sementara Barra menyalakan TV dan merebahkan tubuhnya di sofa.
Tengah malam, Kirana merasa ada seseorang yang memeluknya dari belakang. Kirana menyingkirkan tangan yang berada di atas perutnya. Tapi, tangan itu tidak mau berpindah.
"Jangan sentuh-sentuh, Mas!" tegas Kirana.
"Masih marah?" bisik Barra di telinganya.
Kirana membalikkan badannya. "Menurut Mas?"
Barra tertawa. "Kamu cantik kalau lagi marah."
Kirana kembali memunggungi Barra. "Gak usah gombal. Gak mempan. Aku bukan Raisamu."
"Aku tidak sedang menggombal. Aku tahu kamu bukan Raisa. Dan dia bukan Raisaku," ucap Barra sambil menciumi telinga Kirana.
"Gak usah peluk-peluk!" Kirana mendorong tubuh Barra supaya menjauh.
"Gak bisa, Kira. Aku sekarang tidak bisa tidur kalau tidak memelukmu. Kamu gak kasihan sama aku? Kata dr. Farhan aku harus istirahat yang cukup."
Kirana mengalah. Meskipun masih jengkel karena Barra membiarkan Raisa mengecup bibirnya, Kirana membiarkan Barra memeluknya.
"Terima kasih, Sayang, karena sudah marah," ucap Barra lirih sebelum memejamkan mata.